love grows

screenshot (so it'll last longer)

Hal yang paling gue suka dalam seharian penuh lelah ialah pulang. Habis jadi pemeran utama seharian, habis dipandang bergerombolan mata penonton, sekarang waktunya istirahat. Rasanya benar-benar kosong setelah energi bahkan nyawa gue disedot habis-habisan hari ini. Untungnya gue punya Ghiyas yang hadirnya mampu mengembalikan sisa-sisa nyawa gue yang sempat melayang di udara kembali masuk ke sanubari. Seperti biasa, Ghiyas selalu mengantar-jemput gue kemanapun gue pergi. Melihat sosok familiar itu berdiri menyambut lelah gue yang lantas memudar jadi penyemangat gue setiap hari. Tuh, belum apa-apa dia sudah nyengir terus cekikikan sendiri sampai-sampai bahunya bergetar menertawakan dengusan berat yang gue lenguhkan. Nyebelin sih, tapi gue jadi ikutan cekikikan juga. Di atas motor juga gak banyak obrolan, cuma update kegiatan masing-masing hari ini, yang banyak omongannya si dia yang kesana kemari bawelnya. Lalu tangan Ghiyas yang sesekali mengeratkan ikatan lengan gue pada pinggangnya. Sampai di apartemen, tukar giliran masuk kamar mandi, saling mengeringkan tetes air di rambut satu sama lain, barulah akhirnya kami berdua jatuh di atas kasur dalam posisi berpelukan. Semuanya sudah jadi rutinitas dan gue merasa terlampau nyaman untuk menarik lengan kekar Ghiyas dan menempelkan kepala disana. “Kak? Aku maunya dipeluk…” lirihnya manja. “Yaudah, iya..” Lantas dengan semangat penuh dia masuk dalam pelukan gue, menaruh kepalanya di antara dada dan ceruk leher gue kemudian di depan mata sudah ada tangan yang menjulurkan handphone dengan siaran ulang talk show yang gue bawa tadi. “Heh—ngapain, sih? Siniin gak. Matiin, Ghiyas. Ide darimana nontonin beginian tanpa izin aku?” Tapi protes gue tidak diindahkannya. Justru Ghiyas dengan lengan jenjangnya terus berhasil lolos dari gue yang juga terus gagal meraih. “Aku kan juga mau lihat cantiknya aku. Eh—awas awas tangannya. Audiens Kakak hari ini rame banget? Tuh, tuh, disuruh lihat layar kenapa bola matanya pada masih melototin Kakak semua? Tolol ya lu pada, tutup gak mata lu. Jir, Pak, Bapak udah tua jaga pandangan. Mentang-mentang orang penting duduk paling depan matanya jelalatan. Sumpah ini mah pada kegenitan.” Asal bunyi semua komentarnya, bikin gue meringis geli. “Apasih, bawel banget kamu tuh.” “Kak! Ada kamu! Bentar, bentar, capture dulu. Wuidih dari kanan juga cantik banget! Bentar, screenshot lagi. Apalagi kalau dari depan cantiknya gak masuk akal. Inilah dia tujuh keajaiban dunia.” Aduh, jadi malu sendiri dengar bunyi screenshot yang sahut-menyahut. Sampai seisi kamar cuma ada riuh heboh Ghiyas beserta suara tangkapan layar yang bergema. Berisik. “Apasih, berlebihan.” Menyerah, gue hanya bisa diam menyaksikan kegembiraan yang terpancar di wajahnya yang sibuk mengamati layar. Seolah tidak ada lagi yang boleh jadi fokus selain si cantik yang terus dia screenshot tiap kali muncul. Gue cuma diam-diam tersipu malu membenamkan wajah di puncak kepala Ghiyas. Jadi, gue mengambil kesempatan untuk menyisir rambut di jidat dia dengan tangan kosong lalu tangan gue terus turun menyusuri lekuk wajahnya dan kemudian bermuara pada sudut bibirnya yang tertarik ke atas tak berhenti senyam-senyum sendiri. Hingga gue sadar suara berisik dari telepon genggam Ghiyas mendadak hilang. “Kalau di pegang-pegang aku bisa bingung sendiri loh ini.” Gue hanya bisa menertawakan reaksi menggemaskan Ghiyas. Ya, sekalian aja gue godain, “Lagian ngapain sih capture-capture mulu kayak gak bisa capture aku langsung aja!” Ghiyas bingung dengan ekspresi super bloon andalannya, dia membuka matanya lebar-lebar mulai meragukan pendengarannya. "Emangnya bisa ya capture langsung?" “Bisa." “Hah…?” Ghiyas masih bengong. Kelihatan dari cara matanya berkedip perlahan dan mulutnya menganga, ini orang betul-betul kosong. Tak kuasa menahan geli gue acak puncak kepalanya sambil cekikikan. "Coba, capture aku." lontar Ghiyas lagi. Pernyataan barusan cukup membuat tawa gue hilang seketika. Lantas gue memandang lurus pada wajahnya, mencari titik bola mata imut menggemaskan itu, kemudian menyelam di sana. Dia betul-betul oon. “Ih, gemes!” Dua telapak tangan gue satukan pada bongkah kiri dan kanan pipi Ghiyas dengan satu kali tepuk pelan hingga yang di screenshot tercengang. Kan, lucu. Belum puas sampai disana, gue usap telapak tangan dingin gue pada permukaan wajah yang merona itu. Hangatnya mengalir deras, tak cuma pada lapisan kulit telapak, melainkan tertransfer hingga dada gue yang ikut mendidih. Sekali lagi, HAP. “Screenshot.” “Hehehe…,” diikuti tawa geli Ghiyas. Lagi, HAP. “Screenshot.” Ghiyas menangkup tangan gue, mengarahkan usapan tangan dengan pola melingkar. Lalu dia tutup mata menikmati, bibirnya tersenyum, seluruhnya puas mengecap hangat. “Hehehe…” Malah cengengesan. “Mau lagi. Mau lagi.” “Hahahaha… Nih, aku screenshot. Satu. Dua. Tiga.” Habis itu mukanya gue tangkup lagi kiri dan kanan, sementara si dia ketawa-ketiwi. “Hahaha… Oke. Oke. Sekarang giliran Kakak.” Mendengar permintaan menggelikan itu gue cuma bales dengan acak-acak puncak kepalanya. Tanpa jawaban dari mulut gue, Ghiyas sudah keburu meng-capture muka gue dengan kedua telapak tangan yang ukurannya dua kali lipat lebih besar dari telapak gue juga bahkan dari muka gue. “Hmnyhahahahaha… lucunyaaaaa…” “Hmpphh… curang.” Kaget, LAH. “Stop. stop. stop. Tangan kamu segede wajan.” “Screenshot.” “Ghiyas!” “Hahaha… ya maaf. Terus gimana. Masa aku gak boleh screenshot juga? Terus aku bolehnya apa?” Bibirnya yang mengerucut, dahinya berkerut, dan tangannya yang aktif mengguncangkan pipi gue gak sabaran, semuanya itu oon. “Yaudah, bebas. Kamu maunya ngapain? Selain tabok pipi aku loh, ya.” Masih dalam posisi berbaring mesra di atas kasur, dengan sela jarak yang amat sempit membuat gue bisa merasakan kehangatan tubuhnya hingga detak jantung yang bersahut-sahutan. Gue pun mudah menangkap kemana sepasang mata bundar itu berkelana menyusuri gue seutuh-utuhnya yang kini jadi titik pandang hingga berakhir jatuh tepat pada bibir gue. Kenapa ya mukanya gampang ditebak banget? Muka pengennya bikin pengen ketawa. “Kak.” Ghiyas diam-diam menarik pinggang gue di balik selimut. “Mau Kakak.” Dalam sekejap rasanya gue ingin jungkir balik akibat menyaksikan perpaduan rautnya yang harap-harap cemas penuh damba bersamaan dengan telapak tangannya yang menetap di lekuk pinggang gue. “Iya… mau apa? Mau diapain akunya?” Melihat dia gigit bibir penuh konsiderasi mengingatkan gue dengan yang sudah-sudah, bagaimana pandangannya akan cepat kabur dan banyolan yang keluar dari mulutnya hanya akan berakhir jadi hiburan gue semata. Ghiyas gak berani meminta dan ujungnya keinginan itu hanya akan menguap begitu saja. Ghiyas gak bisa apa-apa. Seenggaknya begitu pikiran gue sepersekian detik lalu, sampai tanpa aba-aba tangan Ghiyas naik menyentuh dagu menyusuri garis rahang, lalu meraup pipi gue kemudian membubuhi kecupan manis disana. “Ini yang aku mau.” Gue tatap wajah Ghiyas lekat-lekat, dia memerah malu. “Ghiyas?! Kamu ya…,” Gue mendekatkan wajah kami berdua lalu iseng menggesekkan hidung gue ke hidung bangirnya. “Nakal.” Bukan cicitan malu-malu maupun tindakan melenggang kabur tiba-tiba, karena biasanya Ghiyas cupu, tapi kali ini dia hanya diam dan masih menahan kontak mata. Ghiyas mendekat pelan, matanya nyari tanda-tanda dari gue, gue menyungging senyum tipis, memberi ruang buat Ghiyas mulai sendiri. “Aku cium, ya.” Tidak menemu penolakan, bibir Ghiyas mulai menyentuh permukaan bibir gue dengan lembut di kecup satu kali. Setelah kecupan-kecupan kecil berulang, barulah dia membuka mulutnya dan dia putuskan untuk meraup bibir gue dalam satu lumatan, di saat yang sama gue melenguh kagum dengan usahanya. Lalu mendikte sudut-sudut bibir gue dengan lumatan perlahan, penuh hati-hati. Lagi, lagi, dan lagi. Kemudian Ghiyas mulai terbawa suasana, napasnya makin pendek, gerakannya tergesa, bibirnya geser-geser mencari titik pas tapi nggak ketemu. Sekali dua kali, kepalanya miring tapi malah mentok hidung. Tangannya meraba sembarangan naik turun dari pinggang hingga punggung gue, matanya sempat lirik-lirik bibir terus balik lagi ke mata gue. Ghiyas gugup dan kebingungan mencari arah. Gue tak kuasa menahan senyum, tiap matanya melirik geli. Saat Ghiyas tanpa sadar sedikit menggigit bibir bawah gue, gue langsung nyengir, beneran nyengir. Gue mundur, nyenggol jidat Ghiyas pakai dahi sambil ketawa kecil. “Eh, kamu ngapain sih.” protes gue sambil berusaha menahan tawa. Ghiyas cuma bisa bengong, kaget sendiri sama semangatnya barusan. Mukanya merah, alisnya ngumpul di tengah, bibirnya setengah kebuka, dia linglung total. “Ya aku… aku kira... pelan gitu. Maaf. Tapi terus, Kakak diem aja, terus aku coba—eh, atau aku kurang gerak?” suaranya serak. Tangannya nggak tahu harus taruh di mana, akhirnya malah garuk belakang leher sendiri. Akhirnya panik pecah jadi tawa. Gue gak masalah dengan Ghiyas yang mencoba memberi yang dia mampu walau caranya acak. Gue suka bagaimana tangan Ghiyas menyentuh, bibir Ghiyas menerka, lidah Ghiyas menjelajah, semua titik tidak teratur yang ingin dia bubuhkan cinta, gue suka. Gue suka sentuhan-sentuhan manis itu. Beberapa detik hening. Baik gue dan juga Ghiyas sama-sama sibuk mengatur hembusan napas yang menggelitik pori wajah satu sama lain. “Ghiyas…,” Senyuman Ghiyas yang menyahut. Bahkan mau dia diam dan senyum tipis gitu aja cukup buat gue frustasi dan akhirnya gak mau lagi menahan diri. Gue tarik kerah bajunya mengambil alih kendali dan menyatukan kembali bibir yang masih dalam keadaan basah dan bengkak. Ghiyas sempat narik napas kaget waktu bibir gue nekan memperdalam lumatan, sebelum dia sempat tarik kepalanya. Mengharuskan gue berhenti sebentar memberikan reasuransi, bibir gue cuma nempel tipis di bawah bibir Ghiyas, dan gue berbisik pelan, "Ikutin aku, ya." sebelum lanjut cium dia lagi. Tanpa jeda giliran gue memberi ritme, arah, dan Ghiyas cuma bisa nurut, matanya merem dan bahunya lemas ngelepasin dirinya sepenuhnya. Napas saling berburu, bibir yang sesekali pisah cuma buat tarik udara, lalu nyatu lagi. Mulut gue kebuka sedikit dan lidah gue nyentuh pelan bibir bawah Ghiyas. Tangan Ghiyas akhirnya berani bergerak pelan, yang tadinya bertengger di pinggang kini menjamah kulit di balik baju tipis yang sedikit ketarik akibat tubuh yang persisten bersenggolan. Reflek tangan gue naik ke belakang leher Ghiyas, menyelipkan jari di rambutnya, menahan dirinya tetap dekat. Bibir Ghiyas sudah pandai merespon, nggak lagi asal nyari, tapi ngeladenin. Detik berikutnya, semuanya jadi jauh lebih dari sekadar saling tempel bibir, mulai saling baca, lidah satu sama lain saling beradu mendesak masuk dan menjilat kemana-mana, berlomba pula dengan degup jantung yang mulai tak karuan. “Kak.” Satu panggilan dari Ghiyas cukup menghentikan gue yang berkecamuk sebelum hilang kendali. Tautan kami pun berpisah seiring tarikan napas, dahi ketemu dahi, gue tatap Ghiyas sebentar, senyumnya masih ada. Ghiyas maju untuk mencium pelipis gue berusaha menenangkan sisa degup yang belum sepenuhnya reda. “Aku sayang sama Kakak.” Ujaran yang tidak bisa gue balas. Maka, sebelum diburu waktu untuk segera tidur, gue sisipkan dialog usil di telinganya. “Ciuman kamu remedial. Banyak yang harus diperbaiki.” Ghiyas ketawa kecil, matanya mulai berat. “Aku siap remedial tiap hari, Kak.”

