love grows

Tetangga Masa Gitu — ii


POV : Jeje

“Hyunjae... hyunjae... perempuan spek bidadari kaya Miyeon Lawyer kok mau sama pengangguran pengedar narkoba kaya elu. Lu pake pelet apa sih?” segera gue geplak kepala iqi pakai kaset bokep bajakan.

Iqi sobat karib sejak gue masih remaja itu memang bermulut ember, tapi kadang ada benarnya juga. Betul, begitu naif saat gue si sales lipstik dengan tampang dan dompet pas-pasan ini berani menantang dunia demi bersanding dengan perempuan hebat seperti Miyeon.

Memang betul kata warga, sulit menyamai langkah perempuan yang lebih mapan. Semenjak masa pacaran hingga di usia pernikahan yang menginjak lima tahun ini gue selalu mencintai istri gue. Rasanya gue hidup cuma untuk mencintai Miyeon seorang, hingga gue berani mengenyampingkan segala perkara demi Miyeon.

Miyeon yang sibuk bekerja dan mengantar jemput gue kemanapun gue pergi. Posisi gue disini cukup hadir untuk menyayangi beliau seorang. Gue bukannya percaya diri akan kualitas diri ini hingga tidak pernah terbersit pikiran untuk takut kehilangan Miyeon. Tetapi, lebih yakin akan jiwa Miyeon yang horror seperti tukang gali kuburan. Jiwa super galak yang selalu bisa membuat orang disekitarnya bergidik ngeri dan lebih memilih untuk tidak macam-macam dengan dirinya.

Harusnya seperti itu. Selama ini begitu.

Hingga kini disinilah gue berdiri berhadapan dengan ketakutan terbesar gue.

Ujang Hutapea.

Pria tampan, mapan, dan bersahaja yang belakangan mengusik rumah tangga gue. Beberapa kali gue melihat tingkah gatalnya di media sosial. Bener-bener ye gue doain lu kebangun malem-malem kehausan tapi galon rumah lu abis.

“Cong, tolong pilihkan lipstik paling cocok dengan perempuan cantik di sebelah saya ini”

CANG CONG CANG CONG LO KATA GUA BENCONG?!

“Maaf pak... ini tanda pengenal saya di dada sebelah kanan hehehehe H Y U N J A E di baca Hyunjae” gue membusungkan dada gue memperlihatkan name tag gue yang bersinar merah muda. Ini orang gak ada sedetikpun mau melihat gue. Matanya jelalatan menatap Mimi.

Setahu gue hari ini rapat terakhir Mimi dan Ujang entah katanya dalam rangka apa gue kurang begitu paham. Tapi, tampaknya mereka masih nempel aja tuh.

Harusnya gue yang ada di sebelah Mimi!!!

“Kamu selesai kerja jam berapa, Je??” celetuk Mimi.

“Oh kalian saling kenal??” jiakh, kepo amat si Ujang.

Gue dan Mimi sempat tatap-tatapan sebelum Mimi kembali membuka suara “Iya...”

“Cuma kenalan, Pak. Hehehe saya pernah pakai jasa Bu Miyeon untuk bantu perceraian teman saya si Iqi hehehe mantep bener dah pokoknya Ibu Miyeon sat set sat set cerai! Hehehe” padahal Iqi aja belum kawin. (sepertinya juga baru putus sama si Ipeh)

Silakan hina gua sepuasnya karena gua emang cukup merasa rendah diri depan manusia klimis ini dan gak enak rasanya kalau harga diri Mimi jatuh karena kolega beliau tahu bahwa ia punya suami sales lipstik kaya gue.

Raut wajah Miyeon mulai terlihat dingin, ia segera membuang muka dari gue. Beberapa kali dia mencari-cari sesuatu dari dalam tas tangannya.

Firasat gue dia nyari pensil alis buat nyolok mata gue.

“Hahaha... Salam kenal, saya Ujang” dia ngetawain gue.

Sial, ini manusia gagah bener :(

Postur tubuhnya yang tinggi bersama setelan serba hitam dan bau tubuhnya yang meneriakkan “Gue orang kaya! Gue bisa injek-injek lo sekarang juga!” membuat nyali gue menciut.

