Tetangga Masa Gitu — iii
POV : Hunan
Aku masih ingat kali pertama mencium tangan Papah Loreng sepulang kencan pertamaku dengan Ayu saat masih pacaran dulu.
“Terima kasih sudah mengantar Gayatri sampai rumah dengan selamat Hunan. Ini terakhir saya lihat kamu ya.” Kemudian beliau menutup pintu rumah sekaligus pintu hatinya.
Entah karena profesinya yang seorang TNI Angkatan Darat atau karena Ayu adalah anak perempuan satu-satunya membuat sikap Papah Loreng terlihat begitu dingin dan tertutup. Kedua alasan yang apabila dikerucutkan tentu karena rasa cinta kasih pada Ayu. Aku bisa memaklumi.
Melihat mahasiswa tingkat akhir berpakaian kaos oblong yang pada lehernya mencuat benang karena kainnya menipis serta poni lempar samping andalanku kala itu mungkin membuat beliau bergidik ngeri. Sungguh berbanding terbalik dengan penampilan klimis orang berseragam yang kulihat fotonya beberapa kali di internet, mungkin seperti itulah harapan Papah Loreng terhadap calon pacar anaknya.
“Maaf, Mas Hunan. Papah Loreng memang agak ketat dan galak hehehe,” ucap Ayu seraya menyapu poni lempar samping kiri ku kesebelah kanan.
Alih-alih menyerah dan takut menghadapi Papah Loreng, aku tetap selalu salim tangan beliau setiap mengajak Ayu keluar. Ini semua tentu karena cinta yang aku punya untuk Ayu lebih besar dari rasa takutku.
Namun, kali kedua penolakan itu...
“Sampai kapanpun Gayatri tidak saya beri restu untuk menikahi kamu”
Hari dimana aku dan keluargaku dengan niat baik mengunjungi rumah Ayu mengantar hantaran lamaran justru di tolak mentah-mentah oleh Papah Loreng. Ayu dan Mamah Guru waktu itu hanya bisa tersenyum pahit.
Keluargaku bisa dibilang berbeda dari keluarga lainnya karena aku sendiri tidak punya sosok Ayah yang bisa mendampingi acara sakral itu. Salah satu alasan Papah Loreng tidak bisa merestui pernikahan kami kala itu.
Aku sedih, sangat.
Sangat sedih.
“Kita lewati ini sama-sama ya, Mas. Pasti bisa.” Ucapan serta kecupan singkat dari bibir ranum Ayu malam sebelum pernikahan kami mampu membuat rasa sedihku sirna begitu saja.
Penolakan-penolakan itu menjadi hal biasa bagiku, saking seringnya. Namun, penolakan kali ini cukup membuatku goyah.
Di dalam mobil sedan bekas yang kubeli beberapa minggu lalu demi memberi akomodasi yang layak untuk antar-jemput istriku itu menjadi saksi betapa lemah dan tak berdaya diriku di hadapan Papah Loreng.
“Hunan... sudah berapa kali saya ingatkan kalau anak saya itu sudah cinta mati sama kamu! Bahkan kalau kamu kentut saja pasti di bilang wangi sama si Ayu!”
Seketika mobil sedan yang kami kendarai berhenti di tengah keramaian jalan tepat saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Alahmak! Mobil bekas ini pintar sekali memilih waktu yang tepat untuk mogok.
“Loh, kenapa lagi mobil ini?!”
“Papah maaf ya kalau Hunan interupsi marah-marahnya... boleh bantu dorong mobil ke pinggir jalan kah? Hehehe....”
Aku menggaruk kepala karena perasaan tidak enak, sementara Papah Loreng sepertinya garuk kepala karena heran akan kelakuanku.
“Jadi, kamu antar-jemput Ayu ke rumah sakit pakai mobil rongsokan ini?”
“Kurang lebih begitu, Pah”
Semua ini bermula dari kedatangan beliau yang begitu tiba-tiba. Karena sehari usai pernikahanku dan Ayu, Papah Loreng mendapat panggilan tugas untuk menghadiri acara yang aku tak tahu menahu tentang apa.
Keputusanku untuk pindah dari kosan ke rumah mewah dengan iming-iming DP nol rupiah serta cicilan bertahun-tahun hanya berjarak seminggu pasca pernikahan justru membawa petaka.
“Cicilan rumah itu gimana ceritanya? Sanggup kamu? Bisa-bisanya perabotan rumah kosong begitu. Anakku gak kamu kasih makan, ya?”
“Kalau kata Ayu sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, Pah. Hehehehe”
“Iya, bukit utang! Kamu dan Ayu sama saja kelakuan masih seperti anak kecil. Tau begini gak saya restui kamu dan Ayu menikah.”