Journey Into the Heart : Dream, Desires, and Nostalgia

Gunawan bukanlah seekor kucing melainkan seorang pemimpi. Mimpi adalah cara Gunawan untuk hidup dan Gunawan memilih hidup untuk mimpi. Kalau punya mimpi itu harus tinggi, lalu Gunawan kerap berjumpa rumah dengan meja makan kecil beserta dua kursi yang masing-masing diduduki Mami dan Bapak dalam lelapnya. Setinggi-tingginya ekspektasi yang bisa Gunawan gantung di langit adalah harmoni dan romansa yang seharusnya minimum. Apabila hidup berlandaskan mimpi, lantas apa yang ditawarkan dunia hanyalah kekejaman sebab membuka mata jadi berat dan kenyataan menampar begitu keras. 21 tahun yang lalu Gunawan lahir tanpa nama belakang memperjelas bahwa mimpi hanya akan selalu jadi angan-angan tanpa wujud nyata. Gunawan hanya bisa mengutuk dan menyangkal, mungkin lahir adalah kutuk dan sangkal jadi penawar. Hidup memang pahit walau tak selamanya. Mimpi memang bual walau tak selamanya. Gunawan hidup dan mati bersamaan, matinya adalah nyata, hidupnya adalah mimpi. Mungkin semesta memang paling tega, tapi Gunawan tidak pernah berhenti bermimpi. Jadi, waktu semesta meregang tak karuan hal yang paling mudah dilakukan adalah bermimpi. Jadilah baik kelak tuai tidak berkhianat. “Saya bukan orang baik.” Gunawan melirik ke arah kamera, menghela napas, kemudian tersenyum lirih. “Saya terus mencoba dan akan selalu ada ruang untuk menjadi baik. Tapi, saya masih jauh dari kata baik.” “Melihat pencapaian kamu selama ini, jelas luar biasa. Lantas apa yang menjauhkan kamu dari predikat baik?” “Harin. Haura Rinanti.” “Harin itu siapa, Gunawan?” Persetan dengan dunia sebab nyatanya semesta memang si paling tega. Tapi tidak dengan mimpi-mimpi Gunawan karena pada sudut paling jauh ada fantasi tempat ia bebas mencinta tanpa takut sebelum dia, dirinya sendiri, menggenggam terlalu erat sampai si pelipur menguap ditelan ruang dan waktu. Ya, balik lagi, persetan dengan dunia. “Harin adalah sesal yang ingin saya selesaikan.”

Gun Wook JW Anderson's Interview:
"I believe that dreams are a phenomenon that come from the depths of the unconscious. I dream about things that I want to do, things that have left an impression on me, things that I wish for, or sometimes things that I am afraid of and fear... Things that i'm not clearly aware of inside of myself appear as dreams. It's interesting because unconscious feelings can suddenly appears in dreams. Recently, I dreamed that I was playing with my local friends in the hometown where I was born and raised. A very nostalgic, memorable place."
Credits:
Gun Wook Global

Brondong Intern

Matahari sudah lama hilang ditelan bulan dan gue masih berseteru dengan cahaya biru terpantul tepat di depan wajah. Seenggaknya ada dua tiga kali proses pemulihan berulang namun hasilnya nihil. Bahkan es batu dalam botol stainless gue sudah melompong menyisakan serbuk kopi di dasar sana. Temaram bola lampu jadi pertanda bahwa gue harus segera menyudahi segala upaya. Hal-hal tentang peluh penat sehari penuh tidak terlalu gue ambil pusing karena gue senang melakukannya. Jadi, gue menutup hari tanpa keluh kesah dan menekan tombol di lift dengan enteng. Bunyi nyaring memberi sinyal gue telah sampai di lantai paling bawah. Ujung mata gue sudah memindai mini cooper yang bertengger sendirian disana barulah gue sadar kalau gue lupa bawa kunci mobil. Gue rogoh celana bahan gue di kiri dan kanan kemudian tas bahu yang didalamnya penuh aneka objek membuat gue kewalahan sendiri. Sampai lampu sorot mobil menyilaukan penglihatan gue diikuti suara klakson lantang. “Halo, cantik! Sendiri aja, nih?” kepala seorang pria menyembul keluar dari jendela pintu mobil. “Lo—” Kalimat gue berhenti saat gue menyadari bahwa kunci mobil yang gue cari-cari terselip dan berputar di jari telunjuk si tengil yang lagi cengengesan itu. “Siniiiiii…” Gunawan mengibaskan tangannya di udara menyapa bersama senyumnya berseri-seri. Gak pernah terbayang dalam kepala akan ada skenario pada sibuk-sibuknya dunia justru kedatangan brondong tengil bernama Gunawan si anak magang yang baru kurang lebih tiga bulan wara-wiri di kantor sekaligus di hidup gue. “Boleh minta instagramnya gak, Mba?” “Makan siang bareng, yuk! Gue ada rekomendasi warteg mantep!” “Buset kerja mulu, Mba. Malem minggu mah orang-orang mojok di bioskop.” “Kalau gue chat ada yang marah gak, Mba?” Sebetulnya bukan suatu hal yang penting apabila dia dan segala ide dan cara berusaha mengikis jarak langkah demi langkah terhadap gue karena gue tidak terlalu peduli. Tapi, bukan berarti lampu hijau untuk dia petantang-petenteng seenaknya di sekeliling gue. Satu sisi gue tidak keberatan diekori, sisi lain gue cuma bisa merespon tanpa ekspresi. Masih dengan dirinya dengan wajah penuh semarak juga bahunya yang tak berhenti naik turun karena terlalu bersemangat, norak. “SELAMAT ULANG TAHUN!” sorak Gunawan bergema. “Shh, masuk dulu, masuk dulu, sana, buruan.” Gimana gak panik, selain terheran-heran entah darimana dia bisa dapat akses masuk mobil pribadi gue itu, gue jauh lebih kalang kabut waktu dia ketawa puas membuka kedua tangannya ke atas kepala persis perilaku panda merah yang berdiri menghadapi ancaman. Ukuran tubuhnya yang dua mungkin tiga kali lipat lebih besar dari tubuh gue membuat gue cukup keberatan dan jelas tidak akan mampu menyamai energinya yang membuncah itu. Alasan lainnya, gue takut kelelep aja. “Loh-loh, Mba? Ini tangannya udah terbuka lebar-lebar, loh?” Buru-buru gue raih kedua telapak tangannya turun dan mendorong punggung lebarnya, “Iya, peluk-peluknya belakangan. Sekarang masuk dan jangan berisik. Malu, ngerti?” Oh, gue jadi sedikit menyesal melihat mimik wajahnya yang berubah drastis. Gunawan berjalan mengitari mobil dan memilih nurut perintah gue untuk duduk manis di kursi penumpang. Gue betul-betul tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mengerti isi kepala Gunawan. Menurut penaksiran gue dia hanyalah satu dari banyak laki-laki di luar sana yang penuh rasa ingin tahu serta suka memacu adrenalin dengan cara menaklukkan hati perempuan yang sekiranya buat dirinya adalah misteri. Semuanya itu tampak jelas setiap bertemu mata kala berpapasan, celetukan-celetukan jail, hingga sahutan tawa di sela-sela obrolan semata-mata untuk memenuhi kepuasan hingga meletup-letup yang sifatnya temporer. Namun, Gunawan ada di hadapan gue bersama tatapan sayu kecewa karena tidak direspon sebagaimana yang dia mau. Maka gue raih kerah kemeja yang amat kaku itu dan melontarkan ultimatum kepadanya. “Kalau lo diam aja gak bilang maunya apa, mending turun.” “Mau rayain ulang tahun, boleh?” cicit Gunawan merunduk sedalam mungkin. “Siapa yang ulang tahun—” Gunawan geleng kepala. “Hm, penyakit orang tua.” “Lo tuh—” Belum selesai gue mengeluarkan gencatan senjata sudah di interupsi duluan dengan berbagai gerak-gerik mengejutkannya. “Shh, jangan marah-marah udah tua makin tua. Mending kita potong kue. Ini dia, kuenya, lilinnya, korek mana ya korek… Mba ngeroko, kan? Anjir—ampun buset main geplak aja. Bercanda, Mba. Oh, ini dia koreknya. Tinggal nyalain, sat, set, beugh mantap. Nah, selesai!” Repot. “Udah?” Si anjing golden retriever mengangguk-angguk antusias. “Udah, Mba.” Suasana sunyi sepi parkiran, pencahayaan remang-remang lampu mobil menambah aura intimasi, kemudian sesi nyanyi lagu selamat ulang tahun berdurasi 3 menit itu memantul pada sudut-sudut mobil. Melupakan betapa istimewanya sebuah perayaan sudah jadi hal biasa, tapi dirayakan oleh yang bukan siapa-siapa membuat gue berpikir dua kali. Imajinatif, tapi Gunawan mewujudkannya dengan cuma-cuma, setulus hati. Lirikan mata Gunawan memberi isyarat supaya gue segera membuat permohonan sebelum kemudian menghembuskannya pada nyala lilin yang pelan-pelan meleleh. Gue menutup mata lalu dengan suara serendah mungkin, “Semoga kita senantiasa dikelilingi hal-hal baik.” Membuka kelopak mata gue mendapati Gunawan menatap gue dengan lekat. “Makasih. Melibatkan gue dalam doa dan harapan lo, Mba. Makasih.” Lalu timbul rasa ngilu pada jantung. Gue sentil kuping Gunawan usil, “Kira-kira kapan waktunya lo berhenti godain gue?” Terlalu sering berspekulasi menjadi alasan paling kuat buat gue mengantisipasi. Gunawan adalah yang paling transparan. Setiap kali gue menyelam dalam lapisan-lapisan kornea matanya jelas ada penantian disana. Mungkin gue adalah tempat singgah dari sekian jalan yang dia tempuh walau dia malah terjebak dan jadi lupa titik tujunya. “Tapi boleh, kan? Merayakan yang hari ini pantas dirayakan?” “Ya, boleh.” Namun, apapun itu yang Gunawan usahakan gue tidak keberatan bahkan menikmati alurnya. Sebagaimana dia dengan enteng menarik lilin warna-warni dari permukaan kue tart mini dengan taburan coklat diatasnya kemudian dipotong ciamik lalu suapan pertamanya bergerak bebas di udara menuju mulut gue yang otomatis melahap dengan nikmat. “Enak?” Gue angguk kepala tersenyum, “Manis.” “Senang?” “Senang.” Saking gak ada yang menariknya di hidup gue bahkan tiada ruang untuk takut maupun berani. Takut dikejar brondong gila atau berani mengejar apa yang dia tawarkan. Biarlah semuanya mengalir mengikuti arus. “Gue juga mengharapkan hal yang sama seperti harapan lo barusan, Mba. Supaya selalu dikelilingi hal-hal baik. Gue mau menjadi baik.” “Yaudah, jangan kemana-mana kalau gitu?” sanggah gue sambil lipat tangan di depan dada. “Jadi maunya gitu? Mau gue? Ada di sekeliling lo misalnya?” “Iya… selama ini juga udah, kan?” Gunawan serta merta mengumpulkan kedua tangan gue dalam genggaman hangatnya dan matanya membulat menatap gue penuh harap. “Lo tuh… Ya ampun…” Gue meraup wajah Gunawan dengan gemas lalu mengusap puncak kepalanya. “Gemes.” Malam itu, alih-alih berkontemplasi untuk pertama kalinya gue melupakan segala spekulasi dan membiarkan diri jatuh dalam buaian brondong tengil.

