love grows

Kisah Kasih Kucing — iv


Aku ingat bagaimana cerita ini dimulai karena rasa ingin tahu aku soal perasaan yang bernama cinta.

Pertemuan pertama dengan Gunawan dan segala percakapan di antara aku dan dia. Soal menerima perasaan ini yang ternyata butuh waktu yang sedikit lama. Aku belajar banyak hal sejak mengenal Gunawan.

Aku ingat bagaimana setiap hari aku bangun pagi dengan banyak pikiran. Kepikiran soal Gunawan. Aku banyak bingungnya. Bingung ini itu. Aku kupas isi hati aku satu demi satu supaya aku bisa terjemahin pertanyaan di kepala.

Emangnya boleh ya aku sayang sama orang lain selain Aa Ujang?

Emangnya boleh ya ada yang sayang aku sebanyak ini?

Apa bedanya rasa sayang yang Mama, Papa dan Aa punya buat aku? Gunawan juga punya rasa yang sama kah?

Apa ini yang namanya jatuh cinta?

Waktu pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul dan terus berputar di kepalaku rasanya pusing sekali. Sampai aku betulan kesal karena kehadiran Gunawan.

Karena aku mulai berharap punya banyak cinta. Aku harap aku bisa mencintai sebanyak dan sesering mungkin. Aku harap aku bisa teriak-teriak soal cinta yang aku gak bisa tahan ini.

Umur tujuh belas ada banyak yang berubah sejak aku kenal yang namanya cinta.

Misalnya saat aku bertemu hari libur yang sebelumnya paling aku sukai justru tiba-tiba aku benci, soalnya kalau hari libur gak bisa intip Gunawan lagi belajar di kelas. Aku sering pura-pura ke toilet supaya bisa lewatin kelas Gunawan dan melirik ke arah dia yang selalu duduk di bangku paling depan.

Misalnya lagi saat aku biasanya benci dengan PR matematika yang bagi aku itu cobaan terberat dalam hidup aku, tapi sejak aku punya rasa untuk Gunawan… matematika jadi ilmu yang menyenangkan karena Gunawan akan selalu menawarkan diri untuk bantuin aku belajar. Aku manfaatkan waktu belajar itu dengan menatap dalam-dalam setiap inci dari wajah ceria Gunawan.

Pernah suatu waktu aku berantem cukup serius sama Gunawan. Soal aku yang egois karena mau mengambil semua waktu yang Gunawan punya untuk aku. Soal aku yang gak mau Gunawan pergi jauh dari aku.

Gunawan pernah bilang, “Mungkin nanti ada lagi marah-marah kecil, mungkin ada harinya aku atau kamu ketemu sama yang namanya perbedaan, kita gak akan selalu satu pikir. Tapi dunia akan baik-baik aja selagi kita hadapi sama-sama, Rin.”

Semua rasa takut itu juga cepat perginya. Karena gak cuma aku yang punya cinta, Gunawan juga punya. Cinta itu yang buat aku dan Gunawan berani melangkah bersama.

Tujuh belas menjadi langkah pertama aku mengenal, belajar, dan berbagi kasih sayang. Mungkin bagi kakak-kakak sekalian ini terdengar alay. Tapi aku benar-benar senang sampai kepingin lari sekencang mungkin keliling lapangan sekolah. Setiap detik yang aku habiskan bersama Gunawan sangat amat super-duper menyenangkan.

Tapi, untuk pertama kalinya juga aku punya rasa takut.

Aku takut sekali mendengar cerita mimpi-mimpi Gunawan. Ibaratnya Gunawan itu anak yang suka berkelana, dia suka belajar hal baru coba ini dan itu. Gunawan suka baca buku ensiklopedia di perpustakaan, dia suka ngobrol sama banyak orang, dia juga senang ikut lomba buat nambah-nambah pengetahuan katanya.

Gak ada habisnya hal-hal keren bermunculan dari diri seorang Gunawan. Berbeda dengan aku yang gak suka kemana-mana, aku gak mau bergerak atau berpindah. Aku gak pernah kemana-mana. Aku gak suka perubahan dan gak mau keluar dari cangkang.

Semua orang selalu ketawa setiap mendengar pengakuan kalau aku gak punya cita-cita. Mungkin mereka ketawa karena merasa heran. Selama ini aku selalu mendengar teman-teman kelas sibuk memilih cita-cita yang cocok dengan pribadi mereka masing-masing. Ada temanku yang ingin menjadi dokter, guru, pilot dan bahkan Gunawan juga punya mimpi jadi presiden. Tapi aku gak punya mimpi itu.

Aku sendiri gak berani buat mikirin hal-hal yang rumit. Aku gak berani menggantung mimpi. Aku lebih suka menikmati waktu dan kesempatan yang aku punya.

Apa aku juga harus ikutan berlari kaya teman-teman?

Gak banyak hal yang bisa aku mengerti. Aku selalu butuh waktu lebih untuk diam dan berpikir. Aku gak bisa memecahkan banyak masalah, semuanya harus aku lakukan satu demi satu. Tapi, setelah banyak aku pikirin aku emang gak punya cita-cita.

Aku gak punya cita-cita karena aku gak mau kemana-mana.

Aku mau tetap disini, di umur tujuh belas.

Mungkin aku masih harus meluangkan banyak waktu untuk berpikir. Untuk menjadi dewasa.

“Hey! Lagi pikirin apa sih?”

Itu peliharaanku.

Gunawan.

“Bengong aja”

“Kamu pernah hitung gak sih? Dalam sehari kamu bisa bengong berapa kali?”

“Gak tau, aku berhenti bengong sampe aku ngences aja”

“Hahahaha kecilku…”

Gunawan mengacak-acak rambutku, sayang.

Saat ini aku lagi di bis dalam perjalan pulang dari field trip ke puncak. Aku duduk di sebelah Gunawan. Aku pakai jaket Gunawan. Aku ngemil whiskas.

Aku masih suka kagum sendiri melihat raut muka Gunawan yang kalau lagi tatapan sama aku dia bisa merah sendiri pipinya dan ujung bibirnya lucu waktu tersenyum lebar. Terus dia buang muka.

“Harin nyebelin ah! Curang!”

“Kamu kenapa selalu malu kalau aku lihatin sih?”

Muka aku begini bentuknya -_-

“Malu aku di lihat sebegitunya sama kamu. Aku senang banget sampe malu”

“Sini lihat lagi”

“Gak mau!”

“Lihat aja bukan cium”

“Duh, semakin gak mau!”

“Lihat mata aku atau aku jejelin whiskas mulut kamu!”

Dia menyerah. Gunawan segera menoleh dan bibirnya jadi manyun karena aku pencet kedua pipinya.

Aku merasa cukup dengan orang-orang baik yang aku punya dalam hidupku. Gunawan membuat aku merasa cukup.

Sepertinya aku bukan takut sama mimpi-mimpi yang Gunawan punya. Aku bukannya takut gak punya cita-cita.

Tapi, aku takut sama hari yang bertambah.

Aku takut sama perubahan yang mungkin saja terjadi.

Suatu saat nanti mungkin aku akan kuliah, kerja di kantor, punya SIM, bayar pajak, minum kopi hitam, dan hal-hal lain yang orang dewasa lakukan.

Aku mau berani. Tapi aku cuma punya modal cinta.

Jadi, di umur tujuh belas ini apa boleh aku hanya hidup untuk mencinta?

Biarkan aku punya mimpi-mimpi kecil dulu.

Biarkan aku peluk dan simpan setiap momen.

Karena aku punya banyak cinta.

Biarkan aku mencinta untuk lebih lama.

Aku harap aku tetap di umur tujuh belas untuk selamanya.

“Meow? Meow, meow, meow?”

“Kamu kenapa malah mengeong, Rin?”

“Meow, meow, meow”

“Sumpah jangan gitu aku takut. Harin stop kesurupan kucing!”

“Gun?”

“Iya?”

“Aku mau jadi kecil-nya kamu selamanya”

“Iya kecilku...”

Namaku Harin dan aku punya banyak cinta.

Kisah Kasih Kucing — iii


POV : Gunawan

“Peliharaanku!”

Satu-satunya anak manusia yang memanggil gue sebagai peliharaan adalah Haura Rinanti Hutapea. Perempuan dengan mata yang terbuka lebar selalu mengedipkan mata secara perlahan itu kini berteriak senang pada ayunan ke lima belas.

“Lagi! Ayun lebih kencang! Sampai aku terbang ke lang… AAAAAA”

“Hahahaha… kamu keren bisa masuk on the spot Harin. Kucing pertama yang bisa terbang!”

“Hahahaha aduh geli. AAAAAA perutku geli! Lebih kencang Gun!”

Entah kemana perginya hari-hari gue dengan rutinitas yang membosankan itu. Kalau beberapa bulan lalu seorang Gunawan akan bangun pagi, sekolah, rapat, les dan begitu seterusnya. Sejak pacaran sama Harin semua kegiatan itu tetap gue lakukan gak ada yang berubah, tapi dia menambah banyak gelak tawa. Gak pernah seharipun hari gue berlalu tanpa tulang pipi yang sakit karena terus-terusan senyum dan ketawa. Setiap detik yang berlalu akan selalu ada seseorang yang gue jitak kepalanya, sentil hidungnya, cubit pipinya. Menit-menit yang berjalan kini diisi dengan celotehan dan omelan Harin. Entah itu dia yang bercerita fakta unik kucing yang baru ia baca dari ensiklopedia, dia yang menyumpah serapah bendahara kelas mata duitan karena selalu menagih uang kas, hingga dia yang selalu gak pernah capek untuk menyatakan cintanya ke gue hanya karena supaya gue gak lupa.

Aku gak pernah lupa, rin.

“Hap!” dia lompat dari ayunan hingga terjatuh seperti kodok.

“Kamu gak kenapa-kenapa kan, Rin?”

“Aduduh… lutut aku sakit. Kayaknya kalau pegangan tangan sama cowok manis bakalan sembuh deh huhuhuhu”

“Nakal.”

Gue terkekeh melihat kelakuan ajaib Harin.

Secinta-cintanya, gue gak sadar bahwa sekarang gue sudah menyatukan jari gue dengan jari Harin membuat genggaman kami semakin erat. Tangan Harin kecil dan cenderung dingin membuat gue ingin selalu ada buat sekedar menyalurkan hangat yang gue punya. Serta merta gak kuasa menahan diri untuk mengusap-usapkan jempol gue pada tangan yang bertaut.

“Kamu kenapa sih liatin aku terus? Gak tahan pengen cium aku ya?”

“UHUK…. UHUK… UHUK…”

“Dih sampe batuk gitu, dasar otaknya mesum!”

“Jangan aneh-aneh kamu! Awas loh, aku cium beneran!”

“Hah???”

“Manyuuunnnnn” upaya gue menggoda Harin justru supaya ia menjauh.

“Ih, awas kamu cowo berandalan! Gak tau adab!”

Harin melepas genggaman tangan gue dan berlari-lari kecil masuk ke dalam indomaret. Lucu bagaimana kakinya mengambil langkah sediki-sedikit membuat rambut panjangnya itu bergerak kesana kemari.

Iya, hari ini memang jadwalnya kita pacaran. Gue tipe orang yang selalu tau mau apa, ngapain, kapan, dimana. Sudah siap dengan seribu satu agenda pacaran karena gue sangat suka menghabiskan waktu bersama Harin.

“Gun,” ia menyodorkan sekotak susu cokelat kesukaan gue.

“Makasih kecil.”

Harin menyodorkan pipi sebelah kanan kode minta di cubit. Gue balas dengan mengusapkan dua jari gue ke pipinya perlahan. Dia menggeleng kepala semakin mengarahkan pipinya ke gue pertanda kesenengan si bocah.

Gila, dunia udah gila. Gue manusia paling bahagia di alam semesta ini.

“Hehehe geli… geli…” si dia menikmati berbagai sentuhan yang menghujam pipinya.

“Jangan kebiasaan minta cubit, Rin. Nanti pipi kamu merah.”

“Iya, ternyata aku lebih suka kamu elus-elus begini, Gun.”

Kelakuannya betulan bikin geleng kepala.

