Kisah Kasih Kucing — iii
POV : Gunawan
“Peliharaanku!”
Satu-satunya anak manusia yang memanggil gue sebagai peliharaan adalah Haura Rinanti Hutapea. Perempuan dengan mata yang terbuka lebar selalu mengedipkan mata secara perlahan itu kini berteriak senang pada ayunan ke lima belas.
“Lagi! Ayun lebih kencang! Sampai aku terbang ke lang… AAAAAA”
“Hahahaha… kamu keren bisa masuk on the spot Harin. Kucing pertama yang bisa terbang!”
“Hahahaha aduh geli. AAAAAA perutku geli! Lebih kencang Gun!”
Entah kemana perginya hari-hari gue dengan rutinitas yang membosankan itu. Kalau beberapa bulan lalu seorang Gunawan akan bangun pagi, sekolah, rapat, les dan begitu seterusnya. Sejak pacaran sama Harin semua kegiatan itu tetap gue lakukan gak ada yang berubah, tapi dia menambah banyak gelak tawa. Gak pernah seharipun hari gue berlalu tanpa tulang pipi yang sakit karena terus-terusan senyum dan ketawa. Setiap detik yang berlalu akan selalu ada seseorang yang gue jitak kepalanya, sentil hidungnya, cubit pipinya. Menit-menit yang berjalan kini diisi dengan celotehan dan omelan Harin. Entah itu dia yang bercerita fakta unik kucing yang baru ia baca dari ensiklopedia, dia yang menyumpah serapah bendahara kelas mata duitan karena selalu menagih uang kas, hingga dia yang selalu gak pernah capek untuk menyatakan cintanya ke gue hanya karena supaya gue gak lupa.
Aku gak pernah lupa, rin.
“Hap!” dia lompat dari ayunan hingga terjatuh seperti kodok.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan, Rin?”
“Aduduh… lutut aku sakit. Kayaknya kalau pegangan tangan sama cowok manis bakalan sembuh deh huhuhuhu”
“Nakal.”
Gue terkekeh melihat kelakuan ajaib Harin.
Secinta-cintanya, gue gak sadar bahwa sekarang gue sudah menyatukan jari gue dengan jari Harin membuat genggaman kami semakin erat. Tangan Harin kecil dan cenderung dingin membuat gue ingin selalu ada buat sekedar menyalurkan hangat yang gue punya. Serta merta gak kuasa menahan diri untuk mengusap-usapkan jempol gue pada tangan yang bertaut.
“Kamu kenapa sih liatin aku terus? Gak tahan pengen cium aku ya?”
“UHUK…. UHUK… UHUK…”
“Dih sampe batuk gitu, dasar otaknya mesum!”
“Jangan aneh-aneh kamu! Awas loh, aku cium beneran!”
“Hah???”
“Manyuuunnnnn” upaya gue menggoda Harin justru supaya ia menjauh.
“Ih, awas kamu cowo berandalan! Gak tau adab!”
Harin melepas genggaman tangan gue dan berlari-lari kecil masuk ke dalam indomaret. Lucu bagaimana kakinya mengambil langkah sediki-sedikit membuat rambut panjangnya itu bergerak kesana kemari.
Iya, hari ini memang jadwalnya kita pacaran. Gue tipe orang yang selalu tau mau apa, ngapain, kapan, dimana. Sudah siap dengan seribu satu agenda pacaran karena gue sangat suka menghabiskan waktu bersama Harin.
“Gun,” ia menyodorkan sekotak susu cokelat kesukaan gue.
“Makasih kecil.”
Harin menyodorkan pipi sebelah kanan kode minta di cubit. Gue balas dengan mengusapkan dua jari gue ke pipinya perlahan. Dia menggeleng kepala semakin mengarahkan pipinya ke gue pertanda kesenengan si bocah.
Gila, dunia udah gila. Gue manusia paling bahagia di alam semesta ini.