cookiss
Percaya atau tidak pada hari paling istimewa, hari ulang tahun Gun Wook—pacar gue, tidak ada satupun rencana yang berjalan dengan baik. Seharusnya, suasana romantis dimana hujan rintik-rintik dibersamai aroma petrichor berbaur dengan aroma vanili menjadi ornamen yang menghias perayaan satu kali setahun ini. Lucu kan, masak cookies bareng pacar? Tapi, pacarnya hilang. Gun Wook terjebak hujan. Gak jadi lucu, deh. Alasan sesepele itu memang sepatutnya gak perlu direspon dengan kesal berlebihan. Bukan kesal melainkan marah. Ya, karena alasan aslinya adalah dia yang bersikukuh bermain futsal menuruti permintaan teman tongkrongannya berujung melupakan janji untuk memasak cookies bersama di kosan gue. Hal yang tidak ada dalam prediksi adalah hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tandus permukaan bumi. Pada situasi tidak terduga ini gue justru paling hafal bahwa Gun Wook dengan spontanitas luar biasa itu pasti rela-rela aja menerjang hujan sampai ke kosan gue dengan dua alasan, yang pertama karena ‘seger mandi hujan abis main bola’ atau yang kedua ‘harusnya kamu gak marah karena aku rela loh terobos hujan demi ketemu kamu’, Gun Wook dan berbagai alibi tengilnya. Urusan gue luluh atau enggak itu belakangan. Hal pertama yang Gun Wook lakukan sesampai di depan pintu kosan gue adalah membuka helm dan mengacak rambut basah berkat guyuran hujan. Meneliti dari ujung kepala hingga ujung kaki semuanya tak luput dari air yang menetes. Sekian kali berhadapan dengan Gun Wook tapi rasanya selalu ada kejutan baru yang mampu buat gue tertegun. Dia mengenakan hoodie hitam polos, bercelana pendek dengan warna senada pula, dan tangan kanannya menenteng helm yang sama basahnya dengan rambutnya sekarang. Air menetes dari ujung-ujung surai legamnya meski begitu senyum lebarnya terus merekah tertuju kepada gue mengabaikan seluruh kacaunya. Nah, itu yang buat gue tertegun, bisa-bisanya dengan penampilan asal-asalan justru sukses memporak-porandakan hati. “Yah, cantik-cantik kok prengat-prengut.” ujar Gun Wook sambil tangannya mencoba meraih puncak kepala gue yang buru-buru gue tepis karena kesal. “Ih, jangan pegang-pegang. Kamu basah!” “Ih jingin piging-piging…” ledek Gun Wook lagi sambil melangkah terbata-bata bagaikan zombie dengan kedua tangan terbuka siap menyergap gue supaya ikutan basah dalam balutan atasan lembabnya. “Jangan dekat-dekat!” “Ah! Tertolak!” Si tengil bersandiwara menekan dadanya dengan telapak tangan seolah tatapan sinis gue barusan memberikan efek hujaman pisau pada jantungnya. “Tega… pacarku tega…” ujarnya dengan suara serak. Gun Wook buru-buru melepas sandal slip on nya lalu melangkah masuk sebelum gue tutup pintu dan membiarkan dia menggigil kedinginan. Mata Gun Wook dengan sengaja melirik ke bawah, karena gue yang jauh lebih pendek dari dia, lalu ia memicingkan mata seraya bersuara, “Hmmm, wangi apa ini.” Hidungnya kembang kempis menghirup aroma di sekitar ruangan. “Wah wangi cookies gosong.” “Kamu nyebelin, nyebelin, nyebelin.” “Oi sakit—Pak Polisi tolong saya digebukin cewek cantik.” Ada lagi yang memperparah hari menyebalkan ini yaitu ide gue untuk memperbaiki suasana atau seenggaknya mengalihkan perhatian dari rasa kesal yang kian menumpuk takut meledak itu justru jadi hal paling bodoh yang gue lakukan. Masak cookies sambil marah-marah. Bodoh. Alhasil semuanya dapat terlihat dari seisi ruangan yang berantakan, noda adonan berceceran, serta oven yang menganga lebar menampilkan objek yang sudah hangus. Jelas ya, kacau. “Ya gimana gak gosong? Kamunya telat dateng?” Gue jadi sibuk mencari arah yang bisa gue tuduh, entah karena gak terima dihakimi atau karena kecewa. Sementara Gun Wook yang jelas tidak menganggap perselisihan ini serius terlihat dari cara dia dengan santai menarik handuk milik gue yang tersangkut di kait belakang pintu itu mengusap rambutnya asal. “Loh, apa hubungannya aku sama cookies gosong coba? Kamu tuh yang ceroboh.” “Kalau kamu gak buat aku kepikiran pasti aku jadi lebih fokus. Ya salah kamu, lah.” “Bukannya yang baker disini kamu? Harusnya kamu lebih paham soal masak. Kenapa jadi salah aku?” “Loh? Kamu yang punya ide buat cookies bareng aku? Terus yang ujung-ujungnya telat juga siapa? Kamu, kan?” “Lagian kenapa harus cookies? Kenapa gak apple pie? Siapa coba yang mau makan cookies gosong?” Semakin ngelantur. “Ya kalau kamu hadir disini masak bareng sama aku sesuai rencana kita—” gue mulai meragukan omongan gue sendiri. “Pasti cookies-nya gak gosong.” Lantas seisi ruangan mendadak sunyi. Sadar argumen kekanakan antara kami mulai kemana-mana spontan membuat kami berdua serentak melambaikan bendera putih tanda menyerah. Refleks Gun Wook melepas hoodienya kemudian dilempar sembarangan menampilkan kaos hitam yang membalut tubuhnya itu tidak sebasah luarannya. Jadi, tidak masalah bagi Gun Wook untuk melangkah maju meraih gue masuk dalam pelukan dia. “Maaf…,” “Maaf…,” Lalu kata maaf muncul bersamaan. “Harusnya,” gue menarik napas, mendongakkan kepala, memandang tatapan teduh Gun Wook, dan menghembuskannya dengan keputusasaan. “Hari ini istimewa, harusnya hari ini sempurna. Bukan kejutan cookies gosong yang aku mau kasih ke kamu. Apalagi dalam kondisi paling berantakan kayak sekarang ini. Semuanya berhamburan dimana-mana. Di hari ulang tahun kamu, aku pacarmu yang cantik ini mempersembahkan cookies paling enak sejagat raya. Harusnya begitu.” Gun Wook terkekeh lalu secara natural menarik gue lebih erat dalam pelukannya kemudian mengusapkan wajahnya di ceruk leher gue. “Kalau aku bilang ‘setiap hari istimewa selama ada kamu didalamnya’, kamu percaya?” Gue menggeleng kepala kiri dan kanan dalam benaman peluk nyaman Gun Wook. “Asal kamu tahu, ada yang jauh lebih hangat dan mengenyangkan dari cookies-cookies manis, ya, kamu. Mudah, bahan-bahannya cuma kamu, aku, dan sayang. Makasih ya udah bagi sayang-sayangnya kamu ke aku, gosong maupun matang sempurna, semuanya itu yang menjadikan aku dan kamu, kita.” Alih-alih jatuh dalam perangkap gombalannya justru omelan judes yang keluar dari mulut gue, “Berlebihan.” Namun, hati Gun Wook jauh lebih lapang. Dia tidak menggubris protes dari gue melainkan melangkah mundur lalu tarik lengan kiri kanan gue jadi meski ada jarak tautan kami tidak lepas. “My birthday wish isn't about presents or celebrations, but to be loved by you every single day.” Ya, dia berhasil membuat segala perasaan yang tadinya campur aduk di kepala kini melebur dalam kalbu. “Udah itu doang?” “Makasih udah cantik. Kamu mau sedih, cemberut, bawel, judes, semuanya cantik.” “Gak nyambung, ah!” gue sentak tautan lengan kami berdua hingga mengayun cara gue menyuarakan kekesalan, lagi. “Hahahaha… sayang…” Jadilah tawa nyaring Gun Wook bergema di telinga gue membuat hati gue jadi jauh lebih tenang. “Senyum, dong. Mana cantiknya aku?” Apalagi yang bisa gue lakukan selain mengembangkan senyum manis permintaan kekasih. “Kamu mah... Yaudah dalam rangka merayakan hari baik ini aku siap kabulkan satu permintaan dari kamu, deh.” “Asik. Beneran? Permintaan apa aja?” “Iya, bener. Tapi satu doang ya.” “Yakin?” “Yakin.” “Kalau gitu aku minta dicium semuka-muka.” Langsung gue tempeleng kepalanya. “Itu namanya maruk.” “Buset, sayang. Tenaga kamu kayak abang-abang. Sakiiitt...” “Biarin!” “Aku yang digampar kenapa muka kamu yang merah?” Gun Wook menoel-noel pipi gue yang katanya memerah itu. “Hmmm, kalau digigit luarnya renyah dalamnya lembut kayak apple pie ya ini pipi?” Secepat kilat gue tepis tangannya sebelum pipi gue betul-betul dia gigit. “Sembarangan.” “Sayangnya aku, cantiknya aku, apple pie aku, cookies gosongku…” begitu terus ocehannya berulang sambil uyel-uyel pipi gue. Centil banget, pacar siapa sih ini orang. “Kamu aneh, ada bibir aku semanis ini kamu malah maunya cookies.” Nah loh. “Idih?” “Tadi katanya aku boleh minta apa aja. Jadi dikabulin gak neh?” “Ya…. Semuka itu maksudnya gimana dulu?” Senyum sumringah Gun Wook merekah menghiasi wajahnya seolah mendeklarasikan bahwa dia siap melancarkan aksi. Gue hanya bisa terbahak melihat responnya yang jenaka. “Kamu punya pikiran licik apalagi?” Gun Wook merendahkan kepalanya, kemudian berbisik, “Aku mau cium cantiknya aku…” Satu persatu jarinya lepas dari genggaman, telapaknya menangkup kedua pipi gue, dan dia sepenuhnya berhasil membuat gue terpaku dalam hitungan detik. Cara Gun Wook mencium pipi gue adalah dengan bibir yang terlipat ke dalam lalu hidung bangirnya meraih pipi gue dalam satu tangkupan dan menghirup napas dalam-dalam disana. “Disini?” Gue menutup mata menikmati sensasi hirupan napasnya pada pori-pori kulit gue. Dalam jarak sedekat ini semakin pekat aroma tubuhnya menggoda penciuman. Otomatis degup jantung di balik rusuk tidak lagi mampu disembunyikan karena dalam peluk getarnya jadi jauh lebih terasa. Gila, betul-betul bikin mabuk kepayang. Lagi, “Disini?” kali ini di pipi kanan. Entah keberanian dari mana tangan gue kini menelusuri pinggang Gun Wook dan menariknya lebih dekat. Dan lagi, “Disini?” terakhir sesaat napas hangatnya menyentuh bibir dan sebelum gue berakhir jatuh lemas, Gun Wook memilih untuk membubuhkan cium gemasnya di dagu gue. Selesai. Cium pura-pura yang hanya sebatas meraba-raba permukaan kulit itu berakhir begitu saja meninggalkan gue membelalakkan mata dengan tatapan kosong serasa habis dibodoh-bodohi. Maka dengan sisa kewarasan gue mengumpulkan udara yang bisa gue hirup kemudian berteriak, “AAAAAA—PARK GUN WOOK YANG SERIUS?!” Mungkin tawa Gun Wook kali ini adalah yang paling besar dan paling puas. “Hehehe… aku mau sikat gigi dulu.” Juga, paling konyol. “Hah?” “Iyaaaaa… sikat gigi.” Cara dia berbicara sambil cengengesan menampakkan barisan giginya serta ikut menonjolkan tulang pipinya yang kemerahan membuat gue tak kuasa menahan senyuman. “Kalau gitu, mana?” “Apanya.” “Sikat giginya?” “Ini.” Gue melongo. Gun Wook mengeluarkan sikat gigi dari balik saku celananya. “Odolnya?” “Ada.” Juga pasta gigi. “Oalah—Ini namanya ciuman terencana ya Park Gun Wook!” “Sikat gigi duluuuu…” Gun Wook berlari terbirit bersama gema tawanya menghilang masuk ke dalam kamar mandi. Mencintai Gun Wook adalah hal paling mudah dan menyenangkan yang gue bisa lakukan. Sosoknya selalu bisa membuat segala hal jadi lebih cerah, bahkan melalui perselisihan kecil yang tak ayal mengorbankan ego masing-masing, tapi, kalau sama Gun Wook rasanya bisa menaklukkan dunia. Walaupun gue selalu merasa percaya diri bahwa perihal mengerti dan memahami selalu jadi absolut di antara kami berdua, tapi, lagi dan lagi, kalau sama Gun Wook selalu ada kejutan. Tanpa perlu susah-susah menyelami karakter yang sudah pasti bertolak belakang karena memang sudah diciptakan berbeda-beda oleh sang maha kuasa, tapi, kalau sama Gun Wook keterkejutan itu bisa diarungi bersama. Melalui napas yang menderu, kecupan tanpa ragu, dan gigitan yang sesekali menyetrum di bibir, semuanya itu bersatu padu memacu adrenalin yang dengan malu-malu gue nyatakan adalah cinta. Bibir Gun Wook tidak henti-henti menyapu bergantian menyesap bibir gue seolah tiada hari esok. “Wook… Wookie… Gun Wook…” membuat gue kewalahan dan memutuskan untuk menarik diri dari tautan intens tersebut. Sementara Gun Wook menjilat bibir mencicip bekas ciuman kami barusan. “Hm?” alis tebal itu terangkat menuntut penjelasan. “Aku—” sambil menarik napas, gue raih pipi merah si dia untuk di usap-usap, terus memandangi mata sayunya, sambil tenggelam dalam kontemplasi yang mau tak mau harus gue akui, “Aku malu.” Gun Wook menyeringai dan gue hanya bisa gigit bibir memandang langit-langit. Rendah erangan Gun Wook terdengar berat di daun telinga gue, “Berarti harus sering-sering…” Gun Wook mengambil langkah maju mengikis jarak semakin habis lalu ibu jarinya menyapu saliva di sudut bibir gue kemudian, “Supaya terbiasa.” Belum sempat gue menyanggah, Gun Wook jauh lebih cepat melahap bibir gue yang sudah bengkak untuk kembali dilumat. Gue coba mengikuti tempo gerakan dia hingga bertemu koheren sambil melingkarkan tangan di lehernya kemudian jemari gue berkelana di antara rambutnya. Pelan-pelan rasa malu itu terkonversi menjadi rasa nikmat. Hari ini jadi bukti bahwa selarasnya selisih dan kasih bisa terakumulasi menjadi cinta yang bermuara pada presensi satu sama lain terlebih bersama si paling istimewa, Gun Wook. Hingga bunyi oven menarik kami berdua kembali menapakkan kaki pada tempat berpijak. “Cookies-nya gosong!” “Cookies-nya gosong!”

