POV Gibran
Ada satu tempat berteduh paling hangat seantero kampus. Pendopo lama di belakang Fakultas Ekonomi dan Bisnis sepi pengunjung karena suasananya yang memang cenderung sepi dan pencahayaan yang remang-remang karena banyak pohon besar.
Dari yang gue deskripsikan emang gak ada nuansa tempat hangat sama sekali, tapi yang gue maksud hangat kali ini muncul karena eksistensi Lilis.
Minggu siang waktu hujan deras adalah pertama kali gue bertemu dengan Lilis Astuti si perempuan pecinta hujan. Nggak banyak yang gue tahu soal Lilis waktu itu. Tapi hujan bulan agustus mengenalkan gue dengannya. Memang terdengar melankolis nyerempet basi, tapi begitulah sependek pengetahuan gue soal Lilis dan obsesinya akan hujan. Lilis percaya kalau hujan satu-satunya waktu dimana ia bisa berlari sebebas mungkin.
Siang itu langit cukup cerah, tapi hujan masih bersikeras untuk turun. Kalau kata orang namanya hujan panas, hujan yang datengin penyakit. Gak ada satu orang pun mahasiswa/i yang berkeliaran karena turun hujan.
Maka dari itu disinilah gue duduk berteduh sambal menghangatkan diri dengan sepuntung rokok, di pendopo lama.
Sial banget sih gara-gara hujan gini jadi males basah-basah ke parkiran. Rencana pulang kampus lebih cepat karena kelas yang batal eh malah kejebak hujan.
Gue duduk agak lama dan sibuk bermain mobile legend sambil menaikkan satu kaki, semakin betah berlama-lama di pendopo.
Sampai perhatian gue beralih ke seorang perempuan yang berlari tergupuh-gupuh. Cengengesan melindungi poninya menggunakan tangan yang mana gue yakin itu sama sekali gak membantu.
Satu hal lagi yang menarik perhatian gue adalah ada dua lesung yang menghiasi pipi dia seiring senyumnya merekah.
Hari itu rambut dan pakaian Lilis basah kuyup, suaranya terengah habis berlari.
“Permisi ya, Mas. Hehehe…”
“Mh-hm”
Gue memperbaiki posisi duduk dan mempersilahkan dia bergabung bersama gue di bawah perlindungan pendopo reyot ini.
“Makasih…”
Lilis balas dengan satu senyuman dan akan hendak gue balas balik sebelum kemudian gue terbatuk karena lupa di bibir masih ada sebatang rokok yang bertengger.
Gue isap sekali dan menghembuskan kepulan asap ke sekian. Gobloknya arah asap itu malah langsung ketemu sama mukanya Lilis.
“Eh, maaf mbak”
“Iya, gak apa”
Gue mengibaskan asap dengan tangan supaya segera hilang kemudian memutuskan untuk menyudahi agenda tidak sehat ini dengan menginjak puntung rokok yang masih panjang itu dengan sepatu sambil meringis.
Berulang kali gue menengok ke sebelah kiri dimana jarak duduk Lilis hanya dua jengkal dari gue. Dia sibuk tiup-tiup kedua telapak tangannya berusaha menghangatkan diri.
Gak habis pikir gue, kalau tahu bakal kedinginan ngapain mandi hujan?
Sementara hujan yang tadinya cuma hujan panas biasa dengan masih ditemani langit cerah kini berubah makin suram. Tadinya cuma rintik-rintik sekarang malah semakin keroyokan tuh hujan.
Angin juga ikut-ikutan gak mau kalah, betulan muncul ribut-ribut. Pohon-pohon besar yang gue yakini ada kali satu dua kuntilanak nyangkut disono udah teriak minta tolong karena begitu kencang angin berhembus.
Beberapa kantong plastik terbang melewati gue dan Lilis. Emang ye orang-orang masih aja buang sampah sembarangan kayak gak sekolah. Gak kaget dah gue kalau FEB banjir.
Lilis duduk termenung.
Gue mulai menaikkan kedua kaki dan bersandar pada tiang pendopo, duduk menghadap ke arah timur demi menilik parasnya lebih lama.
Terlalu cantik buat jadi figuran di hari yang suram ini. Terlalu lucu sebagaimana tangannya berusaha meraih tetes air yang jatuh dari atap pendopo. Terlalu manis melihat caranya menoleh dan memutuskan untuk ikut menatap gue dalam-dalam.
Aih, MANISNYA!
Sampai kilatan cahaya yang muncul dalam waktu singkat membuat gue bergidik ngeri. Gue secara otomatis kembali duduk lurus.
Berdasarkan pengamatan sotoy gue yakin dia juga sama kagetnya.
Kemudian gak kerasa tiba-tiba bahu kita bertabrakan.
Kilat kedua.
Gue mulai panik dan mencari-cari sesuatu pada raut wajahnya.
Takut kah?
Dan kemudian, Petir.
Gemuruh petir yang kencang.
Ada urgensi yang tiba-tiba muncul di kepala gue untuk membawa Lilis lebih dekat. Sepersekian detik, gue raih lengannya masuk ke dalam rengkuhan gue dalam-dalam. Meraup kepalanya dan menutup kupingnya.
Rasanya seperti tersengat listrik waktu tubuh kami saling bersinggungan dan napas saling bertemu.
Yang berusaha gue lindungi gak bergerak maupun menolak.
Gue memastikan dia menemukan rasa aman di dalam rengkuhan gue. Dengan perbedaan ukuran tubuh yang begitu signifikan membuat dengan mudah terlingkupi. Gue berusaha membagikan suhu tubuh yang gue punya.