“Kucing… kucing…”

Rambut Harin yang sebelumnya digerai kini ia kuncir satu. Kepalanya bergoyang kiri dan kanan entah lagu apa yang kini sedang ia gumamkan dalam hatinya. Tangan kirinya sibuk menekan kemasan Cimory Yogurt agar lebih mudah diseruput, tangan kanannya memainkan jari kelingking dan jari manis gue. Hampir gila rasanya waktu telapak tangan Harin hanya mampu menggenggam dua dari lima jari gue.

Kenapa dia lucu banget?

“Tumben si pengangguran lama jemput aku.”

Pengangguran yang ia maksud adalah kakak laki-lakinya sendiri yang sebenarnya kini berprofesi sebagai pengacara. Coba saja kalian ketik nama Ujang Hutapea di Google pasti akan muncul betapa populernya pria sukses berdarah batak sunda itu.

“Udah maghrib, Rin. Mau ke rumah aku aja kah?”

“Gak ah, aku takut melakukan hal yang dilarang agama kalau kelamaan sama kamu.”

“Hariiiinnnnn”

Ajaib. Harin yang seperti itu yang membuat hari-hari bersamanya gak pernah gak menyenangkan.

***

Semoga gak ada yang memaki gue karena telah mengajak Harin bermalam minggu di kamar gue.

Atas izin mami juga yang membuat Harin memilih singgah dulu di rumah. Tentu saja Aa Ujang penyebab duduknya gue dan Harin di kamar ini, salahkan beliau yang selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga menunda waktu menjemput adiknya yang paling nakal ini.

“Aw!”

“Kamu ngeremehin cinta aku ya?!”

“Beneran kok! Kita pertama kali ketemuan itu kan di kantin sekolahan sambil ngasih makan kucing. Kamu natap mata aku udah kayak mau makan aku aja… AW! Harinnnnn!”

Kedua kalinya kepala gue dijitak masih belum menyadarkan gue akan kesalahan apa yang telah gue perbuat sampai Harin bisa semarah ini.

Posisi kita berdua duduk bersila saling berdahapan di karpet sebelah kasur gue. Mata si kecil kesayangan gue kian memicing tajam menandakan amarah yang besar.

“Indomaret bulan juni!”

“Hah?”

“Rambut kamu sedikit lebih panjang, belum di potong karena masih libur semester, kamu lagi kasih makan kucing, kamu pakai jaket jeans, senyuman kamu lebar!”

“Sebentar….”

Indomaret bulan juni.

Ada banyak ingatan di tempat itu, mengingatkan gue pertama kali bertemu mpus, mbul, emim dan kawan-kawannya. Ya, benar.

Harusnya ingatan akan tempat itu hanya sebatas tempat gue membeli susu cokelat kesukaan gue sebagai pelepas dahaga sehabis bermain futsal di terik siang dan tempat gue mampir memberi makan kucing-kucing liar yang sudah gue namai agar mudah diingat.

Harusnya begitu.

Sampai pada suatu sore yang berangin dimana pohon mangga kala itu sedang musimnya berbuah dan banyak berjatuhan megotori jalan. Indomaret pertigaan gang yang tak pernah sepi itu entah bagaimana ceritanya bisa mendadak sepi. Kucing-kucing liar yang biasanya nagih jatah whiskas ke gue juga anehnya tertidur lelap. Momen itulah dia muncul. Kucing kecil lucu bersuara parau dan mengedipkan matanya perlahan sebanyak dua kali sebelum ia berteriak.

“Peliharaanku!”

“Hah?”

Suara gue tercekat. Mata gue mendapati seorang anak perempuan berkaos kedodoran dan celana jeans biru berdiri tegap di hadapan gue. Dia memegang erat es cekek di tangan kanannya dan tangan kirinya menunjuk tepat pada wajah gue dengan sembrono.

“Mulai hari ini kamu peliharaanku!”

Perempuan kecil yang berani menunjuk dan mengangkat gue sebagai peliharaannya begitu saja itu kini menjadi perempuan yang daripadanya kebahagiaan gue tercipta.

“Astaga?! Itu kamu, Rin?”

“Ah, males. Cinta kamu cuma main-main ternyata.”

“Enggak, Rin! Aku inget sumpah aku baru inget… Aw!”

“Dasar cowok nakal!”

Jitakan ketiga.

Dan jantung gue berhenti berdetak ketika ia memilih duduk di sebelah gue kemudian menyenderkan bahu dan kepalanya ke pundak gue.

“Sejak itu aku udah cinta sama kamu, Gun. Rambut kamu yang terbang waktu hari berangin bulan juni. Kenyataan kalau kita satu sekolah itu juga buat aku gila. Hari dimana aku beraniin diri buat ngobrol lagi sama kamu, kantin sekolah siang itu kamu keringetan karena habis lari dari ruang osis demi ngasih makan kucing. Setiap ngeliat kamu aku rasanya kayak mau teriak kenceng tapi gak bisa.”

Gue hanya mematung mendengar pengakuan Harin.

“Sejak hari berangin di bulan juni aku janji ke diri aku untuk selalu ada buat kamu. Bangun pagi demi upacara bendera yang gak pernah mau aku lewatkan, setiap pidato kamu di lapangan, nyari nama kamu di jajaran pengumuman siswa berperestasi mading sekolah, sampai liatin kamu main futsal sore-sore.”

Gue menoleh dan mendapati Harin hanya menatap kosong ke lantai. Kalimat yang keluar dari mulut harin mungkin memang terdengar sederhana dan biasa saja. Tapi apabila mengingat pertengkaran yang beberapa hari lalu terjadi antara gue dan dia membuat gue gak berhenti merutuki diri sendiri dalam hati.

Harin selalu ada buat gue.

“Tapi, waktu aku tahu gak cuma aku yang punya perasaan ini. Dunia aku rasanya kayak mau meledak tau! Ada banyak kembang api di perut aku!”

Gue terkekeh.

“Waktu tau kamu selalu nungguin aku setiap jam istirahat, kamu yang lari-lari keluar dari ruang OSIS nggak buat ketemu kucing tapi juga buat temenin aku ngobrol, kamu yang pertama kali chat aku, kamu yang nawarin belajar bareng, kamu yang selalu siapin topi cadangan buat aku yang pelupa, kamu yang selalu bawain aku air putih supaya aku gak lupa minum, dan Gunawan yang selalu doain aku. ‘Hati-hati, Harin’, ‘Baik-baik ya Harin’, dan yang aku paling suka ‘Sama aku terus, ya’.”

Kini hanya suara jarum jam yang berdetik memenuhi segala sudut kamar gue. Juga hangat dari tangan gue yang kembali bersentuhan dengan tangan Harin serta diikuti aliran listrik yang menjalar pada seluruh tubuh gue.

Tanpa aba-aba Harin ikut memalingkan kepalanya membuat wajah kita berdua saling bertemu. Hembusan napas kita saling berseteru. Saat ini yang ada di pikiran gue hanyalah wajah Harin yang memerah, mata Harin yang sayu, dan bibir Harin yang jaraknya terlalu dekat dengan bibir gue.

“Rin… Aku…”

Gue berhenti berbicara saat melihat Harin mengigit bibirnya gugup.

“Iya?”

Suaranya kecil.

Gue dengan telapak tangan yang mendadak dingin memberanikan diri menyentuh pipinya tanpa memutus kontak mata kita berdua.

Suasana yang tadinya riuh gelak tawa dan teriak kesakitan akibat saling jitak kini menghilang begitu saja. Terlalu sunyi.

Wah, gila.

Gue takut dia bisa mendengar suara jantung yang kini berdetak gak karuan.

Tapi sepertinya gak cuma gue yang gemeteran setengah mati disini.

Apakah ini saatnya?

Gue berusaha membuang jauh rasa takut dan gugup. Meski nyali gue sebenarnya ciut.

Mungkin Harin bisa merasakan betapa dinginnya kedua telapak tangan yang menangkup pipi kiri dan kanannya.

Mungkin Harin bisa mendengar betapa keras suara degup jantung gue.

Tapi dia memilih menutup matanya erat-erat.

Menaruh rasa percaya sepenuhnya pada gue.

Tepat saat Harin memutuskan untuk menutup matanya gue kembali yakin dan mengumpulkan semua keberanian yang bisa gue raih.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

“Dedek Meng! Ini si Aa sudah jemput!” suara mami dari bawah. Secara otomatis gue dan Harin bergerak menjauhi satu sama lain.

Benar-benar konyol!

Gue menghembuskan napas lega. Kemudian mata kami kembali bertemu.

“Hahahahaha… Gila… Hahahaha”

“Hahahaha aduh perut aku sakit, Gun!”

Gue menjatuhkan diri ke lantai sambal melepas tawa lega. Hal yang sama juga pada Harin.

Hari ini gue belajar bahwa rasa sayang bisa gue temukan di sela rasa takut dan cinta bisa di temukan dalam ketidaksempurnaan. Dan gue mau berbagi itu semua bersama Harin. Satu persatu. Langkah demi langkah.

Benar kata mami. Gunawan dan Harin hanyalah dua anak kucing yang gak tahu apa-apa soal cinta.

***

POV : Harin

Konon katanya kucing memiliki kurang lebih sembilan nyawa. Mengurangi rasa takutku ketika melihat kucing berbadan bongsor yang barusan kehabisan napas karena jarak antara aku dan dia yang hanya sejengkal. Untung saja kucing punya banyak nyawa.

Katakanlah ini cinta.

Perut yang dipenuhi kupu-kupu diikuti seluruh tubuh yang bergidik ngilu tak lupa juga pipi yang memerah seperti kepiting rebus pada umur tujuh belas.

Katakanlah ini cinta.

Ketika aku rela berbagi sebungkus whiskas kesukaanku dengannya. Ketika aku mau selalu melangkah mengikuti langkah kakinya yang sebenarnya terlalu besar itu tapi aku tetap mau melangkah bareng dia. Ketika tangan dan kaki mendadak dingin saat tidak ada jarak antara aku dan dia.

Dia Gunawan peliharaanku.

“Itu tadi kita hampir ciuman kah?”

“Belum boleh, nakal.” Begitu ujar Gunawan sambal mengacak-acak rambut aku.

Jangan suruh aku cerita soal apa yang terjadi barusan antara aku dan Gunawan takutnya aku masuk rumah sakit karena serangan jantung. Lebih parahnya aku bisa masuk penjara.

Sejauh aku mengenal Gunawan peliharaan yang paling kusayang, untuk saling bergandeng tangan aja udah bikin kita berdua berasa kesetrum, sama halnya dengan jarak antara kita berdua beberapa menit lalu yang membuat kita berdua mematung sekonyong-konyong.

Nyawa aku dan Gunawan sisa delapan.

Mungkin nyawa Gunawan hampir sisa tujuh kalau sampai Aa Ujang tahu apa yang tadi terjadi.

“Terimakasih ya Gunawan dan Mami. Maaf kalau si dedek merepotkan.” Aa Ujang mencium tangan mami Gunawan sebelum pamit pulang.

“Gak merepotkan kok. Mami senang rumah jadi rame karena suara cekikikan dedek meng.”

Aku cuma bisa senyam senyum manja.

Gak lupa juga aku kedip mata sekali ke Gunawan sampai dia nepuk jidat terus geleng kepala. Hihihi lucu…

“Dedek pulang dulu ya, Mi.”

“Iya hati-hati! Besok main lagi ya.”

“Mari…” Aa Ujang memutus percakapan.

Aku balik badan dan berjalan mengikuti langkah Aa Ujang. Masih kepikiran soal peristiwa konyol tadi. Masih teringat bayang-bayang rasa takut dan ingin tahu kita berdua.

Ternyata tangan pacarku bisa sedingin itu kalau gugup meski udah banyak pidato dan lomba debat yang pernah ia lalui. Ternyata rasa takut lebih besar dari rasa ingin tahu.

Masih belum hilang rasa grogi tadi waktu aku tutup mata setengah takut dan setengah gugup. Waktu aku buka mata dan ngelihat Gunawan ketawa cekikikan adalah saat dimana aku sadar kalau aku gak perlu takut karena aku punya Gunawan.

Kalau boleh jujur aku suka rasanya nyender di bahu Gunawan. Aku suka cara Gunawan pegang tangan aku dengan hati-hati seakan aku ini rapuh. Aku juga bisa merasa aman waktu telapak tangan Gunawan menangkup pipi aku lembut. Gunawan beneran seperti bola bulu, alias kucing!