Kelabu Merona
Harry adalah kelabu. Harry ada di antara hitam dan putih. Monoton. Monokrom. Terperangkap dalam pusaran rutinitas yang cenderung monoton menjadikannya sulit dikenali. Duduk di meja kerja, menatap layar laptop penuh kumpulan data, ditemani secangkir kopi hitam. Tidak ada interaksi langsung, lebih condong menaruh minat untuk mengurung diri dari dunia luar, menikmati kekosongan hidup. Mungkin pola hidup ideal yang selama ini ada membentuk gagasan bahwa bernyawa adalah fundamental dan sukacita baru hadir apabila dunia berkenan. Jadi, Harry hanya menjalani karena selebihnya sudah di luar kendali. Semua dalih itu tidak menutup mata orang-orang di sekitar bahwa Harry hanya seonggok daging tak berjiwa. Kendati demikian, Harry lebih suka berdiri di celah redup dan redam. Harry kelabu—dia bukan orang jahat, dia hanya anak manusia yang tidak sepenuhnya bahagia. Tapi hari ini langit jauh lebih menginterpretasi kata kelabu. Cakrawala pagi gelap dan berawan. Harry menghela napas, merapikan lekuk dasi di leher, lalu siap menarik tangan si kecil untuk dibawa menerobos keramaian hiruk pikuk tawa, cemas, dan doa penuh harapan yang berlalu lalang. Semua dengungan campur aduk dari anak dan orang tua masing-masing sembari bolak-balik buka kertas dalam map. Umum terjadi di hari pengambilan laporan hasil belajar. Dengan napas berat seakan membawa beban tak terlihat, Harry menatap kosong ke bawah tepat pada puncak kepala anak laki-laki yang tingginya tak sampai sepinggang. Si kecil lantas mendongak membalas tilikan Harry dengan wajah tanpa ekspresi. “Ruang kelasnya yang sebelah mana, Yasa?” Harry buka suara. Senyum yang terukir di wajahnya tak pernah benar-benar mencapai mata dan dialognya terdengar hampa. Setidaknya Harry sudah berusaha menyesuaikan energi untuk berkomunikasi dengan anak kecil. Walau Yasa tetap tidak suka dengan nada datar pamannya. Sekali lihat, semua orang juga bisa paham bahwa laki-laki bertubuh jangkung bersama penampilan apik nan teratur itu memantulkan mimik tidak betah bergandengan tangan melintasi lingkungan taman kanak-kanak yang penuh aneka warna. Padahal Yasa juga benci dalam posisi ditinggal Mami dan Papi ke luar negeri terus digantikan oleh Uncle Harry yang tidak ada ramahnya sama sekali. “Cepat. Tunjuk ruang kelasnya. Gue ada rapat dua jam lagi—,” Bawel, batin Yasa. Yasa tarik kelingking Harry sontak membuat yang lebih tua berjalan maju sambil merunduk mengikuti arah keponakan. Jari telunjuk Yasa jadi kompas memberi arahan membawa Harry berjalan mengitari lorong-lorong kelas. Harry memasukkan tangannya yang bebas dari genggaman ke dalam saku menambah kesan acuh tak acuh ciri khasnya. Dalam benak Harry timbul sekian skenario bahwa akan lebih baik apabila ia tidak mengindahkan jadi wali murid pagi ini sementara Yasa sibuk ngedumel dalam hati sebab keputusan tidak bijak kedua orang tuanya. Jadilah dua anak manusia yang saling membenci presensi satu sama lain berjalan bergandengan, walau raut muka masing-masing jelas mewakili isi hati. “STOP.” Jari telunjuk Yasa memberi isyarat bahwa ruang kelas dengan pintu kaca penuh ornamen origami warna-warni adalah titik tujuan mereka. Lalu Harry berhenti saat kaki Yasa berhenti. Ruang kelas yang Yasa tunjuk tepat di seberang lapangan tempat mereka berdiri. Harry jadi bingung karena arahan keponakannya sama sekali tidak akurat. “Udah sampai?” Tidak ada jawaban dari Yasa. “Kenapa berhenti kalau belum sampai?” Yasa masih enggan menanggapi. Harry tidak terbiasa akan hal selain hitam dan putih. Harry tidak suka jawaban di antara iya dan tidak. Mengingat bagaimana Harry merupakan deskripsi dari hal-hal yang abu-abu, mendampingi anak ingusan mengharuskan Harry untuk mengeluarkan energi ekstra menghadapi wataknya yang pancaroba. Harry menghela napas berat lalu jongkok menyatukan pandangan dengan Yasa. “Lo kenapa mendadak irit bicara? Nilainya jelek, ya?” “...” Harry dan penilaian tajamnya selalu berhasil buat Yasa kesal, soalnya betul. Jadi, Yasa kembali mogok bicara dan hanya memandang Harry dengan tatapan kosong. “Kenapa mukanya cemberut jelek?” “Yasa hates Uncle Harry.” teriak Yasa sebelum menendang tulang kering Harry. “ADUH!” Habis sudah kesabaran Harry menghadapi tingkah bersungut-sungut yang memakan waktu ini. Harry tidak peduli. “Gue harusnya yang ngomong begitu. Lo pikir kerjaan gue sebanding dengan ambil rapor di sekolah warna-warni ini? Gue paling benci buang-buang waktu. Lihat, notifikasi gue udah penuh sama panggilan kerjaan. ” Harry melambungkan telepon genggam di hadapan wajah Yasa sehingga cahaya layar menyilaukan pandangan Yasa. “Uncle Harry negative aura. No rizz. No sigma. No skibidi.” “Ngomong apa—Hei?! Jangan lari!” Tidak pernah terbesit dalam pikiran Harry bahwa dia akan terjebak dalam situasi konyol dimana dirinya dalam balutan setelan jas, sepatu hitam mengkilap, dan rambut yang sudah tertata sedemikian rupa akan berakhir berantakan. Harry berlari mengejar anak kecil yang barusan menginjak sepatu pantofelnya sampai bercak lumpur. Kan, jadi repot. Lari menyeberangi becek lapangan bahkan hampir kepleset ketika sampai di lorong kelas yang lantainya beralaskan keramik. Harry sisir asal rambut acaknya dengan jari sambil matanya mengikuti laju gerak Yasa memasuki ruang kelas paling pojok. “Yasa!” suara Harry menggema memenuhi ruangan dan napasnya yang tersengal jadi figuran. Pelan-pelan mata Harry memindai ruangan yang dimasukinya, burung origami bergelantungan di langit-langit, gambar dengan pola acak yang jujur saja menurut Harry tidak ada unsur estetika yang begitu berarti tertempel di tiap sudut dinding, lalu meja dan kursi warna-warni khas kanak-kanak tersusun rapi di tempat masing-masing. Lantas hal terakhir yang mata Harry tangkap ialah sosok perempuan berkacamata, pulpen tertancap di cepolan rambutnya, disempurnakan dengan bibir merah yang menarik perhatian. Sera jongkok menyambar Yasa masuk dalam pelukan kemudian mengusap kepala dan bahunya. “Huhuhuhu… Yasa kangen Mom and Dad. Yasa benci Uncle Harry. Yasa benci sekolah!” “Shhhh… It’s okay, sayang. Teacher Sera disini.” Teacher Sera—sosok perempuan yang memeluk Yasa itu tampak sangat naluriah, senyumannya hangat, dan setiap kata yang dia ucapkan tulus menenangkan. “Anak nakal…,” Harry melangkah maju hendak menjemput telinga Yasa dalam sekali jewer sebelum tangannya tersengat listrik akibat pukulan dari telapak tangan Sera. “ADUH!” Aduh kedua. Sera menaikkan alis tidak habis pikir melihat tingkah unik laki-laki berpostur proporsional dengan penampilan bersahaja dibersamai parasnya yang rupawan berdiri congkak di hadapan Sera. “Itu dia monster berlidah tajam, Teacher Sera. Yasa benci Uncle Harry.” Yasa semakin mempererat pelukannya pada tubuh Sera terus benamkan kepala di ceruk leher gurunya. “Uncle Harry?” tanya Sera ragu. “Saya… Harry.” Harry angguk kepala mengiyakan pertanyaan Sera sambil membantunya berdiri, menarik Yasa lepas dari peluknya yang kemudian memperlihatkan bagaimana kerah kemeja Sera basah akibat air mata Yasa. “Saya wali murid Yasa.” Cepat-cepat Sera menepis lututnya menghilangkan debu bekas bertelut untuk gapai Yasa tadi, lalu lanjut lap tangan sekilas di atas fabrik rok span yang ia kenakan, kemudian tangannya siap menjabat tangan Harry. “Oh—saya Sera. Wali kelas Yasa.” Harry menilai pemandangan barusan cukup sembrono dan jauh dari prinsip etika yang dia pegang. Sementara, Sera ikut mengerutkan jidat melihat bagaimana Harry memandangnya remeh. Keduanya sama-sama tidak sudi bertukar senyum. “Silahkan, Pak.” Usai agenda jabat tangan yang amat kaku tersebut, Sera membawa Harry duduk di kursi berhadapan dengan meja guru di depan ruang kelas. Di ruang kelas yang hening, aroma kertas dan tinta menyatu dengan harapan-harapan yang menggantung, gerak-gerik lihai Sera meneliti setiap lembar laporan nilai. Harry menilai segalanya dari berbagai sisi dan hasilnya negatif. Baik itu dari perawakan Sera yang tampak terlalu muda untuk ukuran seorang tenaga pendidik, maupun dari tatapannya yang tidak ramah sebagai penawar jasa. Padahal kalau boleh jujur, Harry yang lebih banyak sumbang energi negatif dalam ruangan sunyi ini. “Baik, untuk ananda Yasa, ya.” Satu-satunya yang apik dari penilaian Harry selain paras elok sang wali kelas adalah suaranya yang serak-serak basah. Harry menikmati pemandangan di hadapan dimana bibir mungil ranum itu mengudarakan suara merdu nan sopan masuk telinga, sorot matanya yang tajam menjadi tantangan bagi Harry untuk terus mempertahankan kontak mata, dan lekuk jemari membolak-balik kertas laporan semester keponakannya dengan hati-hati. Cantik, batin Harry. “Uncle Harry! Fokus!” Yasa yang sedari tadi duduk di pangkuan Harry lantas memukul dada pamannya supaya sadar dari lamunan. “Maaf… gimana tadi? Pencapaian? Perkembangan?” “Yasa butuh peran dampingan orang tua untuk mendukung perkembangannya, Pak. Terutama dukungan dalam membangun percaya diri.” “Jadi keponakan saya bukan bodoh.” “Pak?!” Sera menggertakkan giginya menahan diri apalagi waktu melihat bahu Yasa yang mendadak mencelos putus asa membuat Sera mengurungkan diri niat membogem laki-laki bermulut tajam di seberang meja. “Tidak ada anak yang bodoh, setiap anak punya kesempatan untuk belajar, terlebih Yasa yang punya potensi untuk bersinar.” Mata Sera sinis seolah siap menerkam Harry, lalu beralih menatap Yasa kembali dengan mode tatapan paling teduh. Harry cukup terkesan karenanya. “Baik. Thank you, Teacher Sera.” “Jadi, mohon bantuannya ya, Pak Harry.” Sera memberi penekanan pada nama Harry mengisyaratkan peringatan supaya dia berhenti macam-macam. Bukannya merasa tersinggung, Harry tersenyum miring. “Saya gak bisa bantu apa-apa.” Yasa cegukan satu kali. Harry hampir meloloskan tawanya sewaktu mendapati Sera naik pitam dengan kepalan tangannya seolah siap membanting meja. “Baik.” senyum Sera sangat amat terpaksa, “Mungkin anda bisa bantu dari kebiasaan kecil seperti dukungan emosional pada setiap pencapaian anak.” Harry mengerutkan jidat berusaha berpikir keras mengartikan maksud dari arahan Sera yang sebenarnya bentuk Harry menggoda Sera aja. “Lo bisa apa, Cil.” tanya Harry dalam sekali lirik pada keponakan di pangkuan. “Bisa buat transisi TikTok tanpa aplikasi tambahan, Koh.” “Mantap.” “DUH! BUKAN BEGITU.” “Hahahahaha…” Yasa menertawakan amarah gurunya. “Teacher Sera merah!” Yasa tunjuk muka Sera yang merah padam kepalang emosi. “Yasaaaa….” Semua orang juga tahu kalau Sera udah kesal maksimal, tapi anehnya Harry mulai suka menonton gerak-gerik tak terduga itu. “Dengar sayang,” Sera meraih tangan Yasa di atas meja lalu menyatukan kedua tangan mereka kemudian, “Yasa hebat, gak cuma jago edit transisi TikTok, tapi kamu juga rajin belajar.” “Walau nilainya jelek?” “Iya, bukan berarti kamu tidak pintar. Nilai hanyalah angka dan yang paling penting adalah bagaimana kamu terus berusaha.” Yasa mengangguk lamat-lamat masih tidak percaya diri. “Yasa lihat Teacher Sera, Nak.” Sera tarik perlahan dagu Yasa menyatukan pandangan. “Yasa bisa. Yasa anak pintar. Percaya diri, ya?” “Bagaimana caranya Teacher?” “Ya, kayak lo edit TikTok aja, Yasa.” Lagi-lagi celetukan sengit dari mulut Harry mengejutkan Sera hingga mulutnya nganga tidak percaya akan apa yang ia dengar barusan. “Apa coba yang buat edit rasanya jadi menyenangkan?” “Easy. Yasa coba-coba beragam cara sampai dapat alur yang tepat. Lalu dapat jumlah suka yang banyak. Yasa bangga.” “Yaudah sama kayak belajar.” “Belajar sulit Uncle Harry. Nilai Yasa tidak sebanyak jumlah like TikTok.” “Makanya, Yasa harus coba beragam cara juga buat suka belajar. Semakin bisa karena terbiasa. Soal angka nanti akan mengikuti, yang penting kan usahanya. Iya gak?” Yasa angguk kepala setuju. Melihat obrolan eksentrik itu mulai mengarah kembali pada lajur yang benar, cepat-cepat Sera ikut nimbrung ambil alih sebelum keburu melenceng lagi. “Nah, pinter. Gimana, Yasa? Janji buat lebih percaya diri aktif buat belajar setiap kelas?” “Promise, Teacher Sera. Yasa mau coba.” “Anak baik.” Sera usap kepala Yasa memberi afeksi bangga akan keberaniannya. Belum ada satu menit atmosfer sentosa mengiringi sudah disambut lagi dengan ulah ganjil Harry yang tiba-tiba malah ikut menurunkan