Kepergian Papah Loreng bersama supir pribadinya meninggalkanku dan mobil sedan yang terus mengeluarkan kepulan asap. Rasanya seperti di tampar dengan kencang, di tampar kenyataan.
Jujur, sebagai seorang suami dan kepala keluarga aku merasa gagal. Mengambil keputusan sepihak tanpa pikir panjang, bersikap acuh tak acuh di depan mertua hingga berani mengajak perempuan yang selama hidupnya selalu diberi yang terbaik oleh kedua orang tuanya justru ku ajak menjalani hidup pas-pasan.
“Hunan? Kamu ini di ajak ngobrol malah ngelamun! Cepat push up dan 50 hitungan dari sekarang!”
“Ih, Papah gimana sih? Katanya cuma bacain naskah proklamasi, kenapa Mas Hunannya di suruh push up juga?”
“Sudah, Pak. Kasihan Hunan mukanya keliatan pucat begitu. Sekarang kamu coba mainkan salah satu instrumen piano paling terknal di tahun 90-an,”
“Ih, Mamah juga gimana sih? Mas Hunannya pusing makanya bisa pucat begitu,”
Terhitung 3 hari 2 malam sudah Ayu pulang pada pelukan mertuaku. Disinilah aku dengan rasa bersalah yang sangat besar hanya mampu menundukkan kepala serendah mungkin.
Inilah hari dimana aku berusaha kuat di depan mertua demi membawa istriku pulang ke rumah.
Disinilah Aku, Ayu, Papah Loreng serta Mamah Guru duduk berhadap-hadapan di sofa empuk rumah mertuaku.
“Pah... Hunan malu sekali sebenarnya menjemput Ayu melihat alasan Ayu kemari karena saya yang tidak becus menjadi seorang suami. Soal cicilan rumah...”
“Apa? Kamu mau bela diri yang bagaimana lagi? Nasih sudah menjadi bubur, kamu urus saja cicilan dan tunggakan asal jangan bawa-bawa anak saya. Ayu lebih bahagia hidup bersama saya dan istri saya. Lagian mau tunggu kamu di promosikan di kantor sampai jabatan setinggi apa?”
“Papah! Mas Hunan! Cukup deh bahas cicilan rumah. Kenapa semuanya jadi tentang Mas Hunan aja sih?! Ini yang bangun rumah tangga Mas Hunan sendirian? Aku ini gak di anggep kah?”
“Hahahaha... Ayu...” saat Papah Loreng justru terkekeh sebagai respon amukan Ayu membuatku sedikit curiga. Beliau menepuk jidat seraya berujar “Waduh... cape deh... anak-anakku ini...”
“Bukan begitu sayangku...” aku mencoba menenangkan Ayu.
“Ayu senang banget kok ngikutin segala kemauan dan impian Mas Hunan. Ayu gak kepengen punya rumah serta perabotan mewah, Ayu gak masalah naik motor dan pakai helm kegedean, Ayu juga gak apa-apa kalau harus makan nasi padang setiap hari! Ayu maunya Mas Hunan. Gak mau yang lain! Ayu mau hidup bahagia sambil menanam pohon jeruk bersama Mas Hunan udah itu aja! Kenapa semuanya jadi ribet begini sih?! HUAAAAAA MAMAAAA HUHUHUHUHUHU”
Tidak kusangka Ayu bisa meledak seperti ini. Ah, berarti selama ini ia kepikiran. Banyak sekali yang ingin Ayu tumpahkan.
Ayu menangis kencang di pelukan Mamah Guru. Tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan deras. Aku pun mengusap ingus menggunakan lengan seragam Papah Loreng.
“Ayo kita usahakan rumah itu bersama-sama, Ayu. Mari kita isi kebun luas di belakang rumah itu dengan berbagai tanaman kesukaanmu, sayang. Mas akan berhenti cek website IKEA maupun ACE Hardware, gak perlu perabotan mewah. Mas cuma mau makan malam di meja berdua bersama kamu sambil obrolin Jujutsu Kaisen atau kamu mau curhat perihal pasien di RSJ juga dengan senang hati Mas dengarkan”
“Ayu juga akan coba belajar sup ayam kesukaan Mas Hunan. Maaf, ya Mas Hunan makanannya gak pernah enak. Makasih sudah sabar menghadapi Papah-Mamah Ayu, makasih banyak Mas Hunan rela kerja keras demi menghidupi Ayu. Makasih telah menjadi Mas Hunan yang senantiasa mencintai Ayu”
Bak film india dengan lagu latar kuch kuch hota hai, kami berdua lari kedalam pelukan masing-masing dengan dramatis. Aku dan Ayu saling merengkuh dan menangis.
Kami berdua menumpukan kepala pada bahu masing-masing.
Sementara itu,
“Hahaha... Dasar dua anak kecil kesayanganku ini...”