Lagian, masa sih Mimi gak tertarik sama lelaki sempurna macam Ujang?

Jangan deh, rambutnya si Ujang berminyak amat gak cocok sama Mimi yang sempurna bagai bidadari khayangan.

“Oh ya, Miyeon. Setelah ini biar saya antar kamu pulang, ya” Tukang tambal ban kembali merayu Miyeon berusaha menyentuh lengan istri gue.

Alis Miyeon naik dan dia terlihat tidak nyaman. “Gak perlu, saya bawa kendaraan pribadi” ucap Mimi sambil menepis ringan tangan Ujang yang berusaha merangkul bahu Mimi.

Mimi dengan sigap melipat kedua tangannya di depan dada serta menaikkan dagunya. “Ujang, saya tolak tawaran untuk kerja sama minggu depan dan kerja sama lainnya di masa depan. Kita putuskan hubungan baik ini sampai disini.”

“Loh? Miyeon... kamu bercanda? Tapi ini proyek besar...”

Pemirsa gue takut, tolong bantu gue keluar dari pembicaraan serius yang begitu tiba-tiba ini. Lagi bahas apaan ini woi??? Gimana ini kerjaan istri gue gagal kah???

“Saya belum tanda tangan kontrak. Saya harap kita tidak perlu saling kontak lagi.” ujang beneran di tinju bertubi-tubi dengan kalimat tajam dari Mimi. Hingga detik ini pun gue masih belum paham kemana arah obrolan dua orang bersahaja ini.

Warga buruan play di spotify lagu Mbak Rossa judulnya Hati Yang Kau Sakiti. Soalnya, dalam satu kali tarikan kini Mimi sudah memeluk lengan gue secara dramatis diikuti Ujang yang mulai bergetar hebat.

Sampai Mimi mengeluarkan jurus terakhirnya. “Terakhir, tolong berhenti pura-pura tidak tahu. Bahwa, Hyunjae itu suami saya”

BUJUGGGG


POV : Mimi

Aku melirik sinis suamiku yang tengah bergelayutan di depan pintu kamar. Ia masih dengan kemeja merah jambu dan name tag kebanggaannya. Aku yang duduk santai di kasur sebel sendiri melihat ia berjalan mondar-mandir di depan pintu.

“Kamu nyari apasih?”

“Nyari perhatian kamu” begitu katanya, sambil memanyunkan bibirnya. Gemas. Minta di cium. Hyunjae kalau senyum lucu. Kalau cemberut juga lucu.

“Ingat, kamu itu cuma klien aku Je. Kamu pake jasa aku buat urus perceraian temanmu kan?”

“Sayaanggg, gak gituuuu”

“Jadi apa?! Sana kamu keluar! Kita pisah ranjang!”

Gimana aku gak marah. Aku gak di anggep istrinya.

Beberapa minggu belakangan aku senang sekali dengan berbagai kesibukan baru di kantor. Terlebih dengan proyek kerja sama dengan pengacara kondang Ujang Hutapea dari salah satu firma besar di indonesia.

Rekan kerjaku yang satu itu sepertinya punya masalah dengan rasa percaya diri yang berlebihan. Namun, aku yang gila kerja ini lebih memilih untuk tak ambil pusing dengan perangai anehnya, lebih baik menaruh fokus ke tawaran kerja sama dengan berbagai macam keuntungan menarik yang ia janjikan.

Hyunjae tau semuanya. Ia tau bahwa pekerjaanku selalu berinteraksi dengan banyak orang, ia mengerti akan kebiasaan gila kerja yang ku miliki, ia tau keanehan Ujang.

Hyunjae orang yang penuh kasih sayang. Bagi dia hal paling utama ialah meyakinkan bahwa aku sudah diberi cinta yang cukup, memastikan aku sudah makan, memastikan aku tidur kemudian mematikan laptop yang kutinggal tidur, mencium keningku setiap berangkat ke kantor, membelikanku teh kotak hingga menyiapkan persediaan fresh care.

Aku suka Hyunjae yang seperti itu. Hyunjae yang terang-terangan berteriak “Cintaku, cium dan jamahlah diriku”, seakan ingin seluruh isi dunia tau kalau dia itu milikku.

Akan tetapi, apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya benar-benar membuatku kesal.