“Hehehe geli… geli…” si dia menikmati berbagai sentuhan yang menghujam pipinya.
“Jangan kebiasaan minta cubit, Rin. Nanti pipi kamu merah.”
“Iya, ternyata aku lebih suka kamu elus-elus begini, Gun.”
Kelakuannya betulan bikin geleng kepala.
“Kucing… kucing…”
Rambut Harin yang sebelumnya digerai kini ia kuncir satu. Kepalanya bergoyang kiri dan kanan entah lagu apa yang kini sedang ia gumamkan dalam hatinya. Tangan kirinya sibuk menekan kemasan Cimory Yogurt agar lebih mudah diseruput, tangan kanannya memainkan jari kelingking dan jari manis gue. Hampir gila rasanya waktu telapak tangan Harin hanya mampu menggenggam dua dari lima jari gue.
Kenapa dia lucu banget?
“Tumben si pengangguran lama jemput aku.”
Pengangguran yang ia maksud adalah kakak laki-lakinya sendiri yang sebenarnya kini berprofesi sebagai pengacara. Coba saja kalian ketik nama Ujang Hutapea di Google pasti akan muncul betapa populernya pria sukses berdarah batak sunda itu.
“Udah maghrib, Rin. Mau ke rumah aku aja kah?”
“Gak ah, aku takut melakukan hal yang dilarang agama kalau kelamaan sama kamu.”
“Hariiiinnnnn”
Ajaib. Harin yang seperti itu yang membuat hari-hari bersamanya gak pernah gak menyenangkan.
***
Semoga gak ada yang memaki gue karena telah mengajak Harin bermalam minggu di kamar gue.
Atas izin mami juga yang membuat Harin memilih singgah dulu di rumah. Tentu saja Aa Ujang penyebab duduknya gue dan Harin di kamar ini, salahkan beliau yang selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga menunda waktu menjemput adiknya yang paling nakal ini.
“Aw!”
“Kamu ngeremehin cinta aku ya?!”
“Beneran kok! Kita pertama kali ketemuan itu kan di kantin sekolahan sambil ngasih makan kucing. Kamu natap mata aku udah kayak mau makan aku aja… AW! Harinnnnn!”
Kedua kalinya kepala gue dijitak masih belum menyadarkan gue akan kesalahan apa yang telah gue perbuat sampai Harin bisa semarah ini.
Posisi kita berdua duduk bersila saling berdahapan di karpet sebelah kasur gue. Mata si kecil kesayangan gue kian memicing tajam menandakan amarah yang besar.
“Indomaret bulan juni!”
“Hah?”
“Rambut kamu sedikit lebih panjang, belum di potong karena masih libur semester, kamu lagi kasih makan kucing, kamu pakai jaket jeans, senyuman kamu lebar!”
“Sebentar….”
Indomaret bulan juni.
Ada banyak ingatan di tempat itu, mengingatkan gue pertama kali bertemu mpus, mbul, emim dan kawan-kawannya. Ya, benar.
Harusnya ingatan akan tempat itu hanya sebatas tempat gue membeli susu cokelat kesukaan gue sebagai pelepas dahaga sehabis bermain futsal di terik siang dan tempat gue mampir memberi makan kucing-kucing liar yang sudah gue namai agar mudah diingat.
Harusnya begitu.
Sampai pada suatu sore yang berangin dimana pohon mangga kala itu sedang musimnya berbuah dan banyak berjatuhan megotori jalan. Indomaret pertigaan gang yang tak pernah sepi itu entah bagaimana ceritanya bisa mendadak sepi. Kucing-kucing liar yang biasanya nagih jatah whiskas ke gue juga anehnya tertidur lelap. Momen itulah dia muncul. Kucing kecil lucu bersuara parau dan mengedipkan matanya perlahan sebanyak dua kali sebelum ia berteriak.
“Peliharaanku!”
“Hah?”