Tapi ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh. Aku yakin Gunawan juga ngerasain hal yang sama. Maka di saat itulah kita sama-sama memutuskan untuk mengambil jarak.

“Simpan untuk nanti-nanti aja ya, Rin. Kita jalani langkah demi langkah.” Gunawan ngomong begitu sesaat usai aku beraniin diri buat buka mata dan memutuskan untuk bergabung ketawa bareng dia.

Mungkin bukan rasa takut yang menghantui kami. Mungkin ini perihal waktu. Tujuh belas itu angka yang masih kecil untuk memulai.

Atau mungkin ini soal rasa cukup. Kenyataan saat mata aku dan Gunawan tertutup di saat bersamaan dan yang ada di pikiran hanya presensi satu sama lain adalah cukup.

Bahaya juga kalau aku terlalu cinta sama Gunawan. Bisa lupa dunia!

Aku baru aja mau buka pintu mobil Aa Ujang sebelum suara Gunawan terdengar jelas di telinga manggil nama aku.

“Harin!”

Teriak Gunawan memecah keheningan perpisahan kami. Kini jarak aku dan dia sebatas dirinya yang masih berdiri di pintu rumahnya dan aku yang udah di luar pagar rumahnya.

“Apa?”

Aku bales teriak lagi.

“Aku…” ia menunjuk pada dirinya sendiri.

“1… 2…. 3…” Gunawan mencium satu persatu jari jemarinya. Hitungan pertama bibirnya mengecup ibu jari, hitungan kedua jari telunjuk dan diikuti hitungan ketiga pada jari tengah. Melihat Gunawan yang manyun sambil nahan senyum buat aku jadi ketawa sendiri.

“4… 5…” hitungan selanjutnya di jari manis dan terakhir ia kecup jari kelingking.

“POW!”

Gunawan melempar kumpulan kecupan-kecupan lucu itu ke arah aku. Tangannya kaya melepaskan kembang api gitu. Terus dia dadah-dadah. Lagi-lagi aku dibuat jatuh cinta sama Gunawan.

Begitulah hari ini berakhir dengan tulang pipi aku yang kesakitan karena nyengir melulu dan Gunawan yang masih sibuk melempar-lempar kecupan kiss-bye sampai mobil Aa melaju menjauh dari rumahnya.

Banyak hal yang baru pertama kali aku rasakan di umur tujuh belas. Hari ini aku belajar kalau cinta gak semata-mata soal sentuhan dan pelukan. Tapi soal rasa percaya dan nyaman terhadap satu sama lain. Cinta juga soal memberi. Dan aku punya banyak cinta untuk dibagi.

Kisah Kasih Kucing — ii


POV : Harin

“Dedek meng!”

Itu suara favoritku. Cowo yang sedang berlari setelah memarkirkan mobil fortuner hitam di garasi itu melambaikan tangan ke arahku. Lucunya orang dewasa satu ini masih bersetelan jas serba hitam tak lupa rambut klimis ciri khas dia. Iya, orang dewasa itu lari-lari terkekeh kaya gak sadar umur.

“Hugs!” aku mengangguk-angguk saat dia membuka tangannya lebar lebar aku pun menerima ajakan berpelukan itu.

Aa Ujang menarik aku ke dalam pelukannya. Kalau sudah pelukan begini aku pasti ikutan wangi cowo bersahaja kayak Aa Ujang alias parfumnya langsung nempel ke aku. Kepalaku di elus seakan aku ini masih anak kecil.

“Sudah lama nungguin Aa?”

“Gak lama. Baru 3 jam.” ucapku sarkas.

“Maafin Aa ya, dedek.”

Aa Ujang menatap aku dengan mata yang memelas tapi aku malah salah fokus ke kantung mata Aa yang kian hari kian memburuk. Pekerjaan Aa Ujang betul-betul menyita waktu makan dan tidurnya.

Aku gak mau jadi orang dewasa. Kalau dilihat dari gaya hidup Aa Ujang yang selalu bangun pagi dengan penampilan rapi, merokok setiap hari, bayar pajak, bayar listrik, bayar belanjaan mama, beliin papa batu akik, isi shopee pay aku, angkat telepon soal komplain kerjaan dari orang kaya, bahkan rela gak makan dan kurang tidur cuma demi kerja. Aku gak mau jadi kaya gitu.

“Ini Aa minum dulu tehnya.”

Kita berdua masih duduk di depan teras. Karena aku prihatin sama keadaan Aa, aku suruh mama buatin teh untuk Aa. Tapi karena Aa pulangnya lama jadilah Aa minum teh yang udah gak hangat lagi.

Melihat Aa menyeruput teh sambil menatap kosong entah kemana itu aku yakin habis ini pasti Aa bakalan nanyain sesuatu yang nyebelin.

“Jadi gimana kesimpulan 5 tanda jatuh cinta dari Aa? Apa semua pertanda itu terjadi sama kamu?”

“Terjadi!”

“Gunawan ya orangnya?”

Gunawan dan Cinta.

Dua kata yang bikin aku sensitif belakangan ini.

Seumur-umur aku selalu merasa dipenuhi cinta. Meski aku bakalan punya KTP tahun ini tapi aku masih sering tidur di kamar mama dan papa. Aku juga masih sering dibacain buku The Princess and The Frog sama Aa aku kalau aku susah tidur. Bahkan aku masih suka dicium-cium sama mama, papa, dan Aa. Aku senang dipenuhi perasaan cinta itu.

Buat aku Aa Ujang adalah orang paling spesial di hidupku. Kalau aku ceritakan bagaimana spesialnya sosok Aa pasti gak ada abisnya. Aku senang sekali punya superhero sekeren Aa.

Gak berbeda dari kakak-kakak cowok pada umumnya yang punya adek cewek. Semua yang Aa Ujang lakukan adalah untuk melindungi dan menyayangi adik perempuannya yang nakal ini.

Sedari kecil aku selalu di antar-jemput Aa kemanapun aku pergi. Setiap kita makan Ayam Mekdi Aa selalu nyisihin kulit ayam buat aku, ngasih gigitan terakhir kebab, martabak yang isiannya paling banyak, gigitan pertama ice cream mixue, sampai saldo shopee pay yang gak pernah ada habisnya itu semua dikasih Aa.

Gak cuma yang seneng-seneng aja. Aa pernah nangis karena aku susah dicari, Aa rela di hukum papa demi nutup kesalahan aku yang waktu itu aku hilangin cincin papa tapi Aa yang mengaku salah, dan Aa juga pernah jatuh dari pohon cuma demi ngambilin balon karakter Elsa Frozen yang nyangkut di salah satu ranting pohon tetangga.

Bahkan sampai Aa sudah tua aja masih suka gendong aku. Meski sekarang Aa punya pacar-pun masih aku yang sering dibahas di agenda pacarannya sama Teh Salwa.

Sampai sekarang di setiap sore aku dan Aa selalu keliling komplek buat ngasih makan kucing-kucing liar sampai malam tiba dimana mama akan telepon sambil ngomel-ngomel dan kita berdua cuma bisa ketawa-ketiwi.

“Aku mau pacaran sama Aa aja.” itu kalimat yang selalu aku bisikin ke telinga Aa sewaktu Aa sibuk menatap laptop di meja kerjanya. Biasanya sambil aku acak-acak rambutnya, dibales cekikikan doang sama si Aa. Karena aku gak bisa bayangin gimana dunia ini kalau tanpa Aa Ujang di sisi aku.

Tetapi semuanya berubah saat Gunawan Peliharaanku menyerang.

Saat dimana aku sadar kalau perasaan-perasaan yang aku kira ada cuma untuk orang terdekat ini pengen aku bagiin juga ke orang lain. Orang lain yang gak sedekat aku dan Aa, orang asing yang gak semenyenangkan Aa, anak laki-laki yang kehadirannya aku yakin gak akan selalu ada untuk aku.

Aku kira begitu.

Tapi Gunawan seperti Aa part 2.

“Aa gak tahu kalau kamu setiap pulang sekolah selalu ke rumah Gunawan dulu, dek”

“Soalnya adek mau nyontek PR Gunawan, Aa. Gunawan itu orangnya keren bisa diandelin banget. Jago matematika dia.”

“Kaya Aa-mu ini gak bisa bantu kamu kerjain PR aja.”

Sosok berbadan tinggi di sebelah kananku ini menoel-noel pundak aku terus telunjuk nakalnya ikut menoel daguku tengil.

“Soalnya di rumah Gunawan ada kucing, Aa. Sekali mendayung aku bisa menjadi kucing.”

“Peribahasa apaan, sih?”

Aku gak sadar sejak kapan aktivitas yang biasa kulakukan bersama Aa kini berubah menjadi bersama Gunawan. Aku juga gak sadar kalau ternyata selama ini Aa itu tahu apa yang aku rasakan terhadap Gunawan selama ini yang bahkan aku juga belum tahu apa rasa itu.

“Kalau kata cherrybelle... diam-diam suka. Misal aku emang jatuh cinta sama Gunawan apa baiknya dedek diam-diam aja ya Aa?”

“Kenapa gitu, sayang?” ucap Aa sambil menarik helaian rambut yang gak sengaja nyelip di bibir aku.

“Dedek bingung. Dedek gak suka Gunawan ada di kepala dedek terus, dedek gak suka perasaannya kayak rollercoaster karena Gunawan, dedek gak suka hari-hari dedek isinya Gunawan melulu, dan dedek gak mau terus-terusan sama Gunawan kalau akhirnya dedek harus ninggalin mama, papa, dan Aa. Dunia dedek itu Aa Ujang.”

Aku ngomong gitu sambil mukul-mukul meja, kesel!

Aku takut banget kalau aku mau Gunawan bahagia itu artinya dia harus sama aku kan?

Sementara mana bisa aku ninggalin papa, mama dan Aa yang selalu ada untuk aku.

Ah, cinta tai kucing!

“HAHAHAHAHAHA”

Dih, cowok cupu ngakak kenceng banget anjir. Padahal udah malem gini takut mengundang setan.

“Jangan ketawa kamu pecundang!”

“Hahahahaha.... aduh sakit perut... Hhhaahha... abisan kamu ini polos banget sih dek Hahahahaha.... ADUH!”

Aku jitak kepala Aa Ujang supaya diem. Baru aja aku puji-puji tapi ini malah ngetawain aku. Dikata aku bercanda apa.

“Emangnya cinta itu senyebelin ini ya, Aa? Dedek harus gimana sekarang?”

“Ya... namanya juga cinta. Gak bisa ditebak. Itu semua perasaan yang normal, dek. Jadi kamu gak usah cemas atau khawatir. Dirawat aja perasaan yang kamu punya sekarang gak usah dipaksa. Lebih lega kalau kamu ekspresiin aja perasaan yang kamu punya itu pasti kamu akan merasa nyaman dan kelamaan mengerti.”

Aku gak tahu kapan tepatnya aku mulai jatuh cinta sama ketua osis satu ini. Mungkin waktu Gunawan ikut ketawa waktu aku ketawa, mungkin waktu Gunawan pinjemin aku topi upacara, atau mungkin waktu pertama kali kita ketemu di indomaret sambil ngasih makan kucing.

Kalau memang apa yang aku rasain ini sesuai dengan tanda-tanda jatuh cinta hasil penelitia Aa Ujang maka aku putusin untuk menerima perasaanku dan memberinya ke Gunawan dengan tulus.

“Kalau dedek suka Gunawan.... bukan berarti dedek harus berhenti sayang sama mama, papa, dan Aa kan?”

“Gak gitu, dong! Lama-lama Aa cubit nih!”

Beneran dicubit?!

“Eughhh... lepasssghinn akuu monyeettff!!!”

“Dengerin Aa dulu,” jawab Aa sambil menangkup kedua pipiku dengan telapak tangan raksasa miliknya.

“Perasaan jatuh cinta itu emang aneh. Aa senang kamu mau terbuka dan mau belajar soal apa yang kamu rasain. Aa senang kamu menerima dan mau berbagi perasaan yang kamu punya. Gak ada yang lebih indah dari mencintai orang yang bisa buat kamu tersenyum. Mencintailah seperti kamu dicintai.”