kepala minta diusap. “Pak?” “Saya berkontribusi buat meningkatkan rasa percaya diri anak murid anda. Problem solved, kan?” “Ah… Iya, iya.” Sera spontan mengusap kepala Harry sementara yang diusap diam mematung tidak menyangka guyonannya akan ditanggapi serius. Harry adalah kelabu. Sera adalah rona. Maka sekali lagi mereka bertemu pandang dan gelak tawa jadi rangkaian yang kian beri warna kini, sekarang, dan kelak seterusnya. *** Harry adalah kelabu, dalam buku agendanya terdaftar aktivitas repetitif yang menjadi rutinitas sehari-hari. Monoton. Monokrom. Harry senang mengetuk jarinya di atas meja sambil isi kepalanya mengeliminasi butir-butir susunan kegiatan harian yang berhasil terlaksana tanpa hambatan. Terus berdehem menikmati bunyi jarum jam yang berdetak. Sampai bunyi notifikasi mematahkan senyumannya. Pick Up Yasa 📍Rumah Teacher Sera Kini ada rona merah jambu yang muncul pada layar telepon genggam Harry, jadwal sekali seminggu jemput keponakan. Hari-hari berikutnya, satu kali seminggu tepatnya hari sabtu jadi agenda rutin baru buat Harry mampir ke rumah mungil Sera untuk menjemput keponakan. Si kecil Yasa semakin menjadi manja dan lengket pada pelukan Teacher Sera dan tidak ada yang bisa protes. Tetap saja masih terasa janggal dengan semburat warna yang pelan-pelan menelusup masuk memulas corak baru membuat Harry geleng kepala kewalahan. Harry mendengus napas kesekian kali, “Repot… repot. Kegiatan tambahan anak-anak sekarang pada ribet. Peduli apa gue sama perkembangan motorik bocah?” Begitu terus ocehannya sejak keluar ruang kantor, parkiran mobil, jalan raya, lampu merah, hingga kakinya berhenti menancap pedal gas tepat di depan rumah wali kelas keponakannya. Seperti yang sudah tertera pada agenda, Harry datang ke rumah Sera pada sore hari, menjemput keponakannya yang manja. Namun tidak seperti biasanya dimana Yasa siap berdiri di depan pintu dan langsung melempar ranselnya untuk Harry bawa, justru hari ini pada ketukan ketiga tidak ada jawaban dari balik pintu. “Permisi! Yasa… Sera… Masih rusak aja bel ini rumah apa susahnya manggil tukang—,” Harry masih ngedumel. “Sebentaaaar…,” akhirnya ada suara dari dalam. Ketika pintu dibuka oleh Sera, Harry merasa sedikit canggung. Harry mendapati Mata Sera yang sayu, kaos putih yang ia kenakan longgar berantakan, rambutnya dibiarkan terurai panjang menyentuh lekuk pinggang. Bahaya. Harry cuma bisa menelan ludah sambil meragukan moralitas dirinya. "Ah, Pak Harry! Maaf saya dan Yasa ketiduran." kata Sera sambil tersenyum sambil mengucek mata berusaha menyadarkan diri. Harry sedikit terkejut dengan pemandangan barusan, namun segera membalas dengan suara pelan, "Gak masalah.” “Silahkan masuk. Maaf berantakan.” Harry mengangguk sambil tersenyum kecil. Harry kembali lagi dengan tabiatnya yang suka mendikte segala hal itu. Lagi-lagi dekorasi warna-warni dengan ornamen berbagai macam bentuk gak jauh beda dengan ruang kelas taman kanak-kanak, pikirnya. Jadi terbersit niat untuk menjahili Sera, “Betulan berantakan, ya.” Harry senang mendapat respon sinis dari Sera persis seperti yang diharapkan. “Posisi saya disini korban, Pak. Itu tuh tersangkanya! Habis acak-acak rumah ibu guru malah ketiduran.” Cerocos Sera kesal sambil ikat rambut berjalan menuju pantry memilah gelas-gelas kaca siap menjamu tamu. Diam-diam semuanya itu Harry perhatikan dengan khidmat tidak rela ketinggalan barang satu detik pun pergerakan Sera seolah terhipnotis. “Kopi, Pak?” “Panggil Harry aja.” Sera menaikkan alis. “Iya, Kopi hitam.” lanjut Harry lagi. “Sip. Kopi hitam untuk Harry satu. ” Sera tidak ambil pusing dengan permintaan mengejutkan Harry, soal julukan panggilan tentunya. Kopi, sedikit gula, tinggi, wangi, Harry… sebentar. Nampaknya Sera cukup terganggu melihat Harry yang berjalan santai masuk rumahnya seolah bukan pertama kali. Atau mungkin Sera lebih terganggu dengan pemandangan Harry yang melipat lengan kemeja keatas memperlihatkan urat di lengan. Parahnya lagi, Harry berdiri berkacak pinggang mengamati tiap pergerakan Sera dibersamai senyuman miring menyebalkan. Sera menyisipkan rambut ke belakang telinga karena grogi dan buru-buru menyanggah, “Duduk di sofa aja, nanti gue antar kopinya.” “Alright.” Harry angkat bahu langsung turut akan perintah Sera. Harry menggeser mainan yang berhamburan di lantai menggunakan kakinya supaya dia bisa berjalan menuju sofa di ruang tamu tempat Yasa tertidur lelap. “Tadi main rumah-rumahan, lihat dinosaurusnya bertebaran. Itu. Kesana. Di atas meja makan. Di atas kulkas.” Sera menunjuk ke rumah mainan dan tumpukan figuran dinosaurus dimana-mana. “Terus gempa bumi jadi dinosaurus musnah dan berevolusi jadi kelinci baik, disana.” Si kelinci tertidur lelap sambil di usap-usap jidatnya sama Harry. “Kenapa skenarionya acak amat?” “Imajinasi Yasa.” Harry lagi-lagi tersenyum sampai tulang pipinya menonjol. “Terus, peran lo jadi apa?” “Gue? Ratu kegelapan yang mengirimkan berita kepunahan. Kiamat.” “Hahahaha—” belum puas Harry tertawa mulutnya sudah di bekap dengan telapak tangan Sera. “Shhh… nanti kelincinya bangun.” Harry diam kaku. Matanya menyabit, pipinya memerah, senyumnya terus merekah lebar sambil mengangguk berjanji untuk tidak lagi berisik. Mabuk… Mabuk. Mabuk senyumannya Harry, tapi Sera lebih baik menyeruput air mendidih. Sera mengepalkan tangan menahan diri sambil kembali merapalkan mantra supaya dia terus ingat bahwa Harry adalah wali anak muridnya. Moralitas Sera dipertanyakan. “Ini kopinya.” “Thank you.” “Cocok, ya? Gue jadi ratu kegelapan?” “Muka lo judes.” Sera duduk lesehan di bawah kaki Harry membuat laki-laki itu otomatis ikut turun dari sofa ikut gabung duduk lesehan supaya matanya berhadapan langsung dengan Sera. “Iya, sih. Hampir semua orang yang kenal sama gue pasti selalu bilang kalau tampang gue terlalu judes untuk jadi seorang guru.” “Tapi lo cocok, sama anak-anak.” Terlampau nyaman, Sera melipat kakinya depan dada dan menyandarkan dagu di antara kedua lutut. Ceritanya ambil posisi paling nyaman berhadapan dengan si paling rupawan. “Iya, gue suka. Cerianya nular. Capeknya ngajar terbayar sama tawa ceria anak-anak. Apalagi kalau pada pinter-pinter, gue yang bangga.” Harry menyeruput kopi lamat-lamat. “Lo sendiri gimana? Pasti seru ya main sama Yasa terus.” Harry geleng kepala. “Gue gak jago main sama anak-anak. Capek. Nguras energi.” Sera tidak bisa menahan tawa melihat Harry mengurut tulang hidungnya walau hanya karena membayangkan bermain bersama anak-anak yang katanya menguras energi itu. “Padahal Yasa salah satu anak yang gak banyak berisik, lho.” “Yasa? Gak berisik?” “Hahaha… paham-paham. Yasa emang punya porsi imajinasi yang cukup luas.” “Terakhir kali gue adu mulut sama itu anak juga habis rambut gue diacak-acak cuma karena penampilan gue ingetin dia sama monster di mimpinya. Halu.” Ternyata Harry bawel juga, pikir Sera. Melihat bagaimana bibir tebal Harry terkelepai ke bawah akibat ocehan penuh amarah itu membuat Sera terpingkal. “Hahahaha—,” “Shhh… nanti dia kebangun.” Kali ini Sera yang mulutnya dibekap tangan Harry. Aroma manis dari kulit Harry membuat Sera merutuk diri membayangkan bagaimana aroma lengket lem dari slime mungkin jadi impresi Harry sewaktu tangannya meraup wajah kecil itu tadi. “Hmpph—” “Tenang…,” ujar Harry sembari meregangkan bekapan pada mulut Sera. Sidik jari Harry pelan-pelan bersentuhan dengan kulit muka Sera, bermaksud ingin lepas. Tapi pikiran impulsif Harry seakan mendorong dirinya untuk terus maju hingga jemarinya tahu-tahu sudah menggerayangi bibir Sera dengan usapan kecil gesek kiri dan kanan. Sementara yang dijamah hanya bisa tertegun menelan ludah sebab nyawanya sudah melayang entah kemana. YA IYALAH, NGAPAIN COBA? Sera melongo sekonyong-konyong. “Gue,” Harry bersuara namun jiwa Sera sudah di nirwana. “Terlalu antagonis, ya?” lanjut Harry lagi yang menjatuhkan Sera kembali menapak ke bumi karena pertanyaan barusan terdengar cukup ganjil. “H-hah?” Wajar apabila Sera terengah-engah akibat alih topik mendadak—juga sentuhan seenaknya barusan. Harry merapatkan duduknya hingga lututnya bertemu lutut Sera. “Apa itu alasan Yasa benci sama gue? Karena gue jahat.” cicitnya berbisik. “Semua tentang lo yang gue pernah dengar dari Yasa selalu oponen.” “Berarti, benar. Gue jahat. Memang kalau dari sudut pandang anak-anak orang dewasa selalu jadi yang jahat. Gak tau aja lebih ngerepotin siapa. Antar-jemput. Temenin makan, main, belanja. Ladenin agenda main peran, polisi-polisian lah, rumah-rumahan lah, perang lah, apalah.” Harry mengeluarkan uneg-uneg dalam satu tarikan napas pada bisik-bisik penuh emosinya. Matanya lucu berlarian kesana kemari, bibirnya sibuk komat-kamit, dadanya naik turun gak kalah semangat. Tapi menurut Sera bukan marah yang terpancar dari dialognya, melainkan rasa sayang. Hampir saja tawa Sera lolos dari tenggorokan tapi dia segera mengurung niat dengan geleng kepala, “Harry, coba kesini.” Habis sudah jarak di antara mereka. Harry dan Sera. Pipi satu sama lain mulai memerah serta ditandai rasa hangat mengalir di kedua bongkah pipinya masing-masing. Posisi bibir nyaris saling bersentuhan, napas bersahutan, dorongan hati sampai di puncak, “Harry baik.” Mata Harry berkedip-kedip entah berapa kali. Tubuhnya mundur mengambil jarak dari Sera. Sama halnya Sera yang pelan-pelan menjauhkan tubuhnya dari wajah Harry lantas membuat darahnya kembali mengalir seperti seharusnya. “Lo sayang sama Yasa, Harry.” Harry kaku tanpa suara. “Yasa butuh Uncle Harry sebagai villain dalam cerita kehidupan Yasa, Koh. Selalu jadi antagonis, ya?” Suara Yasa. Yasa yang dari tadi sudah terbangun garuk kepala kemudian menguap kembali menjatuhkan kepala di atas sofa. “Hahaha…” “Hahaha…” Harry dan Sera tertawa untuk kesekian kalinya. “Tuh! Dengerin kata si kecil.” “HEH. Malah balik tidur. Ambil tasnya. Ayo bangun-bangun, pulang!” “Ngantttuuuukkkk… balik cium Teacher Sera aja gih sana.” “Yasa!” “Yasa!” Untuk pertama kalinya Harry membiarkan dirinya terbawa arus, tidak lagi berjaga-jaga, jauh dari kata hati-hati. Ada perasaan ringan yang kerap muncul setiap Harry menemukan Sera tertawa dengan ceria. Harry ingin punya perasaan ini untuk waktu yang lama. *** Frekuensi pertemuan Sera dan Harry kian signifikan. Kehadiran Harry tumbuh di sela-sela istirahat Sera, sementara Sera selalu ada di sela-sela kesibukan Harry. Konversasi jadi jeda dari hiruk pikuk dunia dan segala tanggungan yang harus dipikul. Usai berhasil melewati hari sibuk yang terasa amat panjang lalu menghilangkan penat dengan duduk di beranda rumah Sera sambil memandang langit malam menjadi opsi paling nyaman. “Ngelamun, Pak?” “Sini.” Harry tepuk lantai di sebelah duduknya menepis debu kemudian mempersilahkan Sera bergabung bersamanya. Perempuan itu melangkah hati-hati dengan secangkir kopi di tangan. “Memangnya dapet apa kalau setiap burnout larinya kesini?” tanya Sera, sarkas. “Secangkir kopi dan senyuman manis.” “Yeh, gue siram pake kopi lo ya!” Dan selanjutnya, tawa bergaduh jadi satu—situasi yang baru terasa familiar akhir-akhir ini. “Rumah lo amburadul.” “Muka lo kusut.” “Memang sibuk atau malas bersih-bersih aja?” “Malas.” “Jorok.” “Bodo.” Harry terkekeh. “Malah ketawa. Mana ringtone alarm agenda harian lo yang kayak sirine kebakaran itu? Tumben gak bunyi.” “Lagi malas.” “Tumben?” “Udah lama malasnya, sejak kesini jadi sering malas.” “Maaf deh kalau rumah gue terlalu nyaman.” “Iya, nyaman.” Sera diam, matanya memandang ke atas langit malam berhamburan bintang. “Gimana hari ini? Kerjaan lancar?” “Lancar.” “Gak ada hal yang mengganggu?” “Kenapa?” “Biasanya lo ngomel-ngomel soal kerjaan atau hal-hal yang gak sesuai agenda harian yang udah lo organisir itu.” Menurut Harry, kepekaan Sera jadi hal paling atraktif sehingga dia tak bisa lepas dari gempitanya. "Harry, kenapa lo selalu kelihatan kosong?" tanya Sera tiba-tiba. Sera menyambar kedua tangan Harry membuka masing-masing telapak tangan lalu jarinya terulur menelusuri garis-garis di telapak seolah mencari cerita dibaliknya. “Ngapain?” ujar Harry. “Maksud gue, gue gak masalah sama protes marah-marah lo setiap mampir kesini. Gue pun suka lihat lo ada di puncak amarah sampai muka merah. Gue ngerti lo cuma lagi