Suara gue tercekat. Mata gue mendapati seorang anak perempuan berkaos kedodoran dan celana jeans biru berdiri tegap di hadapan gue. Dia memegang erat es cekek di tangan kanannya dan tangan kirinya menunjuk tepat pada wajah gue dengan sembrono.
“Mulai hari ini kamu peliharaanku!”
Perempuan kecil yang berani menunjuk dan mengangkat gue sebagai peliharaannya begitu saja itu kini menjadi perempuan yang daripadanya kebahagiaan gue tercipta.
“Astaga?! Itu kamu, Rin?”
“Ah, males. Cinta kamu cuma main-main ternyata.”
“Enggak, Rin! Aku inget sumpah aku baru inget… Aw!”
“Dasar cowok nakal!”
Jitakan ketiga.
Dan jantung gue berhenti berdetak ketika ia memilih duduk di sebelah gue kemudian menyenderkan bahu dan kepalanya ke pundak gue.
“Sejak itu aku udah cinta sama kamu, Gun. Rambut kamu yang terbang waktu hari berangin bulan juni. Kenyataan kalau kita satu sekolah itu juga buat aku gila. Hari dimana aku beraniin diri buat ngobrol lagi sama kamu, kantin sekolah siang itu kamu keringetan karena habis lari dari ruang osis demi ngasih makan kucing. Setiap ngeliat kamu aku rasanya kayak mau teriak kenceng tapi gak bisa.”
Gue hanya mematung mendengar pengakuan Harin.
“Sejak hari berangin di bulan juni aku janji ke diri aku untuk selalu ada buat kamu. Bangun pagi demi upacara bendera yang gak pernah mau aku lewatkan, setiap pidato kamu di lapangan, nyari nama kamu di jajaran pengumuman siswa berperestasi mading sekolah, sampai liatin kamu main futsal sore-sore.”
Gue menoleh dan mendapati Harin hanya menatap kosong ke lantai. Kalimat yang keluar dari mulut harin mungkin memang terdengar sederhana dan biasa saja. Tapi apabila mengingat pertengkaran yang beberapa hari lalu terjadi antara gue dan dia membuat gue gak berhenti merutuki diri sendiri dalam hati.
Harin selalu ada buat gue.
“Tapi, waktu aku tahu gak cuma aku yang punya perasaan ini. Dunia aku rasanya kayak mau meledak tau! Ada banyak kembang api di perut aku!”
Gue terkekeh.
“Waktu tau kamu selalu nungguin aku setiap jam istirahat, kamu yang lari-lari keluar dari ruang OSIS nggak buat ketemu kucing tapi juga buat temenin aku ngobrol, kamu yang pertama kali chat aku, kamu yang nawarin belajar bareng, kamu yang selalu siapin topi cadangan buat aku yang pelupa, kamu yang selalu bawain aku air putih supaya aku gak lupa minum, dan Gunawan yang selalu doain aku. ‘Hati-hati, Harin’, ‘Baik-baik ya Harin’, dan yang aku paling suka ‘Sama aku terus, ya’.”
Kini hanya suara jarum jam yang berdetik memenuhi segala sudut kamar gue. Juga hangat dari tangan gue yang kembali bersentuhan dengan tangan Harin serta diikuti aliran listrik yang menjalar pada seluruh tubuh gue.
Tanpa aba-aba Harin ikut memalingkan kepalanya membuat wajah kita berdua saling bertemu. Hembusan napas kita saling berseteru. Saat ini yang ada di pikiran gue hanyalah wajah Harin yang memerah, mata Harin yang sayu, dan bibir Harin yang jaraknya terlalu dekat dengan bibir gue.
“Rin… Aku…”
Gue berhenti berbicara saat melihat Harin mengigit bibirnya gugup.
“Iya?”
Suaranya kecil.
Gue dengan telapak tangan yang mendadak dingin memberanikan diri menyentuh pipinya tanpa memutus kontak mata kita berdua.