Kemana suamiku yang bangga akan istrinya itu? Kemana suamiku yang katanya rasa sayangnya lebih besar dari hal lain yang akan dikesampingkan demi diriku itu?

“Sayang, jangan marah. Aku mau peluk, boleh?” beruangku melebarkan kedua lengannya hampir menangkapku sebelum ku dorong dadanya kencang dengan telapak tanganku.

Sebenarnya aku udah emosi luar biasa, tapi kalau kata Ayu tetanggaku yang lemah lembut itu aku harus bisa mengerti keadaan Hyunjae.

Keadaan seperti apa sih yang buat dia harus malu mengakui aku sebagai istrinya?

“Yaudah, pijet aku dulu”

Lelaki penurut itu tentu langsung naik ke atas kasur bersamaku kemudian menyambar kedua bahuku kemudian memijat pelan. Pijatannya kelamaan mulai merambat ke lenganku. Tubuh bongsornya merengkuh bahuku dari belakang, tubuhku segera tenggelam dalam rengkuhannya. Napasnya berderu di bahuku. Hangat.

“Sayang, aku minta maaf ya...” Hyunjae menarik telapak tanganku namun segera ku lepas genggamannya.

“Kenapa di lepas?”

“Tanganku dingin”

“Gak apa, tanganku anget. Siniin tangan kamu lagi” Ia menangkup kedua tanganku kemudian di kecup singkat. Memang si paling jago nyari perhatian...

“Miyeon, kamu tau gak. Aku itu gak punya banyak mimpi. Aku gak terlalu pengen punya mobil mewah, aku gak kepengen punya pakaian keren, yang aku mau itu temenin kamu. Lihat kamu ketawa setiap hari udah buat aku jadi orang paling bahagia di dunia”

Kok bisa ya... ada manusia semanis Hyunjae. Dalam satu helaan napas ia bercerita sambil sedikit menggaruk kaku hidungnya. Aku benci dengan diriku sendiri yang begitu lemah di hadapan Hyunjae. Melihat ia mengucap kalimat manis dengan raut wajah memelas saja sudah cukup membuatku ingin segera menghujani wajahnya dengan kecupan.

“Tapi, aku gak boleh egois. Keberadaan aku di sebelah kamu emang keliatannya kebanting banget. Aku gak mau kamu terlihat lemah atau merasa malu karena ada aku. Maaf ya, aku ini bukan lelaki yang membanggakan untuk kamu” tapi kadang Hyunjae bolot.

“HEH!!!”

“Eh, buset...” dia hampir jatuh terjungkal dari kasur.

“BISA DIEM DULU GAK??!!”

“Siap, bisa!!!”

“Jadi ini penyebabnya?! Maksud kamu mau biarin aku sendirian tanpa kamu, begitu? Gimana sih?! Masalahnya, justru aku yg kenapa-kenapa kalau kamunya gak ada buat aku. Aku maunya kamu! Ngerti?!”

Aku kurang berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, gak seperti Hyunjae yang begitu mudah mendeklarasikan rasa cintanya. Tapi aku tahu Hyunjae pandai memahami apa yang kurasakan. Suamiku ini orang yang paling tau aku.

“Lagian perempuan hebat kaya aku pasti akan memilih pasangan yang hebat juga, kan. Kamu itu lelaki hebat! Biasanya kamu suka teriak di depan cermin kamar mandi 'Hyunjae Ganteng' kan? Aku gak pernah protes meski berisik, soalnya itu fakta. Ditambah lagi kamu itu orang sukses, Hyunjae Manajer Peripera”

“MIMIIIIIIII”

“Udah jangan nangis, sini peluk lagi”

Ya, dia merengek dan berlari masuk ke pelukanku lagi.

“Iya mimi huhuhuhu habisnya tadi itu si ujang huhuhuhu mimi please jagain aku”

“Boleh insecure, manusiawi. Tapi, kamu lihat situasi juga dong. Menurut kamu apa perempuan yang kamu bilang paling seksi sedunia ini bakal memilih lelaki lain?”

“Iya...”

“Ih, dibilangin aku cintanya cuma sama kamu!”

Seketika suasana kamar tidur kami ini sepi. Kami berdua sudah duduk berhadapan tanpa jarak. Hidung aku dan dia bertabrakan.

