Kisah Kasih Kucing — iv
Aku ingat bagaimana cerita ini dimulai karena rasa ingin tahu aku soal perasaan yang bernama cinta.
Pertemuan pertama dengan Gunawan dan segala percakapan di antara aku dan dia. Soal menerima perasaan ini yang ternyata butuh waktu yang sedikit lama. Aku belajar banyak hal sejak mengenal Gunawan.
Aku ingat bagaimana setiap hari aku bangun pagi dengan banyak pikiran. Kepikiran soal Gunawan. Aku banyak bingungnya. Bingung ini itu. Aku kupas isi hati aku satu demi satu supaya aku bisa terjemahin pertanyaan di kepala.
Emangnya boleh ya aku sayang sama orang lain selain Aa Ujang?
Emangnya boleh ya ada yang sayang aku sebanyak ini?
Apa bedanya rasa sayang yang Mama, Papa dan Aa punya buat aku? Gunawan juga punya rasa yang sama kah?
Apa ini yang namanya jatuh cinta?
Waktu pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul dan terus berputar di kepalaku rasanya pusing sekali. Sampai aku betulan kesal karena kehadiran Gunawan.
Karena aku mulai berharap punya banyak cinta. Aku harap aku bisa mencintai sebanyak dan sesering mungkin. Aku harap aku bisa teriak-teriak soal cinta yang aku gak bisa tahan ini.
Umur tujuh belas ada banyak yang berubah sejak aku kenal yang namanya cinta.
Misalnya saat aku bertemu hari libur yang sebelumnya paling aku sukai justru tiba-tiba aku benci, soalnya kalau hari libur gak bisa intip Gunawan lagi belajar di kelas. Aku sering pura-pura ke toilet supaya bisa lewatin kelas Gunawan dan melirik ke arah dia yang selalu duduk di bangku paling depan.
Misalnya lagi saat aku biasanya benci dengan PR matematika yang bagi aku itu cobaan terberat dalam hidup aku, tapi sejak aku punya rasa untuk Gunawan… matematika jadi ilmu yang menyenangkan karena Gunawan akan selalu menawarkan diri untuk bantuin aku belajar. Aku manfaatkan waktu belajar itu dengan menatap dalam-dalam setiap inci dari wajah ceria Gunawan.
Pernah suatu waktu aku berantem cukup serius sama Gunawan. Soal aku yang egois karena mau mengambil semua waktu yang Gunawan punya untuk aku. Soal aku yang gak mau Gunawan pergi jauh dari aku.
Gunawan pernah bilang, “Mungkin nanti ada lagi marah-marah kecil, mungkin ada harinya aku atau kamu ketemu sama yang namanya perbedaan, kita gak akan selalu satu pikir. Tapi dunia akan baik-baik aja selagi kita hadapi sama-sama, Rin.”
Semua rasa takut itu juga cepat perginya. Karena gak cuma aku yang punya cinta, Gunawan juga punya. Cinta itu yang buat aku dan Gunawan berani melangkah bersama.
Tujuh belas menjadi langkah pertama aku mengenal, belajar, dan berbagi kasih sayang. Mungkin bagi kakak-kakak sekalian ini terdengar alay. Tapi aku benar-benar senang sampai kepingin lari sekencang mungkin keliling lapangan sekolah. Setiap detik yang aku habiskan bersama Gunawan sangat amat super-duper menyenangkan.
Tapi, untuk pertama kalinya juga aku punya rasa takut.
Aku takut sekali mendengar cerita mimpi-mimpi Gunawan. Ibaratnya Gunawan itu anak yang suka berkelana, dia suka belajar hal baru coba ini dan itu. Gunawan suka baca buku ensiklopedia di perpustakaan, dia suka ngobrol sama banyak orang, dia juga senang ikut lomba buat nambah-nambah pengetahuan katanya.
Gak ada habisnya hal-hal keren bermunculan dari diri seorang Gunawan. Berbeda dengan aku yang gak suka kemana-mana, aku gak mau bergerak atau berpindah. Aku gak pernah kemana-mana. Aku gak suka perubahan dan gak mau keluar dari cangkang.