Suasana yang tadinya riuh gelak tawa dan teriak kesakitan akibat saling jitak kini menghilang begitu saja. Terlalu sunyi.
Wah, gila.
Gue takut dia bisa mendengar suara jantung yang kini berdetak gak karuan.
Tapi sepertinya gak cuma gue yang gemeteran setengah mati disini.
Apakah ini saatnya?
Gue berusaha membuang jauh rasa takut dan gugup. Meski nyali gue sebenarnya ciut.
Mungkin Harin bisa merasakan betapa dinginnya kedua telapak tangan yang menangkup pipi kiri dan kanannya.
Mungkin Harin bisa mendengar betapa keras suara degup jantung gue.
Tapi dia memilih menutup matanya erat-erat.
Menaruh rasa percaya sepenuhnya pada gue.
Tepat saat Harin memutuskan untuk menutup matanya gue kembali yakin dan mengumpulkan semua keberanian yang bisa gue raih.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Dedek Meng! Ini si Aa sudah jemput!” suara mami dari bawah.
Secara otomatis gue dan Harin bergerak menjauhi satu sama lain.
Benar-benar konyol!
Gue menghembuskan napas lega. Kemudian mata kami kembali bertemu.
“Hahahahaha… Gila… Hahahaha”
“Hahahaha aduh perut aku sakit, Gun!”
Gue menjatuhkan diri ke lantai sambal melepas tawa lega. Hal yang sama juga pada Harin.
Hari ini gue belajar bahwa rasa sayang bisa gue temukan di sela rasa takut dan cinta bisa di temukan dalam ketidaksempurnaan. Dan gue mau berbagi itu semua bersama Harin. Satu persatu. Langkah demi langkah.
Benar kata mami. Gunawan dan Harin hanyalah dua anak kucing yang gak tahu apa-apa soal cinta.
***
POV : Harin
Konon katanya kucing memiliki kurang lebih sembilan nyawa. Mengurangi rasa takutku ketika melihat kucing berbadan bongsor yang barusan kehabisan napas karena jarak antara aku dan dia yang hanya sejengkal. Untung saja kucing punya banyak nyawa.
Katakanlah ini cinta.
Perut yang dipenuhi kupu-kupu diikuti seluruh tubuh yang bergidik ngilu tak lupa juga pipi yang memerah seperti kepiting rebus pada umur tujuh belas.
Katakanlah ini cinta.
Ketika aku rela berbagi sebungkus whiskas kesukaanku dengannya. Ketika aku mau selalu melangkah mengikuti langkah kakinya yang sebenarnya terlalu besar itu tapi aku tetap mau melangkah bareng dia. Ketika tangan dan kaki mendadak dingin saat tidak ada jarak antara aku dan dia.
Dia Gunawan peliharaanku.
“Itu tadi kita hampir ciuman kah?”
“Belum boleh, nakal.” Begitu ujar Gunawan sambal mengacak-acak rambut aku.
Jangan suruh aku cerita soal apa yang terjadi barusan antara aku dan Gunawan takutnya aku masuk rumah sakit karena serangan jantung. Lebih parahnya aku bisa masuk penjara.
Sejauh aku mengenal Gunawan peliharaan yang paling kusayang, untuk saling bergandeng tangan aja udah bikin kita berdua berasa kesetrum, sama halnya dengan jarak antara kita berdua beberapa menit lalu yang membuat kita berdua mematung sekonyong-konyong.
Nyawa aku dan Gunawan sisa delapan.
Mungkin nyawa Gunawan hampir sisa tujuh kalau sampai Aa Ujang tahu apa yang tadi terjadi.
“Terimakasih ya Gunawan dan Mami. Maaf kalau si dedek merepotkan.” Aa Ujang mencium tangan mami Gunawan sebelum pamit pulang.
“Gak merepotkan kok. Mami senang rumah jadi rame karena suara cekikikan dedek meng.”
Aku cuma bisa senyam senyum manja.