“Sayang aku seneng dengarnya, tapi kenapa muka kamu jadi pucat banget??” Hyunjae mencubit kedua pipiku mengguncangnya ke kiri dan ke kanan.

“AKU MALU!!!”

“Hahahaha ya tuhan istri gua ngapa gemes amat sih?!”

“Diem!”

Ya, pada akhirnya Hyunjae masih manusia yang menyebalkan sekaligus manusia yang paling aku cinta. Sumber bahagiaku. Beruangku.

I really love you, Hyunjae.

Thank you for falling in love with me.


“Sayang, aku boleh minta sesuatu gak?”

“Tidak menerima permintaan jorok”

“Hehehe gak kok... aku mau minta tolong colok mata Ujang pakai pensil alis”

“Iya, sekalian aku botakin rambut berminyak dia itu”

“Asiiiiiikkk”

“Bisa-bisanya dia manfaatin situasi sekaligus mencari kesempatan deketin aku tanpa kusadari. Tolong siapkan linggis dari gudang juga ya, Sayang”

“Waduh, siap Mimi!!!”

Tetangga Masa Gitu — i

POV : Hunan

“Mas, kenapa beli rumah sih? Padahal uangnya bisa ditabung untuk hal lain. Mas tau gak sih, menurut wikipedia...”

Bibir Ayu mulai komat-kamit merapalkan mantra wikipedia tentang pentingnya hidup hemat.

Telapak kaki pucat Ayu mencak-mencak bertemu lantai marmer, ujung sidik jari Ayu meraih keranjang buah berbahan serat kayu diatas meja makan, tubuhnya merunduk seraya ia mengendus buah jeruk dari keranjang diikuti barisan helaian rambut menjuntai dari selip telinganya.

Indah bagaimana rambut sebahunya dibiarkan jatuh dengan ujung-ujung yang berserakan menubruk gaun tipis berwarna oranye favorit si dia.

“Mas, mau jeruk?”

Aku tersentak dari dudukku, hampir-hampir jatuh dari senderan jendela. Si pembuat onar justru cekikikan. Mata bulat itu melengkung cepat membentuk bulan sabit diikuti ulasan senyum di wajahnya. Dia duduk di sebelahku.

“Mas, mau jeruk gak?”

“Lah, kamu udah kelar ngomelnya?”

Menit sebelumnya ia sibuk membuat demo dadakan sebagai aksi protes karena tindakanku yang dinilai impulsif. Padahal kalau dikira-kira lagi, aku membeli rumah ini demi mewujudkan impian kami.

“Ayu, rumah ini ada taman belakangnya, loh. Coba kamu lihat sana, udah ada tanah humus untuk berkebun. Impian kamu kan?”

Ayu menaruh konsentrasi penuh pada serat tipis buah jeruk. “Mas, AAAAAAAAA.....” aneh, dia malah sibuk menyuapiku. Aku isengi dengan segera berdiri membuatnya kesulitan mengoper buah jeruk oranye itu ke mulutku. Lihat, Ayu melompat kecil menggapai bibirku untuk dijejali jeruk.

Ayu... Ayu...

Rasanya seperti masuk ke dalam dunia anime dengan genre romantis bagaimana kami mengisi kekosongan rumah yang masih bau cat tembok ini dengan tawa renyah kami berdua. Seketika semua terasa hangat.

“Ayu, tapi kamu yakin mau berkebun?”

“Aduh rumah ini... nyicil berapa tahun ya kira-kira, Mas?”

“Kamu... aku tanya malah balik nanya.” Iseng ku tarik tali tipis penahan gaun oranye itu hingga jatuh di lengan dan memperjelas tulang selangka miliknya. “Ih, genit!” dicubit telingaku.

Kemudian, “Ayu sayang banget sama Mas Hunan” aneh.

Ayu tak pernah larut dalam satu emosi. Pribadinya begitu cepat berubah-ubah. Begitu saja aksi demonya usai. Mungkin rayuanku tentang taman belakang untuk menyalurkan hobi berkebunnya itu berhasil?

Gayatri Kusuma.