cari pelarian dari kesibukan pekerjaan dengan cara cari angin disini.” Bukan cuma Harry yang suka evaluasi ujung kepala hingga ujung kaki, Sera juga punya mata. Pemandangan Harry dengan rambut acak-acakan dan kemeja kusut mencuat keluar dari balik celana jadi makanan sehari-hari Sera. Mungkin Harry tidak sadar bahwa kebiasaan mencantolkan dasi di gagang pintu, berjalan mencak-mencak dengan segala jenis sumpah serapah keluar dari mulut, melempar asal telepon genggam yang sudah mati total ke sofa, lalu mendudukkan pantat di lantai beranda rumah Sera jadi urutan rutinitas Harry setiap kali dia berkunjung. Berulang, semuanya itu Sera tertawakan seiring menyeduh air panas untuk dituang pada bubuk kopi yang sekiranya bisa mengembalikan suasana hati Harry. Sera gak ambil pusing. Tapi, rasa ingin tahu kian menumpuk. “Setiap duduk di sini tatapan mata lo kosong, Harry.” Harry bungkam. Dia tidak tahu harus berkata apa. “Mungkin lo perlu belajar cari kebahagiaan-kebahagiaan kecil supaya jadi lebih hidup.” lanjut Sera lagi. Harry tertegun tenggelam dalam pikirannya sendiri sementara Sera masih asik menggores telunjuknya pada gari telapak tangan Harry. Harry adalah kelabu. Sera adalah rona. Seharusnya mengunjungi rumah kecil yang isinya didominasi warna pastel dan bercengkrama bersama pemiliknya yang adalah seorang guru dengan topik obrolan semarak cerah ceria kanak-kanak menjadi hal yang paling bertentangan dengan hitam dan putih Harry. Tapi, Sera adalah rona. Sera terbuka terhadap semua jenis warna. Jadi, berpulang ke rumah Sera dan menutup hari dengan kopi buatannya membuat Harry merasa seolah dipeluk hangat tanpa merasa bersalah. Karena Sera hanya akan tertawa ketika Harry ngomel-ngomel juga Sera akan ikut diam ketika Harry terduduk melamun tanpa nyawa. Sera selalu mengerti cara menemani. “Dapat kesimpulan dari mana? Kalau gue gak bahagia?” tanya Harry penasaran. Sera tersenyum lembut dan jarinya menekan telapak tangan Harry. “Dari sini.” Harry mengerutkan dahi kebingungan. “Gue ini bisa baca garis tangan, lho.” “Bohong.” “Beneran! Lihat ya…” Sera masih aktif menelusuri garis tangan Harry dengan telunjuknya. “Coba sini menurut penglihatan Teacher Sera…,” Sera menutup mata dan tangannya yang satunya bebas menerawang di udara memparodikan peramal ahli. “Garis hidup lo terlihat kuat. Lo orang yang pantang menyerah, ya. Hm… Iya… Iya… Setiap garis seakan berputar, melengkung, tapi tidak pernah patah." Harry tertawa kecil mulai merasa semuanya tak masuk akal. “Gak percaya beginian, tapi okelah. Lanjut, lanjut.” “Percintaan… Hm, menarik. Garis ini panjang, berkelok, dan terlihat penuh makna. Cinta yang kuat, tak mudah terbalik.” “Hahahaha… konyol sumpah.” “Coba kita baca peruntungan finansial ya…” “Udah, udah. Stop. Hahaha…. geli….” jadilah tangan Harry digelitik jari jemari iseng Sera. Harry yakin rasa hangat yang diam-diam melingkupi jantung hatinya itu tidak bisa sembarang ditafsirkan. Harry sadar bahwa denyut debar itu harus dirawat waspada. Di sisi lain, Sera menikmati tatapan teduh dari bola mata Harry. Tanpa banyak pikir. Tanpa banyak tanya. Tanpa banyak ragu. Tapi, sama-sama tahu aja juga gak cukup. “Jadi, kebahagiaan kecil macam apa yang harus gue punya?” tembak Harry lagi. “Mungkin lo udah punya kebahagiaan itu dan udah waktunya untuk lo sadar dan berserah merasakannya.” “Lo… kenapa bisa tahu lebih banyak soal gue melebihi diri gue sendiri?” “Karena gue lebih suka melihat segala sisi pakai hati.” Harry memandangnya, merasakan kehangatan dari kata-kata Sera. Sederhana, tetapi ada sesuatu yang mulai berdesir di dalam diri Harry. Harry suka terkungkung dalam keteraturan yang kaku dan monoton. Bukan karena dia tidak ingin merasakan kebahagiaan, tetapi karena dia selalu merasa tidak cukup layak untuk merasakannya. Sementara Sera selalu bersama senyum cerah yang Harry tidak pernah kira akan ada dalam jangkauan. Kacau. Segala cermat dan saksama dalam hidupnya jadi kacau karena duduk santai di rumah Sera kini jadi paling tinggi kepentingannya melebihi hitam dan putih. Harry menatap cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. "Gue hidup." Harry menarik napas dalam-dalam. "Gue hidup melalui gusar dan sunyi. Iya, walau memang asalnya dari marah-marah gak jelas atau bahkan lamunan kosong. Tapi, gue hidup.” Sera terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Serius amat? Ini kita masih parodi Mama Lauren, kah?” “Enggak.” “Maksudnya, gue juga udah menemukan kebahagiaan kecil itu.” Harry memantapkan hati, Sera siap mendengarkan. “Kalau sentimen-sentimen berlebihan bisa gue anggap hidup. Maka, menerima dan membuka diri jadi kebahagiaan kecil yang boleh gue rasakan.” Sera mengangguk setuju. “Banyak, Harry. Gak cuma marah dan diam. Rasa sayang lo ke Yasa juga termasuk kebahagiaan kecil. Gue harap akan lebih banyak kecil-kecil yang menggunung di kehidupan lo, ya.” “Gak perlu banyak, rasanya terlalu muluk-muluk.” “Harry… ayolah… Bisa gak sekali aja jadi optimis—” “Lo salah satu dari kebahagiaan kecil itu.” “Hah?” “Iya, berekspresi, menerima diri, dan punya teman. Bahagia.” Sera tersenyum manis, "Gue senang dengarnya, Harry." Senyuman itu menimbulkan reaksi panas pada dada Harry. Rasa panas itu menjalar melalui saraf juga mengalir bersama darah mengitari peredaran tubuh Harry hingga titiknya berkumpul di kerongkongan. Panas. Mendesak ingin keluar. “Sera.” “Iya?” “Lo cantik.” Sera geleng kepala, “Biasa aja.” “Sera.” “Hm?” “Jadi bahagia gue selamanya ya, Sera.” Pelan-pelan kelabu dan rona melebur. *** Harry adalah kelabu. Sera adalah rona. Pelan-pelan kelabu dan rona melebur. Kontradiktif pula selaras. Sama halnya dengan situasi saat ini dimana bunyi alarm berdering keras namun pemiliknya tak kunjung bergegas, tak seperti biasanya. Harry tertidur pulas dalam pelukan Sera, semakin memperdalam benaman kepalanya ke dalam rengkuhan hangat sang puan. Sera jadi gak tega membangunkan lelapnya tapi akan lebih mengkhawatirkan lagi membayangkan betapa hancur hati Harry apabila skenario hidup dalam agenda ketat miliknya itu jadi berantakan. “Pak Harry…” ucapnya lembut. “Sudah waktunya kembali pada realita, Pak.” “Hm…” Harry bergumam. Mata sayu Harry, surai hitam legam acak-acakan, juga senyum manisnya menyambut Sera yang lebih dulu terbangun akibat silau matahari menembus dari jendela. “Alarm lo bunyi, tapi notifikasinya kosong. Hari ini gak ada meeting, ya?” Harry mengangguk cemberut, malah semakin masuk lebih lekat dalam dekapan Sera. “Istirahat, Harry. Hari ini disini sama gue.” “Ng…gak. Gue harus ke kantor.” “Badan lo gatal-gatal ya kalau gak taat sama agenda harian lo yang super strict itu?” dengus Sera. Lantas kepala Harry menyembul keluar, lalu ia menyipitkan mata ke arah Sera. “Iya.” balas Harry. Semenjak debar-debar tanpa arah waktu demi waktu Harry dan Sera habiskan bersama. Bagi Harry, Sera seperti tongkat yang membantu Harry temukan kebahagiaan pada tiap langkahnya. Setiap kali Harry goyah dia siap memantapkan langkah apabila Sera ada dalam genggamannya. Maka eksistensi Sera jadi hal paling mutlak dalam hidup Harry. Kunjungan setiap akhir pekan itu terus berulang jadi warna baru dalam agenda Harry. Tadinya satu warna merah jambu mencolok sebagai jadwal antar-jemput keponakan, kini jadi bertambah warna cerah lainnya yang diisi dengan berbagai kegiatan bersama Sera. Tidak lagi secangkir kopi hitam, seluruh rumah pun jadi saksi tatap teduh penuh kasih hingga salah tingkah malu-malu dua anak manusia. Banyak rona warna terpancar dari seluruh tubuh Harry dan perlahan mulai meniti bahagianya. “Pinggiran rotinya mau di potong sekalian?” “Gak usah.” “Tumben.” “Gak usah sarapan. Gue gak suka telat.” “Logikanya aneh, justru gak sarapan bakalan ganggu fokus nanti.” Harry berhenti bergerak di tengah memakai kaos menilik Sera dari kerah yang menyakut di kepala lalu menghela napas berat. “Ok. Sarapan.” “Selamat makan tuan muda.” “Maaf ngerepotin.” “Gak, kok. Gue suka lihat lo makan.” Harry geleng kepala, “Betul-betul skill ibu guru patut diacungi jempol.” “Penuh kasih sayang, ya?” “Iya.” angguk Harry. Seolah tidak ada organ yang beresonansi tidak karuan di balik rusuk. “Kemejanya mana?” “Udah di mobil—sebentar. Sinian, bibir lo—ada selai. Nah, beres.” “Thankyouuu…” Siapapun bisa mengira yang barusan reka adegan pasangan suami istri baru menikah. Keduanya sadar akan hal itu—hal soal kasih dan sayang, Sera sangat peka dan Harry tidak mau terbuai hingga larut. “Gue…” “Gue…” Serentak. “Lo duluan.” “Lo duluan.” Lagi. “Hahahaha…” “Hahahaha…” Apalagi yang kurang kalau sudah sebahagia ini. Akhirnya Harry yang lebih dulu buka suara tak mau menunggu lebih lama, “Boleh pakai aku-kamu, gak? Aku lebih suka kamu-kamu.” Sera melongo. “H-hah? Kenapa tiba-tiba banget? Tapi… kayak sama siapa aja, deh. Ha-ha-ha.” ketara tawanya terpaksa, jelas kaku begitu. Harry tersenyum miring mulai gusar akan respon Sera. “Nevermind.” Ah, malah ciut. Merdu tawa dan aroma manis mendadak lenyap ditelan sunyi. Keduanya fokus melahap roti dalam diam. Namun hatinya berisik merutuki tingkah masing-masing. Padahal, kesamaan paling signifikan antara Harry dan Sera adalah mereka tipe orang yang tidak pandai berbasa-basi dan cenderung apa adanya. Namun entah malu atau ragu apapun itu jelas mampu menggoyahkan keberanian. Jadi, sebelum Sera buru-buru berpindah topik lalu mengembalikan alat makan pada tempatnya berakhir kembali tidur ke atas kasur membiarkan Harry mengejar kelabunya, Harry bulatkan tekad walau kepepet. “Siapa?” tangan Harry menarik lengan Sera memaksanya kembali duduk. “A-apa? Apanya?” “Memangnya kayak sama siapa? Gue ini siapanya lo?” tembak Harry lagi, kali ini hujamannya jauh lebih menusuk karena Sera jadi diam membatu. “G-gue… Gak tahu harus jawab apa. Gue gak tahu harus respon gimana. Lo—kenapa nanya begitu, sih?” “Kamu, gak suka?” “Apanya?” “Aku-kamu. Aku mau aku-kamu.” “Y-ya… gak masalah. Tapi alasannya apa? Maksudnya gue gak pernah—aduh gue ngomong apa, sih? Maaf. Maaf. Udah jam berapa, mending lo buruan berangkat sekarang udah jam berapa—” Sera habis kewalahan. Cengkram erat jemari Harry jadi cara Harry menyembunyikan gugup. “Makasih, Sera.” Sera menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. Harry menggenggam tangan Sera dengan lembut. "Aku yang kelabu dikasih kesempatan ketemu kamu yang selalu hidup penuh warna. Kamu gak segan-segan bagi bahagiamu supaya aku bisa rasakan hal yang gak pernah aku rasa." Harry berhenti, mencoba mengungkapkan apa yang terasa begitu sulit diucapkan. Cengkramannya melonggar, bahunya melengos akibat hela napas. Mulai paham arah bicara Harry, Sera tarik lagi kedua tangan Harry dalam genggamannya. "Aku bukan satu-satunya di dunia yang hidup penuh warna," ucap Sera, tersenyum lembut. ] "Setiap orang punya cara sendiri untuk menemukan kebahagiaan. Bahkan kalau kamu merasa kelabu, bukan berarti kamu gak bisa beri warna pada dunia. Setiap orang punya warna, Harry. Gak harus cerah, gak harus terang. Kamu salah satu bagian dari warna yang gak terlihat. Dan itu sudah cukup." Sera tidak pernah memaksa Harry untuk menjadi sesuatu yang dia bukan. Justru, Sera memberi ruang baginya untuk menjadi dirinya sendiri, dengan segala gelap dan gulita yang ada dalam dirinya. “Bahagia kecil-kecil asal dirasa satu-satu. Kamu udah cukup.” "Jadi, bahagia sama-sama aku, ya?" tanya Harry pelan, matanya mencari jawaban di mata Sera. “Bahagianya bentuk apa. Yang jelas. Pacar? Istri?” “Nanti kamu panik.” “OK. Sekarang pergi ke kantor dan kejar bahagia kamu yang adalah tercatat di agenda.” Menjadi kelabu bukanlah salah. Dunia ini penuh warna, kelabu salah satunya. Bersama Sera, Harry belajar bahwa cinta dan kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus ditemukan dengan cara yang cerah dan penuh kegembiraan. Terkadang, kebahagiaan itu datang ketika kita menerima diri apa adanya. “Hari ini akhir pekan. Harinya bahagia sama kamu.” Harry mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya bertemu bibir mungil Sera lalu dibawa dalam lumatan yang dikabulkan Sera bersama gigit-gitit kecil. Selaras. Hari demi hari, langkah demi langkah, demi mencari bahagia-bahagia kecil. Kelabu dan rona melebur. Bersama Sera, Harry hidup. Bahagia.

