Kisah Kasih Kucing — i


POV : Gunawan

Menurut gue ungkapan bahwa usaha tidak mengkhianati hasil itu bohong. Usaha bisa mengkhianati hasil. Semua doa, keringat, dan air mata belum tentu terbayar dengan hasil yang diharapkan.

Atau apa ini semua salah sifat manusia yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang mereka capai?

Seakan dunia runtuh dengan kabar kegagalan gue. Semua orang terdekat yang gue sayangi satu persatu datang merangkul gue.

Sesampai gue di rumah, Mami seperti biasa terus menghujami gue dengan kecupan sambil mengucap “anak baik” pada setiap kecupan sampai gue geli sendiri.

Belum ada setengah jam gue pulang dari sekolah, Bundo Kanduang sudah ramai berteriak-teriak di depan pintu.

Semua saudara laki-laki gue itu bergantian menghampiri gue. Dari Bang Matius dan Mas Aji yang bersamaan mengusap kepala gue kemudian menyelipkan susu indomilk rasa cokelat ke dalam genggaman gue.

Bang Tejo diikuti senyum sumringah melambaikan tangannya dengan canggung sebelum Mami segera meraih plastik kresek bawaan dia yang gue yakin isinya adalah rawon masakannya sendiri. Rawon kebanggan Bang Tejo.

Bang Abim menepuk pundak gue kemudian merengkuh gue dalam pelukannya yang hangat. Sementara Ko Hao ikut usik menyentil telinga gue “Si Gundul kesayangan warga” katanya.

Bang Rizky datang cukup dengan sekali high five gue bisa mengerti pertanda bahwa dia baru saja top up gopay gue.

Sementara Joko si paling muda sudah duduk di sofa kemudian mengambil remot tv untuk menonton kartun Spongebob Squarepants.

“Selamat sore pecundang” itu Upin si tukang hutang. Orang terakhir yang membuka tangannya lebar berusaha meraih gue.

“Gue udah mandi ya, anjing?” ujar Bang Upin yang sudah mencak-mencak karena gue menghindar dari target peluknya.

Gelak tawa memenuhi rumah gue.

Hari hancurnya dunia bagi gue. Hari raya bagi saudara-saudara gue. Karena mereka akan datang untuk menyambut gue kedalam pelukan.

Apakah gue pantas menerima segala kasih sayang ini?

Apa mereka betulan gak kecewa sama kegagalan gue?

Aneh saat hari kegagalan ini dipenuhi dengan hangat peluk.

Gue hanya bisa menelan ludah dan mencoba kembali tersenyum.

Gue gak tahu apa yang sebenarnya gue rasakan saat dipeluk mami tadi siang. Gue juga gak tahu apa yang gue rasakan saat kepala gue dijitak satu persatu sama anak-anak Bundo Kanduang sore tadi.

Apakah gue baik-baik aja?

Apakah gue merasa lebih baik saat orang tersayang merangkul gue?

Apa gue sebenarnya takut untuk berbagi apa yang sebenarnya gue rasakan saat ini?

Gimana caranya rela saat dunia mengingatkan kalau gagal adalah takdir gue?

Harin sudah menelepon sebanyak dua puluh kali.

Harin cewek berperawakan seperti kucing oren dan bertingkah laku menyebalkan. Cewek yang sekali saja bersuara bisa ngebuat gue bingung lima belas menit. Dia kini berdiri di depan rak makanan kucing.

“Kamu kok tau aku di indomaret?”

“Kamu yang ngajak ketemuan gak sih, Rin?”

“Hehehehe.....”

Aih, manisnya.

Kedua tangan harin menutup mulutnya yang cengengesan. Mata bundarnya membentuk bulan sabit. Dia adalah orang paling tak terduga yang pernah hadir di hidup gue. Sosok yang gue gak tahu bahwa kehadirannya bisa membuat gue berani menyisihkan waktu untuk berbagi tawa.

“Lalu udah gimana usaha kamu, Peliharaanku?” ujarnya sesampai kami duduk di kursi yang tersedia depan indomaret.

Duduk kami berhadapan. Harin kini menyeruput susu cokelat yang barusan gue beli, soalnya dia tadi hampir mau ngemil whiskas, jadi gue kasih aja indomilk gue.

Harin betulan menatap gue dengan intens.

Gue hanya bisa menundukkan kepala menendang kerikil. Sepatu kekecilan yang sengaja gue kenakan ini mulai menimbulkan rasa perih saat mata kaki gue bergesekan dengan kulit sepatu yang kasar. Gue bisa merasakan ada sesuatu yang berdenyit dan sakit. Gue sakit.

Apa rasa sakit dari sepatu kekecilan ini bisa mengurangi rasa besalah gue?