9 hari sudah nama perempuan itu dihiasi nama belakangku, kapanpun ku sebut nama itu ada rasa haru mengikuti. Sama haru-nya dengan memiliki rumah impian ini meski tak seindah angan-angan.

Hari demi hari menempati rumah baru sudah kami isi dengan berbagai aktivitas. Aku menata barang dan menumpuk kardus berisi barang dari kosan. Ayu dan taman belakang, semangatnya membara kala memilah tanah dan rumput liar untuk kemudian dijadikan kebun jeruk.

Bahkan dengan intensitas bekerja kami berdua di kantor yang cukup padat tidak menghalangi kami menyisihkan waktu khusus tuk sekedar ngobrol sebelum tidur tiap malam.

Tetapi tidak dengan malam ini, begitu pula dengan dua malam sebelumnya dimana kami melongo menatap langit-langit kamar sementara telinga berdengung mendengar berbagai keributan dari rumah tetangga.

Suara ribut yang sunnguh tidak wajar. Satu hari suara teriakan lelaki, esoknya suara mesin, dan terakhir kali suara ketukan pintu yang cukup kencang.

“Ayu ngantuk, Mas” dia meringkuk masuk kepelukan sambil menarik selimut.

“Berisik ya, Yu. Apa kita lapor ke satpam aja?”

“Gak usah, Mas. Gak enak juga baru dua hari menetap disini udah minta protes aja”

Poin penting saat membeli rumah, poin yang aku lewatkan dan membawa malapetaka ialah memastikan lingkungan yang nyaman.

Aku dan istriku terus mengeluh mengantuk. Belakangan Ayu jadi murung dan mengerutkan dahinya. Parah kualitas tidur kami sangat buruk, sampai-sampai merusak fokus di tempat kerja.

Ayu si tukang demo ini tumbenan belum mengeluarkan aksi protesnya.

Setidaknya itulah yang ku pikirkan semalam. Sampai pagi ini aku tertohok dengan remehanku itu, aku terlalu meremehkan Ayu.

Hari ini hari minggu dimana aku bebas tidur sampai kapanpun, berharap tidak ada keributan di pagi hari. Hari seharusnya aku dan istriku bergelayutan di kasur hingga siang bolong.

Namun kenyataan berkata lain, bangun tidur merengkuh bantal guling dan kehilangan seseorang dari pelukan sudah cukup membuatku ingin berteriak. Aku segera bangkit dan mengenakan kaos asal. Mengacak rambut frustasi.

Istriku pergi demo kah?

Persetan dengan rumah lapang ini, aku lelah berlari dibuatnya. Mencari-cari di ruang tamu, taman belakang, hingga menemukan dapur berantakan penuh peralatan makan kotor. Roti gosong, bumbu dapur berceceran, tak lupa kotoran jus masih menempel di blender.

Kepalaku betul-betul pening. Ingatan terakhirku berhenti ketika semalam Ayu dengan semangatnya mengatakan ingin memasak makanan enak untuk tetangga.

Ya! Kenapa tak terpikirkan?

Tak memakan waktu banyak untuk sekedar berlari dan langkah melewati beton semata kaki pembatas rumah kami dengan si tetangga.

Mereka inikah yang menjadi sumber keributan yang super mengganggu itu?

Di lantai teras sana Ayu terduduk dan mengibas kakinya yang kotor penuh bercak kemerahan, begitu pula seorang pria berkemeja putih teduduk di sebelah Ayu, seorang dengan kaos oblong dengan topi security di tangannya berteriak histeris mengguncang lengan seorang wanita bersetelan jas lengkap dengan celana kain serba hitam yang anehnya menggenggam sebuah linggis?

“Maaf, Pak. Ayu gak sengaja” disana dia. Perempuan dengan gaun tipis motif buah ceri itu sibuk membersihkan kemeja si pria kemeja putih. Sebenarnya sudah tidak bisa dibilang berwarna putih lagi, sih. Bercak kotor dimana-mana.

Melihat nampan dan pecahan gelas kaca dapat membuatku menarik kesimpulan, mereka ini saling tubruk.

“Hyunjae berdarah Bu Mimi. Berdarah! Hubungi pemadam kebakaran!” celetuk security bertubuh kecil itu.

“Tolonglah... bolot itu jangan di pelihara, Qi” wanita berbusana formal berkacak pinggang.