Gak lupa juga aku kedip mata sekali ke Gunawan sampai dia nepuk jidat terus geleng kepala. Hihihi lucu…
“Dedek pulang dulu ya, Mi.”
“Iya hati-hati! Besok main lagi ya.”
“Mari…” Aa Ujang memutus percakapan.
Aku balik badan dan berjalan mengikuti langkah Aa Ujang. Masih kepikiran soal peristiwa konyol tadi. Masih teringat bayang-bayang rasa takut dan ingin tahu kita berdua.
Ternyata tangan pacarku bisa sedingin itu kalau gugup meski udah banyak pidato dan lomba debat yang pernah ia lalui. Ternyata rasa takut lebih besar dari rasa ingin tahu.
Masih belum hilang rasa grogi tadi waktu aku tutup mata setengah takut dan setengah gugup. Waktu aku buka mata dan ngelihat Gunawan ketawa cekikikan adalah saat dimana aku sadar kalau aku gak perlu takut karena aku punya Gunawan.
Kalau boleh jujur aku suka rasanya nyender di bahu Gunawan. Aku suka cara Gunawan pegang tangan aku dengan hati-hati seakan aku ini rapuh. Aku juga bisa merasa aman waktu telapak tangan Gunawan menangkup pipi aku lembut. Gunawan beneran seperti bola bulu, alias kucing!
Tapi ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh. Aku yakin Gunawan juga ngerasain hal yang sama. Maka di saat itulah kita sama-sama memutuskan untuk mengambil jarak.
“Simpan untuk nanti-nanti aja ya, Rin. Kita jalani langkah demi langkah.” Gunawan ngomong begitu sesaat usai aku beraniin diri buat buka mata dan memutuskan untuk bergabung ketawa bareng dia.
Mungkin bukan rasa takut yang menghantui kami. Mungkin ini perihal waktu. Tujuh belas itu angka yang masih kecil untuk memulai.
Atau mungkin ini soal rasa cukup. Kenyataan saat mata aku dan Gunawan tertutup di saat bersamaan dan yang ada di pikiran hanya presensi satu sama lain adalah cukup.
Bahaya juga kalau aku terlalu cinta sama Gunawan. Bisa lupa dunia!
Aku baru aja mau buka pintu mobil Aa Ujang sebelum suara Gunawan terdengar jelas di telinga manggil nama aku.
“Harin!”
Teriak Gunawan memecah keheningan perpisahan kami. Kini jarak aku dan dia sebatas dirinya yang masih berdiri di pintu rumahnya dan aku yang udah di luar pagar rumahnya.
“Apa?”
Aku bales teriak lagi.
“Aku…” ia menunjuk pada dirinya sendiri.
“1… 2…. 3…” Gunawan mencium satu persatu jari jemarinya. Hitungan pertama bibirnya mengecup ibu jari, hitungan kedua jari telunjuk dan diikuti hitungan ketiga pada jari tengah. Melihat Gunawan yang manyun sambil nahan senyum buat aku jadi ketawa sendiri.
“4… 5…” hitungan selanjutnya di jari manis dan terakhir ia kecup jari kelingking.
“POW!”
Gunawan melempar kumpulan kecupan-kecupan lucu itu ke arah aku. Tangannya kaya melepaskan kembang api gitu. Terus dia dadah-dadah. Lagi-lagi aku dibuat jatuh cinta sama Gunawan.
Begitulah hari ini berakhir dengan tulang pipi aku yang kesakitan karena nyengir melulu dan Gunawan yang masih sibuk melempar-lempar kecupan kiss-bye sampai mobil Aa melaju menjauh dari rumahnya.
Banyak hal yang baru pertama kali aku rasakan di umur tujuh belas. Hari ini aku belajar kalau cinta gak semata-mata soal sentuhan dan pelukan. Tapi soal rasa percaya dan nyaman terhadap satu sama lain. Cinta juga soal memberi. Dan aku punya banyak cinta untuk dibagi.