Suami Takut Istri — pertama kali di ajak menikah


POV : Jeje

Restoran jepang kesukaan pacarku, meja makan dengan lilin yang baunya gak beda jauh dengan minyak nyong-nyong di pasaran serta makanan mewah yang overprice.

Kemudian perempuan paling seksi di hadapan mulai tersedak saat makan sushi karena di dalamnya tersembunyi cincin berlian. Lalu, “Miyeon, Izinkan aku menjadi suamimu.”

Begitu seharusnya.

“Kamu bisa diem gak sih?!”

“Ampuuuunnnnn”

Mimi memukul tangan nakal gue yang sibuk mengusap pipinya sementara ia bersusah payah menyuapi gue bubur ayam rumah sakit yang gak ada rasa sama sekali.

“Oiya, omong-omong Mbak Yuqi kemana? Masih dalam keadaan utuh kan?”

“Pertanyaanmu, ya masih utuh lah!”

“Ya, kali aja kamu gunting salah satu bagian tubuhnya hehehehe”

Seperti yang para pembaca telah ketahui bahwa benar adanya seorang Hyunjae Wijaya jatuh pingsan di tempat kerja.

Sebenarnya karena gue kecapean kerja aja ditambah gue gak sempat makan, jadi malu sampai staff dan pelanggan peripera pada heboh manggilin ambulans demi menolong anak magang miskin kaya gue.

“Sayang, habis ini kita langsung pulang kan? Soalnya aku ada sesuatu yang penting untuk kamu...”

Miyeon mulai cemberut setelah mendengarkan ucapan gue.

“Ini udah jam 9 malem, reservasi kamu udah aku reschedule. Kamu besok gak usah kerja, ya. Nanti kamu tumbang lagi...”

“Gak... gak gitu maksud aku. Aku ada sesuatu yang penting banget... Tunggu, kamu udah tau??”

“Tuh, cincinnya ada di nakas sebelah kasur kamu.”

“Astaga! Hyunjae tolol!”

Sial.

Beberapa bulan belakangan gak tau kenapa setiap melihat Mimi gue rasanya ingin memiliki beliau seutuhnya. Untuk pertama kalinya gue ingin meraih sesuatu.

Selama gue hidup rasanya gue gak pernah punya mimpi yang pengen gue raih. Gak muluk-muluk, manusia sederhana kaya gue juga bisa tau diri.

Semenjak gue kecil gue cuma punya keinginan kecil-kecilan. Misal, kepengen punya mainan iron man gue nabung deh tuh sekitar sembilan bulanan baru bisa kebeli udah kaya ibu hamil aja. Dulu juga gue gak pernah punya keinginan jadi siswa pintar di sekolah, asal lulus aja. Giliran merantau untuk nyari kerjaan aja gue gak pilih-pilih soal tempat kerja, asal dapet kerjaan aja gue udah bersyukur yang penting gak pengangguran kaya si Iqi.

Namun, gue masih ingat dimana mata Miyeon yang berbinar sambil ketawa cekikikan karena gue gak sengaja salim tukang parkir di alun-alun padahal harusnya ngasih selembar dua ribuan waktu itu.

Iya, tatapan itu yang membuat sesuatu di hati gue berkedut tak menentu. Hingga terbersit di benak gue “Gue mesti menikah sama ini bidadari.”

“Hyunjae... gimana kalau kamu pindah ke rumah aku aja? Hm? Kita tinggal bareng aja ya. Toh, kita sudah 5 tahun bersama. Kantor aku juga searah sama store kamu, kita bisa berangkat dan pulang kerja bareng. Supaya kamu gak kecapean gini. Kamu kerja jadi sales aja gak perlu cari kerja sampingan lain, aku gak mau lihat kamu sakit.”

Dia tahu.

Miyeon selalu bisa tahu apa yang gue pikirkan.

Ya, benar. Karena gue ingin meraih seorang Miyeon Lawyer gue mesti memantaskan diri. Belakangan gue ambil semua tawaran kerja yang masuk dengan bantuan Yuqi yang keahlian komunikasi dan marketing di atas rata-rata, perempuan keturunan tionghoa itu dengan bersemangat mengajakku bertemu dengan berbagai kenalannnya. Banyak tawaran kerja lepas yang gue terima, semua berkat Yuqi. Tapi, ya gue gak nyangka ternyata gue bisa tumbang juga.

Sementara, tabungan yang gue punya memang baru cukup untuk bayar DP rumah. Makanya gue pikir untuk sekarang ini baiknya memberikan jaminan dulu ke Miyeon.

Dengan melamarnya...

“Miyeon, gimana kalau kita saling menafkahi aja.”

“Aku udah serius loh ini, Hyunjae”

“Ya, aku juga serius. Aku paham kalau kamu adalah wanita sempurna tapi kalau kamu gak hidup bareng aku pasti rasanya kaya ada yang kurang.”

“Gak gitu juga, sih. Tapi kalau aku pikir-pikir aku memang bahagianya cuma sama kamu. Gak pernah aku sepengen ini untuk mencium lelaki. Eh... eh... diare lagi kamu?”

“MULEESSS DIKIT MI! Aduh... duh... selang infusnya ketarik...”

Miyeon memukul lengan gue dengan penuh cinta. “Masa tiap salting mules sih?! Hahahaha tuh kan... cuma kamu yang buat aku bisa ketawa begini.”

“Dih, kamu mah emang receh. Padahal kata Iqi aku orangnya jayus”

“BESOK AKU SILET JARINYA SI IQI”

“Hahahaha tuh kan.. cuma kamu juga orang yang sayang aku sebegitunya...”

Seketika suasana di kamar rumah sakit menjadi sangat sepi. Tawa yang tiba-tiba hilang sontak membuat gue sedikit merasa malu-malu.

“Menikah, ya? Hm?”

Buset! Beliau mencolek dagu gue. Pengen langsung ngibrit ke WC rasanya!

“Iya, gitu deh. Harusnya kamu sekarang keselek cincin...”

“Yaudah, besok masih bisa kita buat adegan keselek cincin itu. Sekarang kamu istirahat yang cukup aja. Aku gak mau kamu pingsan terus nyari-nyari tangan perempuan lain. Kamu itu udah hak milik aku!”

Kadang gue merasa beliau ini aneh. Bisa-bisanya mencintai gue yang serba apa adanya ini. Anehnya lagi gue dengan songongnya berani menjadi pendamping beliau.

“Miyeon, aku sayang kamu. Nikahin aku, please.”

“Saling menafkahi katamu? Iya, iya. Aku mau! Sini cium dulu,”

Malam itu CCTV rumah sakit menjadi saksi cinta kami. Ciuman dong, uwu.