Malam itu jantungku berhenti berdetak sepersekian detik saat menatap mata Aa Ujang yang tajam. Dia cinta pertamaku. Dan akan selalu begitu.

Ternyata,

Aku mau nyari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dikepalaku.

Aku pengen rasain perasaan-perasaan baru.

Aku mau tahu seperti apa bentuk cinta.

Selamat datang teman-teman! Ini cerita cinta remajaku! Sekarang aku siap berbagi cinta yang melimpah ini kepada Gunawan Peliharaanku!

Kisah Kasih Kucing — i


POV : Gunawan

Menurut gue ungkapan bahwa usaha tidak mengkhianati hasil itu bohong. Usaha bisa mengkhianati hasil. Semua doa, keringat, dan air mata belum tentu terbayar dengan hasil yang diharapkan.

Atau apa ini semua salah sifat manusia yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang mereka capai?

Seakan dunia runtuh dengan kabar kegagalan gue. Semua orang terdekat yang gue sayangi satu persatu datang merangkul gue.

Sesampai gue di rumah, Mami seperti biasa terus menghujami gue dengan kecupan sambil mengucap “anak baik” pada setiap kecupan sampai gue geli sendiri.

Belum ada setengah jam gue pulang dari sekolah, Bundo Kanduang sudah ramai berteriak-teriak di depan pintu.

Semua saudara laki-laki gue itu bergantian menghampiri gue. Dari Bang Matius dan Mas Aji yang bersamaan mengusap kepala gue kemudian menyelipkan susu indomilk rasa cokelat ke dalam genggaman gue.

Bang Tejo diikuti senyum sumringah melambaikan tangannya dengan canggung sebelum Mami segera meraih plastik kresek bawaan dia yang gue yakin isinya adalah rawon masakannya sendiri. Rawon kebanggan Bang Tejo.

Bang Abim menepuk pundak gue kemudian merengkuh gue dalam pelukannya yang hangat. Sementara Ko Hao ikut usik menyentil telinga gue “Si Gundul kesayangan warga” katanya.

Bang Rizky datang cukup dengan sekali high five gue bisa mengerti pertanda bahwa dia baru saja top up gopay gue.

Sementara Joko si paling muda sudah duduk di sofa kemudian mengambil remot tv untuk menonton kartun Spongebob Squarepants.

“Selamat sore pecundang” itu Upin si tukang hutang. Orang terakhir yang membuka tangannya lebar berusaha meraih gue.

“Gue udah mandi ya, anjing?” ujar Bang Upin yang sudah mencak-mencak karena gue menghindar dari target peluknya.

Gelak tawa memenuhi rumah gue.

Hari hancurnya dunia bagi gue. Hari raya bagi saudara-saudara gue. Karena mereka akan datang untuk menyambut gue kedalam pelukan.

Apakah gue pantas menerima segala kasih sayang ini?

Apa mereka betulan gak kecewa sama kegagalan gue?

Aneh saat hari kegagalan ini dipenuhi dengan hangat peluk.

Gue hanya bisa menelan ludah dan mencoba kembali tersenyum.

Gue gak tahu apa yang sebenarnya gue rasakan saat dipeluk mami tadi siang. Gue juga gak tahu apa yang gue rasakan saat kepala gue dijitak satu persatu sama anak-anak Bundo Kanduang sore tadi.

Apakah gue baik-baik aja?

Apakah gue merasa lebih baik saat orang tersayang merangkul gue?

Apa gue sebenarnya takut untuk berbagi apa yang sebenarnya gue rasakan saat ini?

Gimana caranya rela saat dunia mengingatkan kalau gagal adalah takdir gue?

Harin sudah menelepon sebanyak dua puluh kali.

Harin cewek berperawakan seperti kucing oren dan bertingkah laku menyebalkan. Cewek yang sekali saja bersuara bisa ngebuat gue bingung lima belas menit. Dia kini berdiri di depan rak makanan kucing.

“Kamu kok tau aku di indomaret?”

“Kamu yang ngajak ketemuan gak sih, Rin?”

“Hehehehe.....”

Aih, manisnya.

Kedua tangan harin menutup mulutnya yang cengengesan. Mata bundarnya membentuk bulan sabit. Dia adalah orang paling tak terduga yang pernah hadir di hidup gue. Sosok yang gue gak tahu bahwa kehadirannya bisa membuat gue berani menyisihkan waktu untuk berbagi tawa.

“Lalu udah gimana usaha kamu, Peliharaanku?” ujarnya sesampai kami duduk di kursi yang tersedia depan indomaret.

Duduk kami berhadapan. Harin kini menyeruput susu cokelat yang barusan gue beli, soalnya dia tadi hampir mau ngemil whiskas, jadi gue kasih aja indomilk gue.

Harin betulan menatap gue dengan intens.

Gue hanya bisa menundukkan kepala menendang kerikil. Sepatu kekecilan yang sengaja gue kenakan ini mulai menimbulkan rasa perih saat mata kaki gue bergesekan dengan kulit sepatu yang kasar. Gue bisa merasakan ada sesuatu yang berdenyit dan sakit. Gue sakit.

Apa rasa sakit dari sepatu kekecilan ini bisa mengurangi rasa besalah gue?

Apa warna merah yang keluar dari kaki gue ini bisa membuat gue merasa lebih baik?”

“Kamu gak ngerti, Rin” gue bales sambil tersenyum memberanikan diri menyatukan pandangan dengan dia.

“Peliharaanku, kamu itu ketua OSIS, sering ikut lomba kesana kemari, juara kelas pula selalu berhasil kan... hmm... kayaknya kamu gak lolos olimpiade karena kamu kurang usaha aja gak sih?!”

Kenapa?

Kenapa dia gak mengerti?

Kenapa dia mau gue sakit?

Lalu jawab gue,

“Kata siapa aku gak usaha? Aku ngebagi waktu yang super padat dan berusaha buat belajar di sela-sela segala kesibukan yang aku jalanin itu semua usaha. Aku setiap hari kurang tidur, kurang makan, bahkan sampe jarang main kan karena usaha demi olimpiade ini. Kamu gak tau rasanya dihantui ketakutan akan gagal. Kamu gak paham rasanya berlari tapi gak pernah sampe di garis finish. Kamu gak akan tahu sakitnya mesti selalu tenang dan keliatan baik-baik aja karena merasa bersalah. Rasa bersalah karena jadi sumber kecewa. Rasa bersalah karena gak bisa banggain orang-orang yang selalu mendukung tapi gak pernah bisa... Aku gak bisa, Rin. Aku gagal...”

Gue gak tahu sejak kapan air mata gue udah ngalir gitu aja. Jelas terlihat tangan gue gemetaran. Badan gue terguncang. Luka di kaki gue semakin terasa perihnya.

“Keren banget kucingku. Banyak banget usahanya... Aku bangga. Berusaha itu juga sesuatu yang membanggakan loh... gak peduli apapun akhirnya”

Harin berdiri dari duduknya kemudian jongkok di hadapan gue. Ia mencoba mengintip gue yang sibuk menutupi wajah merah karena malu nangis di depan indomaret huhuhuhu....

“Hiks... Emangnya salah ya kalau gak lolos olimpiade, Rin?” adu gue sambil sesenggukan.

“Enggak... gak salah. Yang salah disini itu cara kamu.”

Gue mendongakkan kepala

“Kamu itu lagi sedih, Peliharaanku. Kesedihan kamu itu bagian dari perasaan yang sama pentingnya dengan rasa bahagia. Jadi jangan takut. Kalau kamu lagi gak bisa senyum lucu... jangan senyum...

Gue seketika menganga mendengar ucapan Harin. Raut wajahnya ikut cemberut melihat gue menangis. Bibirnya mengerucut ikut merasakan kesedihan gue.

Dia mengeluarkan plester dari saku celananya dan meraih pergelangan kaki gue.

“Maaf... Aku kira kalau pakai sepatu kekecilan bisa bantu aku, Rin”

“Iya bisa bantu kamu meninggal”

“Heh! Kamu mah...”

Si dia hanya cekikikan.

“Kamu tau gak sih kalau tanpa sedih, gak akan ada bahagia. Meski kamu masih kecewa dan merasa gak baik-baik aja... tapi makasih karena kamu udah berusaha!” Harin ngomong begitu sambil meniup-niup luka di mata kaki gue.

“Makasih Harin”

“Jadi jangan sakitin kaki lucu kamu lagi, Kucingku. Tapi kalau kamu ada asuransi ya gak apa sih...”

Harin.

Buat dia gak ada yang lebih penting di dunia ini selain mengeong. Dia selalu berlarian di lorong kelas hingga ke kantin demi menemui kucing-kucing liar yang merindukannya, di dalam tas sekolahnya penuh berbagai jenis makanan kucing bahkan terkadang rok sekolahnya penuh noda makanan kucing, dia usil selalu mencoba untuk maling pena gue, dia ceroboh dan selalu lupa bawa topi di hari senin sampai gue harus chat setiap malam untuk mengingatkan tapi besok paginya dia tetap lupa dan kemudian gue merelakan topi favorit gue untuk dia pakai.

Mungkin bagi kebanyakan orang dia memang aneh dan nyebelin.

Tapi buat gue harin adalah satu-satunya orang yang bisa membuat gue nyaman sama diri sendiri. Dia selalu membuat gue merasa cukup dengan apa yang gue punya. Dia bisa membuat gue yakin untuk menjadi diri sendiri.

“Ini kalau kita pegangan tangan nanti aku hamil, kah?” tanyanya membuyarkan lamunan gue.

Harin si kucing kecil yang aneh. Makasih udah mengingatkan gue buat bersedih. Makasih udah mengingatkan gue bahwa gue sedang gak baik-baik aja.

Tetangga Masa Gitu — iv


POV : Iqi

“Itu loh Bu Yur... Mbak-mbak modis yang suka pakai rok mini!” ujar Bu Jah si penjahit kepada Bu Yur si tukang sayur keliling.

“Loh... loh... kemarin saya lihat perempuan itu duduk di depan pos ronda! Dandanannya itu loh Bu Jah maaf kata seperti wanita malam ckckck rambutnya juga gonta-ganti warna. Duh, anak zaman sekarang,”

“Bukannya mau ngomongin orang sembarangan ya Iqi... kemarin saya lihat wanita malam itu turun dari mobil mewah sambil cipika-cipiki sama lelaki yang ada di dalam mobil! Tiga lelaki sekaligus!” sahut Uda pemilik warung nasi padang.

“Bu Jah, Bu Yur, Uda... cewek modis, cantik dan demen cipika-cipiki yang sering nangkring di depan pos ronda itu tunangan saya hehehe doi emang sering nungguin saya pulang kerja hehehe”

Yap, dialog barusan adalah obrolan pagi beberapa hari lalu di depan gerobak sayur dagangan Bu Yur. Seperti obrolan para tetangga pada umumnya yang biasa diisi gosip riang gembira dan celotehan para ibu-bapak komplek.

Gue masih dengan sarung dan peci bahkan dalam keadaan setengah sadar hampir nyemburin jamu kuat yang gue minum pagi itu. Soalnya, yang menjadi topik seminar gosip gerobak sayur kali ini ialah istri- maaf maksud gue calon istri gue.

Nama gue Rizqi Mulyono.

Biasa di pangil Iqi.

Gue adalah seorang satpam di perumahan pondok permai.

Gimana?

Paham kenapa gue berada di lingkar gosip ini?

Terkadang kalau lagi bosen meski gaada jadwal ngeronda pun gue tetap akan ikut nimbrung dalam keseharian warga penghuni perumahan pondok permai. Setiap hari gue samperin berbagai blok untuk gue ajak gosip bareng.

Terakhir kali gue menjadi biang gosip itu saat menyebar info soal tukang galon yang berhasil mengajak kawin lari anak caleg. Melihat wajah cengo ibu-ibu komplek karena mendengar gosip eksklusif menjadi kepuasan gue setiap harinya.

“Qi!!! Mati lampu, ya? Tolong senterin aku di WC ini lagi boker... sini buruan!!! Aku takut!!!”

“Iya, Cinta. Iqi ganteng meluncur!”