“DARAH QI?! MANA DARAH HAH??” pria kotor.

“Maaf bapak-bapak, tapi itu cuma jus buah naga...” Ayu memelas.

MALES.

Boleh gak ya aku balik ke rumah lagi aja... mending nonton anime...

Dari segala skenario mengerikan yang ada dipikiranku sepanjang panik mencari Ayu tadi, gak kepikiran malah jadi begini. Syukur, gak terjadi hal buruk.

Tapi, apa ini gak termasuk hal buruk?

Aneh bagaimana dua orang pria dewasa ini bergidik ngeri melihat si wanita formal. Aku pun ikutan ngeri melihat ia dengan santainya membawa senjata tajam ke arah istriku.

Wanita berbusana formal itu melepas genggaman linggis di tangan kirinya seraya merunduk menanyakan keadaan istriku “Mbak, gak apa?”

Aku hanya bisa geleng kepala melihat jus buah naga terbuang sia-sia. Kemudian tersenyum lemah melihat Ayu si cantik dengan mata berkaca-kaca.

Ayu... Ayu...

“Ya ampun Ayu berdiri, Yu” aku meraih kedua lengan Ayu membantu ia berdiri. Yang di tolongin langsung merengek “Mas... Huhuhuhu...”

Aku tidak habis pikir melihat pemandangan di depanku. Trio apa ini ya? Kombinasi yang cukup aneh. Aku pun membuka suara “Permisi, ada apa ini?”

“Acara sunat massal, Pak” pria kotor.

“Pembagian sembako beserta kaos partai, Pak” security kecil.

“KALIAN BISA TUTUP MULUT GAK?!” wanita formal.

Melihat keadaan yang semakin kacau Ayu meraih lenganku dan maju satu langkah kedepan.

“Mmmm, ibu kenalin aku Ayu” suara Ayu kesayanganku sungguh kecil.

“Miyeon” wah, suara beliau sungguh bersahaja.

Usai Ayu dan wanita formal bernama Miyeon itu berjabat tangan, aku pun ikut meraih jabatannya.

“Hunan”

“Miyeon”

Dalam sekejap suasana kini tenang karena dua pria aneh tadi berjalan keluar gerbang rumah. Aku udah males untuk mencari tahu apa yang akan mereka lakukan.

“Eeehh jadi... kami baru pindah kemari sekitar kurang lebih tiga hari. Kebetulan baru sempat menyapa hari ini dan rencana jus buah naga yang tumpah barusan harusnya jadi salam kenal aja untuk ibu dan suami.”

Kekacauan di dapur tadi benar ulah Ayu, ternyata resep memasak sandwich di wikipedia bisa gagal juga ya... Buktinya tadi roti gosong bertebaran hingga ia hanya menyajikan jus buah naga meski blender di rumah tadi terlihat hampir pecah.

Ayu... Ayu...

“Dan... maaf bu saya jalan cukup terburu-buru jadi nabrak bapaknya, sekali lagi maaf bu”

“Oke... bisa dimengerti kok Ayu. Ini emang suami saya aja yang kelainan malah jadi nyusahin kamu. Saya juga minta maaf ya”

Syukurlah meski air mukanya terlihat kurang senang dengan kehadiran kami tetapi responnya cukup baik. Bahkan ia memberi senyum hangat kepada Ayu.

“Bu Mimi! Ini ambulans sudah sampai, si Hyunjae minta ditemenin” lagi-lagi dua pria dewasa itu berulah.

“Mimi tolongin aku dong....”

Tak disangka-sangka ternyata ambulans sudah terparkir di depan gerbang. Iqi si security bersusah payah mengangkat tubuh Hyunjae ke dalam mobil. Ya, namanya Hyunjae.

Ya tuhan.. cobaan macam apa lagi ini...

“Maaf, Miyeon suaminya cedera kah? Soalnya istri saya ini cuma ketumpahan dan ya kotor dimana-mana tapi gak ada luka sama sekali.” Aku memberanikan diri untuk buka suara.

“Oh, itu mukanya lecet dikit. Tadi sebelum nabrak Ayu dia sempet kepentok garpu taman.”

“HAH GARPU TAMAN??!!”