Gunameng Balikan

meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow meow

ME-OW

Aji dan Rara

Salah satu mitos tentang cinta yang sulit diterima ialah bahwa ia terdefinisi sebagai emosi yang tidak masuk akal. Setidaknya begitu bagi Rara. Perempuan berdarah Indonesia-Jepang itu sedari kecil paling anti dengan yang namanya cinta. Baginya, hal paling relevan di dunia ini adalah hukum sebab-akibat. Sebab cinta yang terlalu diagungkan itu akibatnya banyak manusia yang buta. Sebab cinta yang tak jelas konsepnya itu akibatnya banyak hati yang sakit sampai rawat jalan. Sebab baik kata maupun rasa perihal cinta itu selalu punya akibat yang entah kenapa luar biasa berpengaruh buruk. Besar kemungkinan karena lingkungannya yang tidak familiar dengan kata paling tidak konsisten itu. Dianggap tidak konsisten karena ia menyaksikan banyak perpisahan dan kedua orang tua sendiri yang menjadi alasan paling gadang. Maka ia simpulkan bahwa cinta itu tahayul, usianya tidak abadi, dan kehadirannya tidak masuk akal. “Menikah sama gue ya, Ra?” celetuk Aji kecil. “Goblok!” Rara melayangkan botol minum plastik hingga membentur tempurung kepala anak laki-laki yang sedang goleran di atas karpet. “Aduh?!” ia mengaduh kemudian menoleh mencari sumber sakitnya. Kamar Aji selalu menjadi tempat Rara untuk singgah dan meluapkan emosinya. Aji adalah sasaran utama Rara memuntahkan isi kepalanya karena Aji akan selalu menerimanya mentah-mentah. Seperti sekarang ini, di pentung pakai botol pun Aji hanya mengaduh. Posisi keduanya sedang goleran telentang di atas karpet, setelah kemudian saling berbaring menghadap satu sama lain karena Aji yang meringkuk kesakitan dan Rara berusaha menenangkannya dengan cara yang terbilang tidak biasa. “Menikah itu bohong. Cinta itu bohong. Lo mau berbohong, Ji?” omel Rara sambil mengusap ingus yang sudah berkerak di cuping hidung Aji. “M-Makasih, Ra.” cicit Aji akhirnya. Rara kesal sekali mendengar pengakuan sahabat kecilnya itu. Iya, Aji itu sahabat yang kecil, sahabat sedari lahir karena kedua orang tua saling mengenal, dan iya memang tubuhnya juga kecil telat pubertas mungkin. Ah, walau segitu sayang sama Aji sahabat kecil itu tak dapat menutupi rasa kesal Rara. Pasalnya, keyakinan Rara perihal cinta rupanya dianggap sepele oleh Aji melalui pengakuannya barusan. Atau bisa dibilang sebuah permintaan? “Aji.” Rara memberi penekanan dalam melafal nama sahabat tersayang itu. Ia meraup kedua pipi Aji kemudian menanamkan mantra, “Cinta itu gak nyata, Ji. Semua hal di dunia ini sifatnya fana. Lo paham gak maksud gue?” “Jadi, lo gak akan menikah sampai tua nanti, Ra?” bibir Aji mencuat akibat pipinya yang terapit telapak tangan Rara. “Betul! Sampai mati gue gak akan percaya sama cinta.” “Terus, nanti yang jagain lo kalau udah oma-oma siapa, Ra?” “Gue ke panti jompo.” “Gak akan ada Prince Charming di sisi lo seumur hidup?” “Aji, Prince Charming itu cuma bualan orang dewasa untuk ngibulin anak-anak kayak kita.” Berlagak dewasa. Paling paham soal cinta. “Gak takut sepi?” “Ngapain takut? Gue kan punya lo, Ji. Kita akan selalu sama-sama selamanya.” ujar Rara enteng. “Kalau gitu menikah sama gue aja, Ra. Gue jagain lo sampai tua nanti.” Rara memicingkan mata mendapati wajah Aji yang entah kenapa terlihat tenang dan meneliti raut polos anak laki-laki itu membuatnya merasa damai. Picingan mata Rara perlahan meredam, tanpa ia sadari ada satu benteng pertahanan yang ambruk. “Kita nikah umur berapa?” perempuan itu terduduk kemudian melipat tangan di dada. Rara menyanggupi ajakan Aji, mantap. “Nanti, kalau sudah besar, ketika lo lelah menyangkal betapa gak masuk akal cinta itu dan berusaha untuk terus membenci kehadirannya. Ketika seisi dunia memaksa lo untuk mempercayai tahayul itu. Gue akan ada di sisi lo, meski dalam situasi paling lo benci sekalipun.” Rara diam seribu bahasa. Ia optimis mengumpulkan puing-puing yang barusan ambruk lantaran kalimat naif dari Aji. Memantapkan hati untuk kembali mempertahankan benteng paling aman. “Halah, cinta itu tahayul! Seumur hidup gue gak akan pernah percaya cinta!” ujar Rara sambil menunjuk langit-langit kamar menggunakan raket badminton di kepalan tangan milik sahabatnya, Aji. Entah dapat darimana. Kelihatan sekali usahanya mengalihkan topik. “Eh, nanti rusak, Ra. Siniin punya gue!” Aji menarik paksa raket badminton kesayangannya dari pelukan Rara. Terlalu erat membuat Aji hampir terjungkal karena tenaga tariknya tidak lebih besar dari pertahanan Rara. “Ra… rusak, loh.” “Dih, pelit amat sih, lo?!” protes Rara. “Gue kan udah bilang tadi kalau gue ini lagi sakit perut. Gue kesini buat ngobrol dan ngelepasin semua perasaan sedih di hati gue.” Rara maju bersiap menyerang dengan mencubit pipi Aji “Lo sebagai sahabat gue itu mestinya paham kalau gue lagi sedih dan pengen di dengar.” ujar Rara sambil menarik kulit pipi Aji semakin lebar memperlihatkan barisan gigi rapinya. “Eugh, Ra, Sakit…,” “Timbang raket doang? Ji? Raket badminton lo yang gak seberapa ini?” “Iya, maaf, lepashh dulleughhh…,” Aji masih berusaha berkomunikasi. “Yaudah, gue pulang!” Rara hendak beranjak dari duduknya sebelum ia merasa hangat menjalar dari pergelangan tangan dan juga paha dalamnya. Pastinya hangat di lengan karena ditahan oleh Aji. Namun, apa yang mengalir di antara kedua paha? “Ra, berdarah…,” “Hah? Apanya?” “Bokong lo… ada darahnya— KARPET GUE JUGA ADA DARAHNYA!” Rara dan Aji menoleh ke arah karpet tempat mereka goleran tadi, kemudian netra mereka bertemu satu sama lain. Lalu, “AAAAA TELEPON AMBULANS!” Dua remaja hormonal yang tidak tahu apa-apa soal cinta.
***

Kini kita tiba pada masa dimana Aji kecil sudah tidak lagi kecil. Entah kapan tepatnya tubuh Aji mendadak besar seperti raksasa dan ototnya menyembul dari balik seragam putih abu. Tingginya sudah jauh di atas pucuk kepala Rara.

Begitu pula Rara yang dulunya punya hobby bermain bola mendadak suka berdandan dan kerap menyapukan gincu di bibirnya setiap menit. Oh, soal obsesi Rara dengan cinta pun dulunya kokoh tapi kini ikutan mendadak mulai inkonsisten.

Dunia berotasi tanpa satu orang pun tahu apa rencananya.

“Udah, Ra. Ini pertanda bagus, lo dibukakan matanya supaya gak lama-lama pacaran sama cowok gak jelas.”

“Gue gak percaya cinta, Ji!”

Dialog antara dua sekawan tersebut muncul berdesakan dengan pekik klakson di tengah macet jalan Jakarta.

Aji dan Rara terjebak macet. Kalau kata Aji ini semua ulah Rara yang mendadak ingin ditemani ke event cosplay. Agenda kejar-kejaran foto bareng karakter anime sore itu sangat menguras energi dan ternyata memakan waktu cukup lama juga. Akhirnya, matahari sudah tenggelam tapi mereka berdua masih mengenakan seragam putih abu dan hanya bisa adu mulut di dalam mobil.

“Lo ngomong gak percaya cinta udah ratusan kali di tiap akhir hubungan yang berbeda-beda.”

“Emangnya apa kurangnya gue sih, Ji? Udah gue bolehin cium bibir gue juga masih aja demen nyariin cewek lain. Gue juga bisa kali cipokan sama anak kelas sebelah. Eh anjing kok orang pada gak maju-maju sih? Udah tau macet goblok dah!” pertanyaan dan protes saling menimpali sebagai respon Rara terhadap pernyataan Aji yang menyebalkan itu.

Menurut pengakuan Rara sih, dirinya gak pernah lupa soal prinsipnya yang tidak percaya cinta itu. Memangnya ia berpacaran dengan laki-laki ada artinya? Enggak. Sekadar buat seru-seruan aja.

Lalu disinilah Aji dengan muka yang kepalang kesal berusaha mendikte tindakan Rara.

“Memangnya lo gimana sama pacar lo? Baik-baik aja kan, Ji?”

“Dua hari lalu dia minta putus.” ucap Aji sembari membenarkan posisi kacamatanya yang aslinya tidak kenapa-kenapa itu. Kaku.

“Demi apa, Ji? Tuh, kan! Gue benar-benar gak percaya cinta!”

“Hahaha… gue sendiri bingung, sih. Gak berani deklarasi apa-apa. Gak ikut-ikutan.”

Apabila ditelaah dari dialog Aji, terdengar jelas bahwa ia punya konsep yang bertolak belakang dengan pemikiran Rara. Meskipun Aji bukan pribadi yang sudi repot-repot dalam urusan asmara, ia tidak mau bermain-main soal cinta, entah itu dalam bentuk sumpah serapah, maupun dalam bentuk tindakan seperti komitmen.

Makanya, Aji betulan bingung akan mulut Rara yang selalu berani mendeklarasikan hal yang selalu Rara anggap sepele itu.

“Ra, dulu waktu lo SMP diputusin si Reza juga lo ngomong hal yang sama dan seminggu kemudian udah pacaran lagi sama si Taufan.”

“Lah? Daripada elo? Dari SMP sampai SMA sama aja bolak balik putus nyambung sama si Sinbi. Lo beneran butuh psikolog, Ji!”

“Gue ngebosenin, Ra. Sinbi ngomong gitu.” memang sifat Aji yang cenderung cuek dan jarang peduli dengan lingkungan sekitar itu patut dipertanyakan.

“Hahaha…,”

“Ketawain aja terus, Ra. Lagian namanya juga remaja pacaran. Gak ada yang serius.”

Pasalnya, pribadi Aji sungguh segan untuk hal-hal romantis dan tak urung pula justru banyak menutup diri di saat seharusnya hubungan itu soal berbagi.

Begitu pula dengan Rara,

“Heh! Gue itu paling tau lo, Ji. Gue ini saksi kehidupan lo yang biasa-biasa aja itu. Gue kenal baik diri lo yang selalu lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan dengan nilai-nilai yang diidamkan sejuta mertua di dunia ini lo bisa dicampakkan perempuan gitu aja, Ji?”

“Ya… gak dicampakkan juga, Ra. Gue cuma—,”

“Shhh, gue ngerti. Cinta itu memang rumit. Sebaiknya jangan lagi percaya cinta.”

“Ya… ya… ya… Gue mendapat petuah dari cewek yang baru saja di selingkuhi pacarnya dan selingkuhannya adalah sahabatnya sendiri.”

“Anjing malah diingetin lagi. Lo tuh–Aji… Ih… Lo–Tega ya…” sebelum Rara dapat menyelesaikan kalimatnya segera dipotong Aji yang mulai sibuk mengusap air mata dan maskara di pipi Rara.

“Ra? Nangis lagi— Hhhhh, sorry… Sorry. Sorry.”

Malam yang semakin larut menjadi saksi dua insan yang masih bodoh soal cinta.

***

Aji. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi dengan jurusan Jurnalistik sebagai konsentrasinya kemudian lanjut bekerja dalam Industri Pers sebagai Wartawan merangkap Fotografer membuat rekam jejak kehidupannya terdengar mulus. Belum lagi perawakannya yang kerap kali menjadi topik hangat dari rekan wanita yang tak bisa dihitung jari jumlahnya. Terdengar sempurna bukan?

Oh, tapi tunggu sampai orang luar tahu bagaimana susahnya meliput berita kesana kemari menerjang macet dan cuaca yang tidak kondusif. Belum lagi tambahan masalah dimana dirinya sering dijadikan tumbal model sukarela baik dalam pemotretan cetak kalender kantor hingga shooting video tiktok dalam rangka rekrutmen pegawai baru. (berusaha kabur 5 kali dan gagal kabur pula sebanyak 5 kali)

Aji adalah tipe manusia yang ramah dan hadirnya selalu berkesan. Ia suka memperhatikan sekitar, ia juga senang menjulurkan tangan apabila dibutuhkan. Presensinya ada dimana-mana, ia ada di hampir setiap gosip harian di kantornya, ia ada di bisikan-bisikan pujian tersembunyi baik dari balik suara di lift hingga di sela-sela sekat antar kursi dan meja di gedung kantor. Bahkan namanya juga kerap kali muncul dalam obrolan pagi tetangga kiri dan kanan. Isi dari semuanya itu sama, berharap ingin memiliki Aji.

Namun, Aji terlalu acuh akan hal-hal merepotkan seputar romansa. Ia tak peduli akan hati yang kerap berharap lebih kepadanya. Toh, bukan urusan Aji?

Ada terlalu banyak poin dalam to do list di buku agendanya untuk di ceklis, sehingga membangun hubungan dengan komitmen adalah hal terakhir yang ada di pikirannya.

Satu-satunya hiburan dalam hidup Aji yang monoton adalah Rara. Sahabat perempuannya sejak dari baru lahir.

Rara dengan hidup bak roller coaster, ia dinamis. Namun ada satu hal yang sudah mutlak dan semua orang sudah tahu pasti apa itu.

Rara tidak percaya cinta.

Rara adalah manusia paling dinamis yang pernah Aji kenal. Pekerja kreatif yang lucunya selalu berusaha berpikir rasional. Bagi Rara nalar adalah nomor satu dan tidak ada lagi setelahnya. Kalimat barusan diketik bukan tanpa bukti. Nyatanya Aji adalah saksi bagaimana Rara si pekerja kreatif lulusan Desain Komunikasi Visual yang kini berprofesi sebagai Ilustrator di salah satu perusahaan swasta yang sesekali gambar komisi sebagai kerja sambil itu justru cenderung bergantung pada logika dan sangat objektif dalam berpikir.