Barusan adalah panggilan kasih dari calon istri tercinta. Iya, yang di gosipin tetangga.

Kalian gak salah baca. Yuqi lagi boker.

Yuqi dengan penampilan nyentrik dan sifat uniknya memang kadang suka bikin ngelus dada. Gak salah sih warga pada heran tapi gak baik juga kali ngomongin cewek gue sembarangan!

Hari ini adalah hari gue pindahan ke rumah baru. Mengingat kami yang sebentar lagi akan resmi menjadi pasangan suami-istri membuat gue dan Yuqi memustuskan untuk segera hidup satu atap.

Hari ini juga gue mengadakan acara selamatan atas rumah baru sekaligus memperkenalkan sang calon istri kepada para tetangga merangkap sobat gue.

Tetangga Masa Gitu.

Begitu gue dan para penghuni komplek blok M menyebutnya. Gak usah di bahas kenapa dinamai begitu.

Terdiri dari Mimi seorang pengacara ternama yang kalau namanya disebut tiga kali di depan cermin maka dunia akan bergetar. Lalu suami Mimi si Hyunjae yah pedagang gincu pokoknya gitu dah males gue mendeskripsikan orang tolol.

Kemudian ada Hunan si teller bank yang hidupnya loyo karena sangat taat peraturan pemerintah tidak ada noda sedikitpun kekurangannya adalah dia wibu. Ya, kekurangan yang cukup berbahaya. Karena kalau ada wibu kita semua harus lari. Namun, ada Ayu istri si Hunan yang setia mencintai dengan dramatis. Ayu itu... pokoknya dia wikipedia berjalan. Profesinya adalah suster di sebuah RSJ. Suster ya bukan pasien.

Ya, empat manusia yang bisa dibilang mewarnai hari-hari gue.

Jadi warna abu-abu.

“Selamat ya, Ayu. Semoga anakmu tidak mirip kamu,”

“Mimi! Gak boleh gitu! Hehehe maaf ya. Maksudnya, semoga anak kalian mirip anime”

Itu Mimi-Jeje.

“Terimakasih. Ayu jangan pernah kamu menatap wajah Hyunjae lebih dari dua detik takut anak kita jadi mirip beruk”

“Mas kok Ayu jadi ngidam jeruk purut yah...”

Itu Hunan-Ayu.

Kalau diitung-itung aliansi ini terbentuk baru 3 bulan, tapi akrabnya kaya udah kenal bertahun-tahun. Eh tapi gue udah kenal salah satu pasangan pengacara-pedagang gincu sekitar hampir 10 tahun. Bila diingat lagi juga terbentuk organisasi ini tepat saat pasangan lainnya si teller bank-suster RSJ pindah kemari.

Pokoknya, blok M adalah tempat kejadian ricuh bersejarah terjadi.

Kadang gue hampir muak berada di sekitar tetangga abnormal ini.

“Maaf ya bapak ibu sekalian makan malam kita tunda dulu karena mati lampu jadi gak nyaman juga kan ya,”

Yuqi membuka suara menghampiri meja makan, ia menyalakan lilin tepat di tengah meja. Udah kelar boker.

Nih, supaya lebih jelas.

Posisi sekarang di meja makan bundar ini ada tiga pasangan. Tentu ada gue dan Yuqi dengan baju couple sablon bertulisan “I Love Indonesia” duduk manis dan sibuk mengibas lalar dari makanan. Hyunjae lagi bergelayutan di lengan istrinya terus langsung dihempas Bu Mimi begitu saja. Hunan sibuk mengarahkan senter ke perut Mbak Ayu sekaligus mengipasi leher beliau dengan hembusan napas. Dih, jorok.

“Iqi dan Mbak Yuqi. Gak nyangka gue malah jadi jodoh beneran. Kalau dipikir-pikir sebenarnya kalian bisa berbahagia itu semua karena gue,” bekantan liar ngomong begitu sambil garuk silit.

“Hahaha terserah lu dah,” balas gue ke Hyunjae singkat. Males gue ngomong sama orang susah.

Ya, gue bisa mengenal perempuan super model ini melalui Jeje sohib gue sejak masehi. Yuqi pelanggan dagangan gincunya si Jeje. Ya, kayak judul FTV ajalah “Cintaku Kepentok Super Sodel Pelanggan Gincu Sahabatku”

“Agak bosan kalau melihat wajah kamu setiap hari, Iqi”

Buset!

Gue sedikit bergetar mendengar celetukan Bu Mimi. Mana posisinya sambil melipat tangan di atas meja.

“Mampus lu, Qi” si Hyunjae biadab malah manas-manasin.

“Ya gimana dapet rejekinya di komplek ini, Bu. Kemarin di kasih diskon rumah murah juga karena saya udah lama kerja dimari. Sekalian nambah member Tetangga Masa Gitu ya ges yak,” gue menjawabnya sambil garuk kepala padahal kaga gatel.

“Kalau begini ceritanya hari-hari Ayu selama hamil muda akan semakin bermakna!!! Dipenuhi orang-orang baik dan menyenangkan!!!”

Ini lagi si pemain sinetron indosiar yang segalanya serba di dramatisir. Mbak Ayu ngomong begitu sambil senyam-senyum gak jelas.

Begitulah respon kedua ibu-ibu sosialita atas pindahan gue dan calon istri ke blok M ini.

Sebenarnya, gue ragu apakah kepindahan gue kemari adalah keputusan yang tepat?

Biar Om Dedy yang menjawab.

“Mau nanya, dong. Itu di leher Pak Jeje ada luka, saya denger dari Mbak Indosiar kalau Jeje sering dianiaya?” ucapan Yuqi memberi efek mules pada perut gue saat mendengarnya, di tambah wajah gue yang gue yakini mulai memucat dalam hitungan detik.

Pasalnya suasana sunyi ini akan segera berakhir dan dibuka dengan adegan baku hantam Mimi-Jeje.

“Ya, betul Mbak Yuqi. Saya sih menyesal ya kawin sama Mimi. Siapa sangka tiap hari saya kerjaannya di cambuk oleh wanita galak nan seksi ini,”

ANJIIINGGGGGG

Hyunjae tololnya mendarah daging.

Wajib masuk rekor MURI. Manusia tertolol abad ini.

“Ck, di cupang doang. Bukannya kamu keenakan semalem?”

BUJUUUGGGG

“HAHHAHAHAH ALIG ALIG ALIG”

Gue keselek air putih sementara Yuqi ngakak setengah mati sambil memukul-mukul lengan gue.

Gue dikelilingi pasiennya Ayu kah ini?

Sebentar,

kaya ada yang kurang.

Ternyata, pasutri loyo mirip terong goreng sedang musuhan. Posisinya tepat di sebelah kiri gue.

Ini pasangan kaya orang mabok, dah.

“Kamu seperti meneteskan jeruk nipis di atas luka, Ayu”

“Ayu gak bermaksud menyakiti kamu, Mas. Tapi memang rasa ini sudah tak bisa Ayu tahan lagi,”

Bisa-bisanya di satu tempat yang sama, ada beragam topik dan adegan alay disini.

“Hunan, lu nangis bro?”

Maaf penongton. Cuma itu reaksi yang bisa gue berikan. Soalnya udah kagak sanggup dengan adegan tragis ini.

“Mimi sayangku huhuhuhu wanita paling cantik sejagad raya huhuhu aku ingin menyembahmu cintaku cantikku wahai separuh napasku”

“Cium kaki aku kalau gitu,”

Maaf penongton. Gue najis mendeskripsikan adegan yang gue lihat saat ini.

“Mas Hunan minta maaf karena sudah menghamili kamu sayang, kamu mesti kesakitan setiap harinya”

“Gak perlu minta maaf, memang ini sudah seharusnya terjadi pada Ayu mas....”

“HAHAHHAHAH ALIG ALIG ALIG”

Bini gue kembali ngakak kenceng sambil nyalain rokok. Dikata lagi nonton srimulat kali yak.

“Yuqi! Tolong matikan rokok kamu. Kamu tidak lihat ada ibu hamil disini?”

Hunan menyisir rambutnya satu tangan dengan gerakan lambat.

DRAMA BANGET ANJING.

“Mas! Dedek bayinya nendang!!”

Lu kebayang gak si Ayu ngomong begitu sambil sok menutup mulutnya yang menganga.

“Mana sayangku???”

Dih, beneran didengerin perut si Ayu.

“Ayu, bukankah usia kehamilanmu baru beberapa minggu?”

“Mon maap nih, Mbak. Bayi lu aja belum punya kaki masih bentuk embrio mana bisa nendang! HAHAHAHHA ALIG ALIG ALIG”

Kenapa ketawa calon bini gue begitu....

“HAHAHHAHA LUPA NGECEK WIKIPEDIA YA ELU MBAK HAHAHA”

“Hush! Gak sopan! Kalian apa tidak bisa ikut pura-pura bahagia atau gimana gitu?”

Inikah yang akan gue lalui kedepannya...

Kehidupan yang rame, ricuh dan penuh tawuran ini...

Gue kaga bakal pensiun jadi satpam kalau begini.

“WOIII STOOOPPP ANJINGGGG!!! HARUSNYA MALAM INI GUEE PEMERAN UTAMANYAAA”

Seketika meja makan sepi, hembusan angin dari jendela mulai kencang.

Mimi dan Jeje bergandengan tangan.

Rokok Yuqi jatuh dari jepitan jari telunjuk dan jari tengah.

Hunan mengusap-usap perut Ayu.

HIDUP LAMPU

“Yuk, dimakan... dimakan... ini masakan saya dan Iqi... sini saya potongin tumpengnya HAHAHAHA ALIG ALIG ALIG NIH TUMPENG TINGGI AMAT”

“Enak banget?”

“Enak sekali”

“Goodbye kertas amplas!”

“Yuqi, sambel terasi buatanmu sungguh enak rasanya.”

“Asataga yaampun demi apapun ini ikan bakar terenak yang pernah Ayu makan! Mbak Yuqi besok-besok ajarin Ayu makan ya??”

“Pleaseeeeeee.....”

“Saya juga ingin belajar masak, boleh?”

“Kamu gak perlu memasak Mimi cintaku, biar aku aja”

Tiba-tiba jadi restoran prasmanan. Rame bener langsung pada fokus makan.

Mereka adalah orang-orang yang akan menemani hari gue bersama keluarga baru gue nanti.

Kedepannya bersama orang-orang inilah suatu saat mungkin gue akan meminta tolong untuk dibantu masang tabung gas yang karetnya longgar.

Kedepannya bersama orang-orang inilah suatu saat mungkin gue akan meminta tolong untuk dibantu mengabtar istri yang tiba-tiba lahiran dan bersama mengantar ke bidan.

Kedepannya bersama orang-orang inilah suatu saat mungkin gue akan meminta tolong untuk numpang berak kalau-kalau WC gue renovasi.

“Besok hari minggu! Pada mau berkebun tidak? Karena Ayu lagi ngidam jeruk purut ayo kita menanam jeruk purut!”

“Saya dan Hyunjae akan ikut”

“Mimi pengen ciumm huhuhuhu”

“Berkebun??? HAHHAHAHA ALIG ALIG ALIG”

“Alik itu apa? Bahasa jepang? Kamu juga suka anime kah Yuqi?”

Entah karena pencahayaan yang kini tiba-tiba jadi terang benderang dengan posisi kami di meja makan penuh hidangan masakan rumahan.

Entah karena gelak tawa memenuhi ruangan.

Entah karena celotehan gak jelas.

Entah karena kebersamaan.

Tetapi,

Semua terlihat...

Indah.

Bersama Tetangga Masa Gitu.

Suami Takut Istri — pertama kali di ajak menikah


POV : Jeje

Restoran jepang kesukaan pacarku, meja makan dengan lilin yang baunya gak beda jauh dengan minyak nyong-nyong di pasaran serta makanan mewah yang overprice.

Kemudian perempuan paling seksi di hadapan mulai tersedak saat makan sushi karena di dalamnya tersembunyi cincin berlian. Lalu, “Miyeon, Izinkan aku menjadi suamimu.”

Begitu seharusnya.

“Kamu bisa diem gak sih?!”

“Ampuuuunnnnn”

Mimi memukul tangan nakal gue yang sibuk mengusap pipinya sementara ia bersusah payah menyuapi gue bubur ayam rumah sakit yang gak ada rasa sama sekali.