Semua berlalu dengan cepat.
Hangat dan kikuk dalam satu detik yang sama.
Dan ada yang berdesir di dada gue.
Tidak ada penolakan. Tidak ada yang menepis kedua lengan gue yang kurang ajar ini.
“Mas? Saya gak takut petir hehehe…” ujar Lilis sambil mendongak menatap gue yang masih nutup mata.
Anjirlah.
Gue benar-benar merutuki diri sendiri abis-abisan. Tangan gue segara melepas rangkulan dari bahunya. Gila. Mata gue membelalak dan lidah gue seketika kelu.
Mana mata gue langsung ketemu sama mata dia lagi!
Gue sudah siap menerima satu atau bahkan beberapa jotosan.
Harga diri gue agaknya sudah menguap entah kemana.
“Eh, maaf. Itu petirnya… kirain mbak-nya takut… em maaf ya”
“Gak apa-apa, hahahaha” dia geleng kepala sambil ketawa. Lagian siapa yang gak bakal geleng kepala coba.
Upin Tolol.
“Mbak sekali lagi saya mohon maaf, gak ada maksud lancang. Murni karena kaget aja”
Berulang kali gue meminta maaf sambil menundukkan pandangan.
“Iya… Hahaha… Malah saya kira mas-nya yang ketakutan”
“Hahaha… ya enggak lah…”
“Oke percaya percaya hahaha...”
“Oiya, iya saya punya sesuatu buat gantiin rokok mas-nya”
Ia merogoh tas bahunya dalam-dalam dan wajahnya cerah setelah menemukan apa yang di cari permen tangkai rasa stroberi. Tanpa basa basi dia memasukkan permen batang itu ke mulut gue yang masih ternganga rupanya.
Gue terkekeh. Alih-alih rokok terjepit di bibir, mengemut permen adalah skenario paling jauh yang pernah gue bayangkan.
“Makasih loh”
“Sama-sama”
“Mbak gak kedinginan?”
“Enggak, sebentar lagi di jemput bapak kok. Sebentar lagi juga hangat”
“Oh…”
Lidah gue masih sibuk mengecap rasa manis yang masih menempel di bibir. Selagi otak gue masih mencerna kejadian memalukan akibat kelakuan sampah gue tadi, Lilis menepuk bahu gue pelan.
Pelan banget.
Sentuhannya lembut.
“Saya duluan ya!” ujarnya membuyarkan perhatian.
Dia gak dijemput bapaknya. Karena gak ada anak perempuan yang menggenggam erat tangan bapaknya seperti tiada hari esok.
Sejak hari itu Lilis dapat ditemukan dimana-mana. Eksistensinya ada pada pendopo lama yang sudah lapuk pondasinya. Kadang hangat tawanya masih tertinggal dan berdengung di telinga, mudah diingat dan tak mudah dilupa. Kemudian presensi dia mulai bermunculan setiap hari karena kini dia ada di sela-sela obrolan.
Sejak hari dimana gue dengan mudah menemukan dirinya ada pada Rizky. Teman gue sendiri, yang pernah diakui Lilis sebagai bapaknya. Bisa dibilang Rizky itu sahabat baik gue, mengingat gue mengenal dia sejak MaBa dan kini hidup seatap. Iya, sejak itu.
Sejak gue jadi sahabat internet dia.
Mungkin ini terdengar berlebihan, tetapi Lilis sedikit demi sedikit mulai jadi bagian dari dunia gue.
Segala hal yang hanya celetuk jenaka di internet yang gak lebih dari satu bulan itu kini nyata di depan mata kepala gue.
Lilis.
Lilis menangis, riasannya luntur.
Lipstik di bibirnya berantakan.
“Maafin aku, Lis. Aku belum bisa ngasih apa yang kamu mau.”
Suara Rizky di seberang sana terdengar sangat jelas sebelum ia menutup sambungan.
Ironis.
Begitulah hari ini gue menutup Senandika bersama isak tangis Lilis. Sebab yang dia tunggu gak kunjung datang sementara gue yang masih menunggu disini gak tega untuk menginterupsi.
Gue usap-usap bahu Lilis berharap ada yang bisa gue tenangkan di dalam dirinya.
Waktu itu, hujan itu, gue emang jatuh sejatuh-jatuhnya kepada Lilis dan pesonanya.
Tapi gue gak bisa mendiskripsikan perasaan gue hari ini. Tindakan gue kali ini, bukan seperti diri gue yang bebas seperti yang sudah-sudah.
Ada perasaan yang gak bisa gue terima.
Mungkin kasihan?
Kasihan sama Rizky.
Kasihan sama Lilis.
Kasihan sama diri sendiri.
Kalau memang bakal begini jadinya mungkin gue gak perlu berlama-lama neduh di pendopo, waktu itu.
Mungkin harusnya gue gak meraih dia, mungkin harusnya gue gak perlu menawarkan diri dan bahu gue. Semua 'seharusnya' itu semata-mata untuk menghindari perasaan yang gak bisa gue terima ini.
Tapi, untuk pertama kalinya gue ingin bodo amat sama apa yang sudah di tulis semesta.
Lilis memantik sesuatu yang gue bahkan gak tau kalau gue siap untuk pasang badan dengan berani.
Selama gue bisa melihat dia baik itu tangis maupun tawanya, selama itu gue mau ada buat dia. Tanpa berkesudahan.
Jadi selamat, ya. Hari ini kamu sudah jadi salah satu pecundang, dan kamu percaya kalau bahagia tidak akan pernah mengikutimu.