Semua orang selalu ketawa setiap mendengar pengakuan kalau aku gak punya cita-cita. Mungkin mereka ketawa karena merasa heran. Selama ini aku selalu mendengar teman-teman kelas sibuk memilih cita-cita yang cocok dengan pribadi mereka masing-masing. Ada temanku yang ingin menjadi dokter, guru, pilot dan bahkan Gunawan juga punya mimpi jadi presiden. Tapi aku gak punya mimpi itu.
Aku sendiri gak berani buat mikirin hal-hal yang rumit. Aku gak berani menggantung mimpi. Aku lebih suka menikmati waktu dan kesempatan yang aku punya.
Apa aku juga harus ikutan berlari kaya teman-teman?
Gak banyak hal yang bisa aku mengerti. Aku selalu butuh waktu lebih untuk diam dan berpikir. Aku gak bisa memecahkan banyak masalah, semuanya harus aku lakukan satu demi satu. Tapi, setelah banyak aku pikirin aku emang gak punya cita-cita.
Aku gak punya cita-cita karena aku gak mau kemana-mana.
Aku mau tetap disini, di umur tujuh belas.
Mungkin aku masih harus meluangkan banyak waktu untuk berpikir. Untuk menjadi dewasa.
“Hey! Lagi pikirin apa sih?”
Itu peliharaanku.
Gunawan.
“Bengong aja”
“Kamu pernah hitung gak sih? Dalam sehari kamu bisa bengong berapa kali?”
“Gak tau, aku berhenti bengong sampe aku ngences aja”
“Hahahaha kecilku…”
Gunawan mengacak-acak rambutku, sayang.
Saat ini aku lagi di bis dalam perjalan pulang dari field trip ke puncak. Aku duduk di sebelah Gunawan. Aku pakai jaket Gunawan. Aku ngemil whiskas.
Aku masih suka kagum sendiri melihat raut muka Gunawan yang kalau lagi tatapan sama aku dia bisa merah sendiri pipinya dan ujung bibirnya lucu waktu tersenyum lebar. Terus dia buang muka.
“Harin nyebelin ah! Curang!”
“Kamu kenapa selalu malu kalau aku lihatin sih?”
Muka aku begini bentuknya -_-
“Malu aku di lihat sebegitunya sama kamu. Aku senang banget sampe malu”
“Sini lihat lagi”
“Gak mau!”
“Lihat aja bukan cium”
“Duh, semakin gak mau!”
“Lihat mata aku atau aku jejelin whiskas mulut kamu!”
Dia menyerah. Gunawan segera menoleh dan bibirnya jadi manyun karena aku pencet kedua pipinya.
Aku merasa cukup dengan orang-orang baik yang aku punya dalam hidupku. Gunawan membuat aku merasa cukup.
Sepertinya aku bukan takut sama mimpi-mimpi yang Gunawan punya. Aku bukannya takut gak punya cita-cita.
Tapi, aku takut sama hari yang bertambah.
Aku takut sama perubahan yang mungkin saja terjadi.
Suatu saat nanti mungkin aku akan kuliah, kerja di kantor, punya SIM, bayar pajak, minum kopi hitam, dan hal-hal lain yang orang dewasa lakukan.
Aku mau berani. Tapi aku cuma punya modal cinta.
Jadi, di umur tujuh belas ini apa boleh aku hanya hidup untuk mencinta?
Biarkan aku punya mimpi-mimpi kecil dulu.
Biarkan aku peluk dan simpan setiap momen.
Karena aku punya banyak cinta.
Biarkan aku mencinta untuk lebih lama.
Aku harap aku tetap di umur tujuh belas untuk selamanya.
“Meow? Meow, meow, meow?”
“Kamu kenapa malah mengeong, Rin?”
“Meow, meow, meow”
“Sumpah jangan gitu aku takut. Harin stop kesurupan kucing!”
“Gun?”
“Iya?”
“Aku mau jadi kecil-nya kamu selamanya”
“Iya kecilku...”
Namaku Harin dan aku punya banyak cinta.