“Oiya, omong-omong Mbak Yuqi kemana? Masih dalam keadaan utuh kan?”

“Pertanyaanmu, ya masih utuh lah!”

“Ya, kali aja kamu gunting salah satu bagian tubuhnya hehehehe”

Seperti yang para pembaca telah ketahui bahwa benar adanya seorang Hyunjae Wijaya jatuh pingsan di tempat kerja.

Sebenarnya karena gue kecapean kerja aja ditambah gue gak sempat makan, jadi malu sampai staff dan pelanggan peripera pada heboh manggilin ambulans demi menolong anak magang miskin kaya gue.

“Sayang, habis ini kita langsung pulang kan? Soalnya aku ada sesuatu yang penting untuk kamu...”

Miyeon mulai cemberut setelah mendengarkan ucapan gue.

“Ini udah jam 9 malem, reservasi kamu udah aku reschedule. Kamu besok gak usah kerja, ya. Nanti kamu tumbang lagi...”

“Gak... gak gitu maksud aku. Aku ada sesuatu yang penting banget... Tunggu, kamu udah tau??”

“Tuh, cincinnya ada di nakas sebelah kasur kamu.”

“Astaga! Hyunjae tolol!”

Sial.

Beberapa bulan belakangan gak tau kenapa setiap melihat Mimi gue rasanya ingin memiliki beliau seutuhnya. Untuk pertama kalinya gue ingin meraih sesuatu.

Selama gue hidup rasanya gue gak pernah punya mimpi yang pengen gue raih. Gak muluk-muluk, manusia sederhana kaya gue juga bisa tau diri.

Semenjak gue kecil gue cuma punya keinginan kecil-kecilan. Misal, kepengen punya mainan iron man gue nabung deh tuh sekitar sembilan bulanan baru bisa kebeli udah kaya ibu hamil aja. Dulu juga gue gak pernah punya keinginan jadi siswa pintar di sekolah, asal lulus aja. Giliran merantau untuk nyari kerjaan aja gue gak pilih-pilih soal tempat kerja, asal dapet kerjaan aja gue udah bersyukur yang penting gak pengangguran kaya si Iqi.

Namun, gue masih ingat dimana mata Miyeon yang berbinar sambil ketawa cekikikan karena gue gak sengaja salim tukang parkir di alun-alun padahal harusnya ngasih selembar dua ribuan waktu itu.

Iya, tatapan itu yang membuat sesuatu di hati gue berkedut tak menentu. Hingga terbersit di benak gue “Gue mesti menikah sama ini bidadari.”

“Hyunjae... gimana kalau kamu pindah ke rumah aku aja? Hm? Kita tinggal bareng aja ya. Toh, kita sudah 5 tahun bersama. Kantor aku juga searah sama store kamu, kita bisa berangkat dan pulang kerja bareng. Supaya kamu gak kecapean gini. Kamu kerja jadi sales aja gak perlu cari kerja sampingan lain, aku gak mau lihat kamu sakit.”

Dia tahu.

Miyeon selalu bisa tahu apa yang gue pikirkan.

Ya, benar. Karena gue ingin meraih seorang Miyeon Lawyer gue mesti memantaskan diri. Belakangan gue ambil semua tawaran kerja yang masuk dengan bantuan Yuqi yang keahlian komunikasi dan marketing di atas rata-rata, perempuan keturunan tionghoa itu dengan bersemangat mengajakku bertemu dengan berbagai kenalannnya. Banyak tawaran kerja lepas yang gue terima, semua berkat Yuqi. Tapi, ya gue gak nyangka ternyata gue bisa tumbang juga.

Sementara, tabungan yang gue punya memang baru cukup untuk bayar DP rumah. Makanya gue pikir untuk sekarang ini baiknya memberikan jaminan dulu ke Miyeon.

Dengan melamarnya...

“Miyeon, gimana kalau kita saling menafkahi aja.”

“Aku udah serius loh ini, Hyunjae”

“Ya, aku juga serius. Aku paham kalau kamu adalah wanita sempurna tapi kalau kamu gak hidup bareng aku pasti rasanya kaya ada yang kurang.”

“Gak gitu juga, sih. Tapi kalau aku pikir-pikir aku memang bahagianya cuma sama kamu. Gak pernah aku sepengen ini untuk mencium lelaki. Eh... eh... diare lagi kamu?”

“MULEESSS DIKIT MI! Aduh... duh... selang infusnya ketarik...”

Miyeon memukul lengan gue dengan penuh cinta. “Masa tiap salting mules sih?! Hahahaha tuh kan... cuma kamu yang buat aku bisa ketawa begini.”

“Dih, kamu mah emang receh. Padahal kata Iqi aku orangnya jayus”

“BESOK AKU SILET JARINYA SI IQI”

“Hahahaha tuh kan.. cuma kamu juga orang yang sayang aku sebegitunya...”

Seketika suasana di kamar rumah sakit menjadi sangat sepi. Tawa yang tiba-tiba hilang sontak membuat gue sedikit merasa malu-malu.

“Menikah, ya? Hm?”

Buset! Beliau mencolek dagu gue. Pengen langsung ngibrit ke WC rasanya!

“Iya, gitu deh. Harusnya kamu sekarang keselek cincin...”

“Yaudah, besok masih bisa kita buat adegan keselek cincin itu. Sekarang kamu istirahat yang cukup aja. Aku gak mau kamu pingsan terus nyari-nyari tangan perempuan lain. Kamu itu udah hak milik aku!”

Kadang gue merasa beliau ini aneh. Bisa-bisanya mencintai gue yang serba apa adanya ini. Anehnya lagi gue dengan songongnya berani menjadi pendamping beliau.

“Miyeon, aku sayang kamu. Nikahin aku, please.”

“Saling menafkahi katamu? Iya, iya. Aku mau! Sini cium dulu,”

Malam itu CCTV rumah sakit menjadi saksi cinta kami. Ciuman dong, uwu.

Tetangga Masa Gitu — iii


POV : Hunan

Aku masih ingat kali pertama mencium tangan Papah Loreng sepulang kencan pertamaku dengan Ayu saat masih pacaran dulu.

“Terima kasih sudah mengantar Gayatri sampai rumah dengan selamat Hunan. Ini terakhir saya lihat kamu ya.” Kemudian beliau menutup pintu rumah sekaligus pintu hatinya.

Entah karena profesinya yang seorang TNI Angkatan Darat atau karena Ayu adalah anak perempuan satu-satunya membuat sikap Papah Loreng terlihat begitu dingin dan tertutup. Kedua alasan yang apabila dikerucutkan tentu karena rasa cinta kasih pada Ayu. Aku bisa memaklumi.

Melihat mahasiswa tingkat akhir berpakaian kaos oblong yang pada lehernya mencuat benang karena kainnya menipis serta poni lempar samping andalanku kala itu mungkin membuat beliau bergidik ngeri. Sungguh berbanding terbalik dengan penampilan klimis orang berseragam yang kulihat fotonya beberapa kali di internet, mungkin seperti itulah harapan Papah Loreng terhadap calon pacar anaknya.

“Maaf, Mas Hunan. Papah Loreng memang agak ketat dan galak hehehe,” ucap Ayu seraya menyapu poni lempar samping kiri ku kesebelah kanan.

Alih-alih menyerah dan takut menghadapi Papah Loreng, aku tetap selalu salim tangan beliau setiap mengajak Ayu keluar. Ini semua tentu karena cinta yang aku punya untuk Ayu lebih besar dari rasa takutku.

Namun, kali kedua penolakan itu...

“Sampai kapanpun Gayatri tidak saya beri restu untuk menikahi kamu”

Hari dimana aku dan keluargaku dengan niat baik mengunjungi rumah Ayu mengantar hantaran lamaran justru di tolak mentah-mentah oleh Papah Loreng. Ayu dan Mamah Guru waktu itu hanya bisa tersenyum pahit.

Keluargaku bisa dibilang berbeda dari keluarga lainnya karena aku sendiri tidak punya sosok Ayah yang bisa mendampingi acara sakral itu. Salah satu alasan Papah Loreng tidak bisa merestui pernikahan kami kala itu.

Aku sedih, sangat.

Sangat sedih.

“Kita lewati ini sama-sama ya, Mas. Pasti bisa.” Ucapan serta kecupan singkat dari bibir ranum Ayu malam sebelum pernikahan kami mampu membuat rasa sedihku sirna begitu saja.

Penolakan-penolakan itu menjadi hal biasa bagiku, saking seringnya. Namun, penolakan kali ini cukup membuatku goyah.

Di dalam mobil sedan bekas yang kubeli beberapa minggu lalu demi memberi akomodasi yang layak untuk antar-jemput istriku itu menjadi saksi betapa lemah dan tak berdaya diriku di hadapan Papah Loreng.

“Hunan... sudah berapa kali saya ingatkan kalau anak saya itu sudah cinta mati sama kamu! Bahkan kalau kamu kentut saja pasti di bilang wangi sama si Ayu!”

Seketika mobil sedan yang kami kendarai berhenti di tengah keramaian jalan tepat saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Alahmak! Mobil bekas ini pintar sekali memilih waktu yang tepat untuk mogok.

“Loh, kenapa lagi mobil ini?!”

“Papah maaf ya kalau Hunan interupsi marah-marahnya... boleh bantu dorong mobil ke pinggir jalan kah? Hehehe....”

Aku menggaruk kepala karena perasaan tidak enak, sementara Papah Loreng sepertinya garuk kepala karena heran akan kelakuanku.

“Jadi, kamu antar-jemput Ayu ke rumah sakit pakai mobil rongsokan ini?”

“Kurang lebih begitu, Pah”

Semua ini bermula dari kedatangan beliau yang begitu tiba-tiba. Karena sehari usai pernikahanku dan Ayu, Papah Loreng mendapat panggilan tugas untuk menghadiri acara yang aku tak tahu menahu tentang apa.

Keputusanku untuk pindah dari kosan ke rumah mewah dengan iming-iming DP nol rupiah serta cicilan bertahun-tahun hanya berjarak seminggu pasca pernikahan justru membawa petaka.

“Cicilan rumah itu gimana ceritanya? Sanggup kamu? Bisa-bisanya perabotan rumah kosong begitu. Anakku gak kamu kasih makan, ya?”

“Kalau kata Ayu sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, Pah. Hehehehe”

“Iya, bukit utang! Kamu dan Ayu sama saja kelakuan masih seperti anak kecil. Tau begini gak saya restui kamu dan Ayu menikah.”

Kepergian Papah Loreng bersama supir pribadinya meninggalkanku dan mobil sedan yang terus mengeluarkan kepulan asap. Rasanya seperti di tampar dengan kencang, di tampar kenyataan.

Jujur, sebagai seorang suami dan kepala keluarga aku merasa gagal. Mengambil keputusan sepihak tanpa pikir panjang, bersikap acuh tak acuh di depan mertua hingga berani mengajak perempuan yang selama hidupnya selalu diberi yang terbaik oleh kedua orang tuanya justru ku ajak menjalani hidup pas-pasan.

“Hunan? Kamu ini di ajak ngobrol malah ngelamun! Cepat push up dan 50 hitungan dari sekarang!”

“Ih, Papah gimana sih? Katanya cuma bacain naskah proklamasi, kenapa Mas Hunannya di suruh push up juga?”

“Sudah, Pak. Kasihan Hunan mukanya keliatan pucat begitu. Sekarang kamu coba mainkan salah satu instrumen piano paling terknal di tahun 90-an,”

“Ih, Mamah juga gimana sih? Mas Hunannya pusing makanya bisa pucat begitu,”

Terhitung 3 hari 2 malam sudah Ayu pulang pada pelukan mertuaku. Disinilah aku dengan rasa bersalah yang sangat besar hanya mampu menundukkan kepala serendah mungkin.

Inilah hari dimana aku berusaha kuat di depan mertua demi membawa istriku pulang ke rumah.

Disinilah Aku, Ayu, Papah Loreng serta Mamah Guru duduk berhadap-hadapan di sofa empuk rumah mertuaku.

“Pah... Hunan malu sekali sebenarnya menjemput Ayu melihat alasan Ayu kemari karena saya yang tidak becus menjadi seorang suami. Soal cicilan rumah...”