Apa warna merah yang keluar dari kaki gue ini bisa membuat gue merasa lebih baik?”

“Kamu gak ngerti, Rin” gue bales sambil tersenyum memberanikan diri menyatukan pandangan dengan dia.

“Peliharaanku, kamu itu ketua OSIS, sering ikut lomba kesana kemari, juara kelas pula selalu berhasil kan... hmm... kayaknya kamu gak lolos olimpiade karena kamu kurang usaha aja gak sih?!”

Kenapa?

Kenapa dia gak mengerti?

Kenapa dia mau gue sakit?

Lalu jawab gue,

“Kata siapa aku gak usaha? Aku ngebagi waktu yang super padat dan berusaha buat belajar di sela-sela segala kesibukan yang aku jalanin itu semua usaha. Aku setiap hari kurang tidur, kurang makan, bahkan sampe jarang main kan karena usaha demi olimpiade ini. Kamu gak tau rasanya dihantui ketakutan akan gagal. Kamu gak paham rasanya berlari tapi gak pernah sampe di garis finish. Kamu gak akan tahu sakitnya mesti selalu tenang dan keliatan baik-baik aja karena merasa bersalah. Rasa bersalah karena jadi sumber kecewa. Rasa bersalah karena gak bisa banggain orang-orang yang selalu mendukung tapi gak pernah bisa... Aku gak bisa, Rin. Aku gagal...”

Gue gak tahu sejak kapan air mata gue udah ngalir gitu aja. Jelas terlihat tangan gue gemetaran. Badan gue terguncang. Luka di kaki gue semakin terasa perihnya.

“Keren banget kucingku. Banyak banget usahanya... Aku bangga. Berusaha itu juga sesuatu yang membanggakan loh... gak peduli apapun akhirnya”

Harin berdiri dari duduknya kemudian jongkok di hadapan gue. Ia mencoba mengintip gue yang sibuk menutupi wajah merah karena malu nangis di depan indomaret huhuhuhu....

“Hiks... Emangnya salah ya kalau gak lolos olimpiade, Rin?” adu gue sambil sesenggukan.

“Enggak... gak salah. Yang salah disini itu cara kamu.”

Gue mendongakkan kepala

“Kamu itu lagi sedih, Peliharaanku. Kesedihan kamu itu bagian dari perasaan yang sama pentingnya dengan rasa bahagia. Jadi jangan takut. Kalau kamu lagi gak bisa senyum lucu... jangan senyum...

Gue seketika menganga mendengar ucapan Harin. Raut wajahnya ikut cemberut melihat gue menangis. Bibirnya mengerucut ikut merasakan kesedihan gue.

Dia mengeluarkan plester dari saku celananya dan meraih pergelangan kaki gue.

“Maaf... Aku kira kalau pakai sepatu kekecilan bisa bantu aku, Rin”

“Iya bisa bantu kamu meninggal”

“Heh! Kamu mah...”

Si dia hanya cekikikan.

“Kamu tau gak sih kalau tanpa sedih, gak akan ada bahagia. Meski kamu masih kecewa dan merasa gak baik-baik aja... tapi makasih karena kamu udah berusaha!” Harin ngomong begitu sambil meniup-niup luka di mata kaki gue.

“Makasih Harin”

“Jadi jangan sakitin kaki lucu kamu lagi, Kucingku. Tapi kalau kamu ada asuransi ya gak apa sih...”

Harin.

Buat dia gak ada yang lebih penting di dunia ini selain mengeong. Dia selalu berlarian di lorong kelas hingga ke kantin demi menemui kucing-kucing liar yang merindukannya, di dalam tas sekolahnya penuh berbagai jenis makanan kucing bahkan terkadang rok sekolahnya penuh noda makanan kucing, dia usil selalu mencoba untuk maling pena gue, dia ceroboh dan selalu lupa bawa topi di hari senin sampai gue harus chat setiap malam untuk mengingatkan tapi besok paginya dia tetap lupa dan kemudian gue merelakan topi favorit gue untuk dia pakai.

Mungkin bagi kebanyakan orang dia memang aneh dan nyebelin.

Tapi buat gue harin adalah satu-satunya orang yang bisa membuat gue nyaman sama diri sendiri. Dia selalu membuat gue merasa cukup dengan apa yang gue punya. Dia bisa membuat gue yakin untuk menjadi diri sendiri.

“Ini kalau kita pegangan tangan nanti aku hamil, kah?” tanyanya membuyarkan lamunan gue.

Harin si kucing kecil yang aneh. Makasih udah mengingatkan gue buat bersedih. Makasih udah mengingatkan gue bahwa gue sedang gak baik-baik aja.