“Apa? Kamu mau bela diri yang bagaimana lagi? Nasih sudah menjadi bubur, kamu urus saja cicilan dan tunggakan asal jangan bawa-bawa anak saya. Ayu lebih bahagia hidup bersama saya dan istri saya. Lagian mau tunggu kamu di promosikan di kantor sampai jabatan setinggi apa?”

“Papah! Mas Hunan! Cukup deh bahas cicilan rumah. Kenapa semuanya jadi tentang Mas Hunan aja sih?! Ini yang bangun rumah tangga Mas Hunan sendirian? Aku ini gak di anggep kah?”

“Hahahaha... Ayu...” saat Papah Loreng justru terkekeh sebagai respon amukan Ayu membuatku sedikit curiga. Beliau menepuk jidat seraya berujar “Waduh... cape deh... anak-anakku ini...”

“Bukan begitu sayangku...” aku mencoba menenangkan Ayu.

“Ayu senang banget kok ngikutin segala kemauan dan impian Mas Hunan. Ayu gak kepengen punya rumah serta perabotan mewah, Ayu gak masalah naik motor dan pakai helm kegedean, Ayu juga gak apa-apa kalau harus makan nasi padang setiap hari! Ayu maunya Mas Hunan. Gak mau yang lain! Ayu mau hidup bahagia sambil menanam pohon jeruk bersama Mas Hunan udah itu aja! Kenapa semuanya jadi ribet begini sih?! HUAAAAAA MAMAAAA HUHUHUHUHUHU”

Tidak kusangka Ayu bisa meledak seperti ini. Ah, berarti selama ini ia kepikiran. Banyak sekali yang ingin Ayu tumpahkan.

Ayu menangis kencang di pelukan Mamah Guru. Tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan deras. Aku pun mengusap ingus menggunakan lengan seragam Papah Loreng.

“Ayo kita usahakan rumah itu bersama-sama, Ayu. Mari kita isi kebun luas di belakang rumah itu dengan berbagai tanaman kesukaanmu, sayang. Mas akan berhenti cek website IKEA maupun ACE Hardware, gak perlu perabotan mewah. Mas cuma mau makan malam di meja berdua bersama kamu sambil obrolin Jujutsu Kaisen atau kamu mau curhat perihal pasien di RSJ juga dengan senang hati Mas dengarkan”

“Ayu juga akan coba belajar sup ayam kesukaan Mas Hunan. Maaf, ya Mas Hunan makanannya gak pernah enak. Makasih sudah sabar menghadapi Papah-Mamah Ayu, makasih banyak Mas Hunan rela kerja keras demi menghidupi Ayu. Makasih telah menjadi Mas Hunan yang senantiasa mencintai Ayu”

Bak film india dengan lagu latar kuch kuch hota hai, kami berdua lari kedalam pelukan masing-masing dengan dramatis. Aku dan Ayu saling merengkuh dan menangis.

Kami berdua menumpukan kepala pada bahu masing-masing.

Sementara itu,

“Hahaha... Dasar dua anak kecil kesayanganku ini...”

Suami Takut Istri — pertama kali menyatakan cinta


POV : Mimi

Aku kasmaran.

Tepatnya, lima bulan lalu.

Saat seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit putih bernama Hyunjae membuatku tertawa semalaman di mall yang sudah gelap karena hampir tutup.

Sejak obrolan penuh tawa diikuti dirinya yang perlahan mulai memasuki hari-hariku, entah sejak kapan menanyai kabar dia menjadi rutinitas.

Bagiku, Hyunjae seperti mainan yang kalau di pencet hidungnya tiga kali bisa membuatku tertawa puas.

Menjemputnya sepulang kerja untuk kemudian kami menghabiskan waktu duduk ngobrol di alun-alun sambil minum bandrek kesukaannya. Melepas penat bersama Hyunjae sesederhana jalan-jalan keliling pasar mencari buah segar saat hari libur kerja. Isi kepalaku yang berantakan seperti benang kusut bisa tiba-tiba hilang begitu saja apabila duduk sambil makan bakso di pinggir jalan bersama Hyunjae. Sesederhana itu. Begitu nyaman rasanya berada di dekat Hyunjae.

Seharusnya malam ini sama seperti malam sebelumnya dipenuhi dengan gelak tawa dan obrolan manis kami sambil makan di pinggir jalan.

Tapi, malam ini dia makan nasi padang bersama perempuan lain.

Dengan emosi yang kian memanas aku segera pulang dari kantor menuju mall tempat Hyunjae bekerja masih lengkap dengan setelan jas.

“Halo, Mbak Mimi,” Hyunjae mengetuk-ngetuk kaca mobilku sambil tersenyum lebar sampai giginya keliatan semua.

Baru kali ini aku rela menunggu seorang lelaki di parkiran selama 10 menit, Bahkan dengan emosi yang harusnya sudah meledak-ledak aku masih bisa sabar karena yang kuhadapi saat ini itu Hyunjae.

Staff magang di store kosmetik langgananku.

Pria sederhana.

“Makasih malaikat, bidadari, ibu peri yang baik hati udah mau repot-repot menjemput budaknya uwuwuuwu,” dia memanyunkan bibirnya sambil mengenakan seat belt.

“Gimana tadi? Enak nasi padangnya?”

Mohon jangan anggap aku aneh karena mulai marah-marah kepada sales lipstik ini perihal makan nasi padang dengan perempuan lain meski aku pada dasarnya bukan siapa-siapanya.

Apa yang kurasakan saat ini juga... aku bingung kenapa bisa serumit ini.

“Enak banget, Mbak! Pokoknya besok-besok Mbak Mimi mesti cobain! Apalagi rendang sama telor sambel balado juara deh!”

“Makan sama Yuqi itu kali makanya rasanya jadi lebih JUARA!”

Hyunjae bercerita sambil membuka tas ranselnya, mengambil sebotol air mineral dan membukakannya untukku.

“Bibir Mbak Mimi kering... ini minum dulu...”

“Pengalihan isu!” begitu ucapku. Namun, tetap saja ku tenggak air mineral itu.

“Mbak Mimi hahahaha.... lucu banget kok marah-marah gitu??? Saya kan cuma kerja hahaha”

“HAHA HEHE lama-lama ku colok juga matamu pake aplikator lipstik jualanmu”

Dalam hitungan detik gelak tawa Hyunjae segera sirna.

“AMPUNNN MBAK MIMIIII EMANGNYA SAYA SALAH APA MBAK HUHUHUHU”

Lucu, bagaimana dia meraih kedua tanganku dan salim minta pengampunan.

Baru kali ini aku ingin memukul sekaligus mencium orang lain di saat bersamaan.

“Ngapain minta ampun kalau belum tau salahnya apa?”

“Yuqi itu pelanggan saya, Mbak. Sama seperti Mbak Mimi”

“Tapi bedanya... kalau Mbak Mimi spesial kaya martabak telor” lanjutnya lagi.

Martabak telor katanya?

Ya... memang martabak telor itu enak dan spesial. Aku suka perumpamaan itu.

Tapi aku tetap marah.

“Terus, kenapa Yuqi yang pegang handphone kamu? Pakai fotoin kamu segala? Sedekat itu kah? Oh, berarti yang kamu ajak makan dan keliling alun-alun gak cuma aku aja? Tiap hari beda-beda pelanggan yang kamu goda? Kamu macam-macam sama aku? Inget ya aku ini pengacara!” dalam satu tarikan napas aku meneriaki Hyunjae dengan segala prasangka.

“Udah marahnya?”

“UDAH!!!”

“Mbak Yuqi itu pelanggan setia Peripera yang sudah akrab banget sama saya. Sudah seperti adik sendiri. Anaknya juga iseng, suka main-main gitu. Tapi saya senang sih... Mbak Mimi jadi cemburu...”

“Siapa yang cemburu?!”

Padahal kalau dipikir-pikir aku gak punya hak untuk marah-marah ke Hyunjae. Tapi, kenapa dia selalu jadi si baik yang gak pernah protes sih?

“Mbak Mimi habis belanja??? Beli apa aja itu???”

Ia melirik dua kantong plastik hitam di jok belakang mobilku.

“Iya, tadi di lampu merah ada yang jualan tisu. Anak SD yang jual, kasihan. Aku beli semua dagangannya”

“Baik banget. Mbak lihat saya juga kasihan ya, makanya kemarin beli semua lipstik dagangan saya?”

“Oh, itu karena aku naksir kamu aja...”

Kayaknya tanpa perlu aku jelaskan juga satu dunia sudah tau bagaimana perasaanku terhadap Hyunjae. Namun, ini kali pertama aku dengan lantang mengakui perasaanku.

Tapi lihat saja... bahkan responnya cuma senyum tipis.

“Oh, sekarang kita udah pakai aku-kamu ya?”

“Supaya beda sama pelanggan kamu yang lainnya. Katamu aku spesial, iya kan?”

“Miyeon, aku gemes...” ia duduk menyender menatapku dan kembali melepas seta belt.

“Gemes banget?” aku ikutan menyender menatapnya.

“Banget... banget... banget...” kepala Hyunjae mengangguk-angguk lucu.

“Boleh cium?”

Hening.

Dingin.

Aku mengangguk, mengiyakan.

Hyunjae meraih kedua tanganku kemudian mengecup telapaknya satu persatu.

“Cantik sekali, Miyeon”

Dia mengusap pipiku sebelah kanan sambil terus mengucap “Jangan marah ya, Cantik”

“Kamu cantik banget sih?” ucapnya gemas hingga hidungnya mengkerut dan bibirnya mengecup pipiku sekilas.

“Baru pulang kerja begini aja cantik banget, rambutnya...” Hyunjae mengusap kepalaku.

“Hidungnya...” tengil sekali ia menyentil pelan hidungku.

“Bibirnya...” sidik jari itu berhenti mengusap ujung bibirku.

Malam itu tubuhku seperti dirasuki sesuatu yang tak kasat mata.

Aku masih bisa mengingat sepersekian sekon lalu bagaimana mata Hyunjae membelalak karena tindakan spontanku. Ya, aku segera melepas seat belt lalu mempersempit jarak kami berdua hingga napasnya bisa kurasakan menderu di bibirku.

Hyunjae menggigit bibir bawahnya. Mengacak-acak rambutnya. Kemudian menarik dasiku sambil berbisik...

“Bisa gila....”

Hyunjae meraih tengkukku mendekat pada wajahnya membuat hidung kami berdua bertubrukan.

“Jeeee.... nabrakk tauuu... geli....” aku sudah hampir mundur dan menyerah karena tidak kuasa menahan geli di perut.

Tapi tidak dengan pria nakal satu ini.

Tangan Hyunjae menangkup kedua sisi pipiku dan memiringkan wajahnya. Bibir tipis miliknya menyentuh bibirku, hangat bibirnya menyebar dari pipi hingga telingaku, semua menjadi hangat. Berbeda dengan telapak tangan dan kaki ku yang kini menjadi dingin karena gugup.

Setiap sentuhan, setiap lumatan dan setiap gerakannya membuat tubuhku bergetar. Aku mengikuti setiap gerakan kepalanya.

Ia berhenti.

Hyunjae berhenti.

Ia mengecup sudut bibirku singkat. Kuulangi, sudut bibirku!

“Kenapa berhenti?” terdengar seperti orang kehausan.

Hyunjae menatapku dengan mata sayu, napas terengah-engah serta bibir basah.

Tangannya menelisik lekuk pinggangku, menarik tubuhku mendekat, mengangkatku ke pangkuannya.

Di mobil sempit ini...

Posisi kami sekarang, Hyunjae di bawah dengan kepala menengadah memberi lumatan-lumatan hangat. Sementara aku di atasnya menyisir pelan rambut halusnya sedikit menjambaknya karena tak kuasa menahan diri.

Hyunjae seperti dikejar setan, ia menekan tengkukku memperdalam tautan bibir.

Ia menggigit dan menghisap di waktu bersamaan.

Ia menyesap apa yang bisa ia lahap dengan penuh.

Sampai kami berdua sama-sama kehabisan napas. Sampai jantung rasanya mau copot. Sampai perut benar-benar mulas. Akhirnya melepas pagutan, mencoba meraih oksigen dalam satu tarikan napas panjang.

Sampai kami berdua saling bertumpu pada ceruk leher masing-masing. Aku menjatuhkan dahiku di dadanya. Mulai kembali bernapas dengan teratur.

“Maaf aku gak izin dulu... kebablasan...” ujar Hyunjae sembari mengecup keningku singkat.

“Maaf rambut kamu berantakan... dasinya juga...” ia merapikan dasiku. Hyunjae mengusap kepalaku dan membawaku kembali dalam pelukannya.

“Kamu kok jago banget sih, Je? Kamu udah sering ya?”

“Hahaha apa sih... Kamu juga... bibirmu kok ada manis-manisnya gitu sih?”

“Mulutmu bau nasi padang!”

“Hah? Masa sih? AAAAAAA padahal aku udah sikat gigi”

“Hahahaha enggak...”

“Oh, iya. Aku baru pertama kali ciuman loh, Je”

“Hah?! Bibir seksimu ini aku yang pertama kali menciumnya??”

“Iya, makanya kamu mesti banyak bersyukur”

Begitulah malam ini, di parkiran, di dalam mobil ini, berakhir dengan Hyunjae yang sibuk berkomat-kamit sambil menutup mata memanjatkan doa ucapan syukurnya atas perempuan hebat seperti aku.

Suami Takut Istri — pertama kali berkenalan (part ii)


POV : Jeje

Ternyata cinta panda pandangan pertama yang dinyanyikan Slank feat Nirina Zubir itu nyata adanya.

Gue naksir pelanggan gue dalam waktu kurang dari 5 menit berkenalan.

Kalau dipikir-pikir lagi gue bertemu Mbak Mimi pelanggan lipstik dagangan gue ini cuma berkenalan dan bertukar nomor ponsel dalam waktu singkat. Bahkan hanya beberapa kali bercengkrama via chat. Dengan penampilan beliau yang cukup kaku membuat gue gak yakin Mbak Mimi memiliki sifat ramah dan terbuka.

Disinilah gue dan beliau, di store tempat gue bekerja dengan suasana sepi karena mall yang hampir tutup. Memang hari ini cuma gue yang akan nutup toko.

“Menurut kamu lipstik ini gimana, Jeje?”

Gue masih dengan posisi mulut terbuka lebar dan hampir menjatuhkan tetes air kehidupan dari mulut gue. Menatap Mbak Mimi beberapa detik kemudian gue mengacungkan kedua jempol.

“SEKSI BANGET MBAK!!!”

“HAHAHAHA”

Gue keceplosan.

Gimana ya, lipstik dagangan gue ini dipoles sedemikian rupa di bibir ranum nan indah Mbak Mimi dalam sekejap mampu membuat gue bengong.

“Astaga demi tuhan yang maha kuasa. M-maksud saya cakep, Mbak. Cocok warna lipstiknya dengan warna kulit Mbak Mimi. Maaf, Mbak”

“Hahaha... Jeje ada-ada saja” bahu gue di tepok penuh kasih sayang. Gak, sori maksudnya ya di tepok kayak orang lagi ngakak brutal aja.

“Oh jadi... saya gak seksi ya?”

DEMI. TUHAN.

Pake ditanya?

“Mbak, sebentar jantung saya... ENGGAK KUAT”

“Hahahah kamu lucu sekali... yaudah gimana ini menurut kamu cocok kan ya? Kalau cocok saya mau beli juga sekalian.”

“Cocok banget Mbak! Empat jempol untuk Mbak Mimi”

Kiss Proof kan ya ini?” alisnya naik sebelah, menggoda.

MATI GUE

Bibirnya ngapa di manyunin sih wahai Mbak Pengacara yang cantiknya perpaduan bidadari dan ibu peri.

“Waduh kurang paham saya, Mbak”

“Hahaha... oke... oke... saya bercanda”

Beliau tertawa sambil sedikit menutup mulutnya dengan jari tangan, suara tawanya semerdu kicauan burung kolibri peliharaan tantenya iqi, bahkan lengkungan mata Mbak Mimi seperti memancar cahaya.

“Mbak Mimi tolong jangan bercandain saya. Soalnya, hidup saya udah cukup komedi”

Gue dengan sigap meraih lipstik dari genggamannya dan memasukkan beberapa item diskon belanjaan ke paper bag seraya membawanya ke meja kasir.

“Oke... oke... jadi setelah ini kamu langsung pulang kan? Kamu pulang naik apa?”

“Iya, Mbak Mimi pelanggan terakhir jadi saya langsung tutup toko. Nanti saya pulang ke kosan naik Gojek Mbak”

“Oalah, kosan kamu dimana?”

Gue udah mulai curiga sama dialog ini.

“Deket sini kok, Mbak. Seberang perumahan Pondok Permai. Tau gak?”

“Wah, kebetulan rumah saya di pondok permai. Apa sekalian saya anter saja? Saya bawa kendaraan pribadi ini. Itung-itung bales budi, soalnya saya udah ngerepotin kamu banget hari ini”

Wah, keliatan dari wajahnya sih masih muda ya. Profesi yang menjanjikan, paras rupawan dan harta melimpah.

“Gak perlu, Mbak Mimi. Kebetulan jam-jam segini udah ada mas Gojek yang merindukan kehadiran saya. Kepulangan saya kan jadi rejeki buat mas Gojek”

“Hahahaha... Lucu sekali Hyunjae”

Aduh nyegir mulu bidadari, awas loh ntar demen sama gue. (amin)

“Senang berkenalan dengan kamu, Hyunjae”

“Saya lebih senang lagi, Mbak. Hehehe... aduh jadi ketawa mulu, tulang pipi saya sakit ini saking lebar senyumnya”

Gue gak paham ini entah Tuhan lagi berbaik hati atau gimana, pokoknya gue merasa bersyukur bisa di pertemukan dengan perempuan hebat ini.

Perkenalan dan obrolan singkat yang sederhana ini mampu membuat hari gue jadi lebih menyenangkan.

Mungkin terlalu cepat kalau dikatakan jatuh cinta. Yang jelas, gue senang berkenalan dengan Miyeon si Pengacara pelanggan Peripera.

Rasanya gak cuma gue disini yang bebannya ikut terangkat. Karena beberapa saat sebelumnya gue melihat Miyeon menolak panggilan di telepon hingga berujung mematikan telepon genggam miliknya. Melihat lengan kemeja dan jas yang digulung hingga ke lengan saja cukup membuat gue kepikiran. Begini ya kalau orang sibuk lagi bersantai? Apa gue mikirnya kejauhan?

Beliau kemari seperti melepas jenuh. Dan gue senang bisa jadi sumber tawanya meski hanya karena obrolan receh dan sok manis.

Senin malam, di toko tempat gue bekerja, dengan warna seragam yang begitu kontras, gue yang serba merah jambu sementara beliau dengan setelan serba hitamnya. Senin malam itu kami berdua tertawa lepas.

Suami Takut Istri — pertama kali berkenalan


POV : Jeje

Hidup segan mati tak mau.

Peribahasa yang sangat menggambarkan hidup gue beberapa tahun belakangan. Bagaimana hidup hanya diisi dengan kegiatan makan, tidur, dan bermain game. Bangun siang kepala selalu terasa pening kemudian mengisi perut dengan pisang goreng ditemani teh gelas dan rokok. Yah, begitu-begitu aja.

Hidup masih mengandalkan uang dari orang tua untuk makan serta numpang di kosan sahabat gue untuk tidur memang membuat gue cukup merasa malu. Kasihan orang tua gue di kampung kalau tau anak laki-lakinya ini kekurangan gizi di perantauan.

Satu-satunya hal yang bisa gue syukuri hanyalah tampang gue yang emang cakepnya melebihi rata-rata.

Bermodalkan tampang itulah gue akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan menutup masa pengangguran gue sekaligus mengurangi beban orang tua dikampung supaya gak ngirimin uang makan lagi.

Gue bekerja sebagai salesman di salah satu store brand kosmetik ternama dari korea selatan, Peripera.

Kalau kata sohib gue sejak SMA yang selalu gue recokin kamar kosannya, Rizqi Mulyono biasa di panggil Iqi, katanya gue bekerja sebagai pedagang lipstik.

Dengan seragam hingga toko bernuansa merah jambu ini membuat gue diolok-olok oleh Iqi. Padahal kalau gak pink gak lakik ya, Bro.

Gue merasa bersyukur banget bisa punya pekerjaan mulia ini. Dapetin duit halal sekaligus bisa melihat pelanggan yang seperti bidadari.

Bukan hiperbola. Semua perempuan di muka bumi ini memang selalu indah bagai bidadari, apalagi kalau belanja di peripera cantiknya bertambah puluh kali lipat. (promosi)

Memang ciptaan tuhan paling indah bernama perempuan ini selalu bisa membuat gue terkagum. Tapi, baru kali ini gue rasanya ingin menyembah perempuan. Inikah saatnya gue menganut agama baru?

“Permisi, kak Yves-nya kemana ya?” barusan seorang bidadari yang berbicara.

Pelanggan yang ingin gue sembah itu berdiri dengan kepala yang celingak-celinguk mencari seseorang bernama Yves.

Biar gue deskripsikan bagaimana sosoknya bisa membuat gue terhipnotis sampai tolol. Ia datang dengan setelan kemeja berbalut jas hitam dan celana kain berwarna senada. Rambutnya ditata sedemikian rupa hingga terlihat begitu rapih meski hanya diikat sederhana. Dilengannya bergelayutan tas tangan hitam yang menambah kesan formal. Penampilan bak bos mafia tetapi wajahnya bagai seorang ibu peri. Raut muka kebingungannya betul-betul membuat gue terpana.

Tanpa basa-basi gue segera menghampiri beliau dan ngelap tangan basah gue sekejap di celana kain sebelum melambai tangan menyapa beliau. “Halo, mbak. Kenalkan saya Hyunjae, pegawai magang disini menggantikan mbak Yves hehehehe ada yang bisa saya bantu?”

“Oh, ya. Saya gak tau kalau Yves sudah tidak bekerja disini”

Senyumnya tipis-tipis manja, Bro.

“Iya nih, Mbak. Saya memang baru seminggu bekerja disini. Kalau saya yang melayani gak apa kan ya, Mbak?” gue mengeluarkan jurus senyum unyu-unyu andalan gue berharap beliau kepincut sama gue.

Dari penampilan serba rapih dan mata yang mulai sibuk menatap jam tangan sudah jelas bahwa perempuan luar biasa ini sedang dikejar waktu.

“Iya, gak apa. Begini... saya biasanya sudah langganan di store sini dan sudah titip Yves soal produk yang memang saya gunakan. Tetapi... sepertinya saya tidak punya banyak waktu. Boleh saya minta tolong...”

“Hyunjae, Mbak. Nama saya Hyunjae”

“Hyunjae saya boleh minta nomor kamu?”

Rasanya seperti ada kembang api yang meledak di perut gue. Perempuan yang ingin gue sembah ini meminta nomor gue? Perempuan sempurna ini?

Tenang. Hyunjae. Wijaya.

Jangan kaya anjing lepas dari kandang.

“Biasanya Yves yang mencarikan produk kebutuhan saya. Jadi, saya minta tolong ya...” beliau mengeluarkan telepon genggam dari saku kemudian membiarkan gue menyimpan langsung nomor telepon gue.

“Oh biasanya emang suka borong gitu ya, Mbak?” basa-basi sambil ngetik biar gak awkward.

Jeje Peripera

Begitu nama yang gue simpan disana.

Gak mungkin Sayang

“Lumayan... Ok terimakasih ya, Hyunjae. Saya duluan”

“Woke. Hati-hati Mbak”

“Miyeon, nama saya Miyeon. Kamu boleh panggil saya Mimi”

“Siap! Hati-hati Mbak Mimi hehehehe”

Dengan tampang cengo gue melambaikan tangan kepada Miyeon dan hanya dibalas dengan senyuman.

Sebuah senyuman tipis yang bahkan gak bisa gue bedakan entah senyum atau bentuk raut orang cemberut. Satu garis tipis terbentuk di bibirnya. Punggungnya mulai hilang dari pandangan mata.

Sekarang, gimana caranya mendaftar agama baru???