Hal yang paling mudah diingat adalah bagaimana Rara yang berparas bak bidadari itu sedari SMP sudah banjir surat cinta yang terus ia koreksi bagian tata penulisannya, atau kalau suasana hatinya sedang jelek, surat-surat cinta itu justru akan dijadikan alas garis gambar sketsa anime telanjang.

Sampai SMA pun beberapa kali pacaran hanya untuk bermain-main tanpa melibatkan perasaan sama sekali. Aneh, tapi begitulah adanya.

Ya, tidak ada romansa dalam kamus Rara.

Serupa dan satu pikir dalam menanggapi dilema cinta, keduanya ogah repot-repot untuk berkomitmen perihal cinta. Dalam paham mereka berdua bahwa cinta itu rumit dan pelik serta butuh tenaga lebih untuk dirawat.

“Hoi!”

Aji memergoki Rara yang tengah asik membaca komik bergambar, kalau kata Rara namanya manga.

“Ganteng banget yang habis photoshoot. Pacar siapa, sih? Pacar gue!”

“Diem!” Aji menepis gelitikan tangan Rara dari dagunya.

“Hahaha gimana rasanya jadi Brand Ambassador dadakan Ji?”

“Foto sama seblak doang.”

“Loh, mau apapun bentuk usaha dan bisnisnya gak boleh underestimate. Bagus loh jadi model produk lokal.”

“Hhh, gak tau deh. Gue cuma melotot aja di setiap potret yang diambil. Semoga bisa bantu bisnis rintisan anak-anak deh.”

“Hahaha kocak banget ya anak Intern sekarang. Pada kreatif dan berani!”

“Eunseok sama Heeseung lagi suntuk mikirin gaji kecil tapi keinginan punya honda beat walau nyicil. Bisnis seblak kehitung kreatif dan berani memang.”

“Oh, yang itu pernah DM gue di instagram.”

“Siapa?!”

“Hahahah santai aja kali. Galak amat senior.”

“Siapa yang DM lo? Kok bisa?”

“Waktu kita nonton di bioskop minggu lalu. Lo mention gue kan di Instagram? Nah, itu bocah yang Heeseung itu DM gue. Hahahaha… brondong sekarang nyalinya gede juga.”

“Ok.” raut wajah Aji kini lebih kaku dari kanebo kering.

“Ok apanya woi? Gak usah di marahin anaknya. Cuma kenalan doang.”

“Lancang banget.”

“Elah, kayak sama siapa aja, anjing.”

Mungkin cemburu. Ah, tidak ada yang tahu.

Bertahun-tahun hidup beriringan membuat dua anak manusia ini saling memantulkan sifat satu sama lain. Sama-sama gak jelas maksudnya. Tapi entah kenapa malah cocok jadi saling melengkapi.

“Yaudah, iya. Terus ini jadi Comifuro-nya?”

“Sebentar,” Rara merogoh ransel hitam berukuran jumbo yang dari tadi bersembunyi di bawah kursi. “Tada! Ini dia kostum gue!”

“Kenapa kostum lo selalu gak sopan?”

“Masalah? Situ siapa?”

“Calon suami. Lupa?”

Rara tahu konteks omongan Aji pasti soal janji menikah waktu kecil dulu. Masih, selalu, dan akan terus dibahas. Rara tidak protes.

“Ye, bacot.”

Bacot. Tapi ada semburat merah yang pelan-pelan menyeruak di pipi.

“Sebagai gantinya temenin gue liputan besok.”

“Ngapain anjir?”

“Besok ada demo, seperti biasa.”

“Ah, lo giliran liputan yang ribet dan makan waktu sehari penuh ngajaknya gue. Mana anak magang lo itu? Gak guna.”

Inilah kenapa petuah orang tua soal larangan makan sambil ngomong itu seharusnya diterapkan. Kalau tidak akan berakhir seperti Rara, bibirnya manyun dan belepotan bubuk gula putih dari donat.

“Ya justru makan waktu sehari penuh itu, artinya.. lo juga bebas memiliki gue sehari penuh lainnya. Dongak dikit, Ra—,” Aji berusaha membujuk Rara. Mulutnya sibuk merayu sementara tangannya bergerak membersihkan kotoran dari bibir sahabatnya.

“OH, yaudah. Hari ini gak kehitung loh ya!” Rara unjuk jari, mengancam.

“Ya meski gue udah nemenin ke acara jepang dari siang sampai sore terus malamnya mesti temenin nonton anime sebelum tidur, oke. Kita sepakati sehari penuh bersama itu.”

“Nah gitu, dong! Hehehehe…”

“Nye, nye, nye. Lo jangan mau diajak foto sama cowok yang mukanya gak meyakinkan gitu, Ra.”

“Deskripsikan muka ‘gak-meyakinkan’ itu.”

Lalu Aji menghabiskan seluruh nafasnya mendikte penampilan beberapa oknum wibu yang perawakannya menyebalkan (baginya). Mendengar segala protes yang justru terkesan seperti anak kecil tantrum itu membuat Rara hanya bisa senyam-senyum sendiri.

Rasa nyaman yang meliputi Aji dan Rara banyak dipengaruhi kesamaan-kesamaan. Keduanya tipe yang tidak banyak mulut lantaran sudah lama mengenal membuat mereka berdua mudah mengerti maksud satu sama lain tanpa banyak kompromi.

Aji dan Rara banyak menghabiskan waktu bersama dengan berbagai macam agenda. Kegiatan sepele seperti menonton anime hingga ketiduran di kamar sampai berkeliling kota meliput berita sebagai bahan topik unggahan Aji nanti. Sesekali pula Rara menemani Aji ke event seminar penulis indie favoritnya.

Aji suka menghabiskan waktu di apartemen Rara, disana tempat banyak hal bisa dilakukan. Walau lebih dominan mengutamakan kegiatan Rara, Aji suka dan tidak komplain.

Paling banyak juga diisi dengan membaca buku bersama. Biasanya Aji baca buku-buku sejarah terus duduk di lesehan bersandar pada kayu dipan, lalu Rara tepat di atasnya tiduran sembari membaca komik terjemahan jepang sambil sesekali cekikikan. Kemudian seisi kamar hening, hanya suara bolak-balik kertas yang bergema.

Ah, tentu saja sesekali diiringi celetukan asal-bunyi, “Serius amat. Baca buku porno ya, lo?!”

Pernah juga Aji menumpang tidur di sana, walau tentu saja diselingi urusan pekerjaan. Ia yang mengotak-atik laptop dengan beragam potret untuk dipilah dan segera di upload agar terbit di kolom berita esok. Juga Rara yang asik menggambar karikatur di ipad warna-warni mengusahakan menyelesaikan komisi kesekian.

Mungkin kedengarannya memang sangat tenang dan banyak diamnya.

Obrolan mereka juga bermacam-macam, si puan yang gemar bermain game dan punya ketertarikan tinggi terhadap segala hal berbau jepang, si tuan pula senang berbagi cerita soal permasalahan politik di portal berita hingga yang paling berbanding terbalik ialah bahasan soal acara televisi yang kebanyakan bergenre sitkom kesukaannya.

Tipikal hubungan yang dijaga dengan frekuensi komunikasi relatif rendah, lebih suka membunuh waktu dengan melakukan banyak hal bersama. Bagi mereka sebuah hubungan itu perlu banyak energi dan mereka terlalu malas untuk itu.

Untuk apa repot-repot sibuk mempercayai cinta apabila kehadiran satu sama lain begitu mudah dan terasa nyaman untuk dijalani. Begini saja. Selamanya.

Serupa tapi tak sama. Tak menyatu tapi berjalan beriringan.

Bahasa kasih antara mereka tak memakan energi yang banyak, cukup dengan presensi satu sama lain maka tanpa mereka sadari ada tahayul yang mengiringi mereka, biasa disebut cinta.

Rara terlanjur nyaman akan eksistensi Aji yang tak pernah absen dari kehidupannya itu. Rasanya ia ingin memiliki Aji selamanya.

Sampai suatu malam di kamar yang remang-remang, pada sela-sela konsentrasi menonton anime di balik selimut. “Ji, kalau sampai umur 30 kita berdua sama-sama belum ada yang menikah. Lo harus menikahi gue dan gue akan menikah sama lo. Kita wajib menikah. Gue gak mau sama yang lain.”

Aji hanya tersedak dan sudut bibirnya mulai naik.

“Gue gak bercanda?!”

“Shhh, iya, iya. Lanjut nontonnya, yuk!”

Aji menarik kepala Rara untuk bersandar pada bahunya. Rara turut mengistirahatkan kepala disana walau alisnya berkerut kebingungan.

Sayang sekali tidak ada saksi bagaimana senyum Aji merekah lebar. Tapi, dalam suasana seintens itu Rara masih bisa mendengar suara dentuman jantung yang sangat kencang. Entah itu jantung Aji atau Rara. Mereka yang tahu.

Kalau definisi cinta itu tidak masuk akal, bukankah artinya sama saja dengan apa yang Aji dan Rara parodikan saat ini?

Tidak masuk akal.

Sayangnya, ada satu manusia yang berharap, sangat. Sementara yang satunya sedang mencari cara untuk kabur dari perangkap yang ia pelihara sendiri.

***

Tokyo, Japan

Aji berlari sambil sesekali meniup kepalan tangannya sampai kemudian menimbulkan kepulan asap. Dari jauh ia bisa melihat Rara yang sudah terpingkal-pingkal memukul paha sambil menunjuk ke arah Aji, entah apa yang ia tertawakan. Aji tidak mau tahu. Tapi, Aji tahu pasti bahwa pemandangan yang netranya tangkap saat ini adalah panorama favoritnya.

“Hahaha… aduh. Aji, Aji. Jangan lari-lari nanti jatuh!” teriak Rara.

Tak ingin merugi, Rara buru-buru mengeluarkan gawainya dan otomatis menekan tombol rekam demi mengabadikan momen luntang-lantung sahabatnya, Aji.

“Ra! Udah lah gak perlu video segala!”

“Dokumentasi pribadi, Ji. Hahaha… coba melet, deh! Sini ke arah kamera! GOBLOK! HAHAHAHA!”

Mungkin dunia sebentar lagi akan hancur. Pernyataan itu rasanya tidak berlebihan apabila melihat Aji yang biasanya kaku dan serius kini berlarian sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan jarinya mengacungkan tanda V turuti perintah sahabat perempuannya yang sebenarnya sudah setengah gila.

“Udah… Please, Udahan! Perut gue keram capek ketawa… Hahaha… Aji!” Rara terbahak sambil jongkok memegangi perutnya pertanda dirinya sudah tidak bisa menahan geli dan dialog barusan bermaksud serius.

“Hahaha… Ra. Hadeh, sinian deh duduknya.”

Aji dan Rara jatuh terduduk di bangku kayu dan bahu mereka bersandar pada pagar tembok di sisi sebelah kanan gedung coffee shop yang baru saja mereka singgahi.

“Apa gak mending kita masuk ke dalam lagi aja, Ji?”

“Kita udah duduk 3 jam disana dan cuma pesan satu menu bagi dua. Terus di usir pakai bahasa jepang yang aksennya kedengaran kental dan jauh dari apa yang gue dengar di anime itu udah kayak di sumpahin dengan kalimat kotor dan lo masih menyarankan untuk masuk lagi ke dalam coffee shop dengan kursi kayu yang bikin pantat ngilu itu? MIKIR RA!” Aji ngerap.

“Hahahaha itu dialek kansai! Lebay ah lo kayak gak pernah diusir dari cafe aja.”

“Ya memang gak pernah?”

“Hahahaha kocak! Ekspresi lo jelek, anjing.” dengan santai Rara mengacak muka Aji dengan telapak tangannya. Sementara yang diusilin hanya bisa tersenyum sebelum akhirnya mencoba membuka mulut dan mencoba menggigit telapak tangan Rara.

“Ih, jorok!”

Aji tersenyum.

“Gimana kuliah di Jepang, Ra?”

“Tiga jam ngobrol ngalor ngidul akhirnya lo buka topik soal ini juga.”

Rara sudah hampir satu tahun di Jepang. Sebab ia dengan arogan memaksakan diri untuk melanjutkan S2 yang ternyata ia lakukan dengan ogah-ogahan. Berakibat dirinya hanya hidup luntang-lantung di negara matahari terbit. Pengakuan Rara selama ini ia bahagia karena merasa benar-benar hidup di dunia anime idamannya. Seringkali ia mengirim foto aktivitas jalan-jalan di berbagai sudut kota yang ada bau animenya. Rara mengaku bahagia.

Tapi Aji tahu segalanya. Ia paling banyak tahu dan peduli soal Rara.

Sebenarnya sekuat apapun ikatan batin antara Aji dan Rara gak mengharuskan Aji repot-repot mampir ke Jepang demi menginsafkan pikiran Rara yang sudah kemana-mana itu.

Namun, di Jakarta sana ada anak kecil yang setiap hari selalu ribut berteriak di telinga Aji “KALAU ABANG GAK SUSUL MBAK RA, YUCIL YANG BAKALAN KE JEPANG SEKARANG JUGA! MAS JI DAN MBAK RA GAK BOLEH PUTUS!” begitu. Padahal gak ada yang pacaran, sungguh maksa.

“Gue tau lo berusaha alihkan topik ke hal lain. Ada masalah apa lagi lo wahai preman jepang buangan?”

“Gue ambil cuti.”

“Udah gue duga.”

“Udahlah panjang ceritanya.” ucap Rara sembari mengeluarkan sekotak rokok dari saku mantelnya. Tangannya memantik korek pada ujung sigaret di jepitan bibir, setelah usai dengan ritual tersebut kemudian ia menawarkan objek itu kepada Aji yang disambut dengan senang hati.

“EH apa kabarnya kucing gue?”

“Lo gak nanyain kabar gue?”

“Bodo.”

Aji terkekeh dengan sigaret terjepit di sudut bibirnya.

“Kucingnya anteng di kamar, ini lagi gue tinggal sama Yucil. Guenya yang setiap hari bersin-bersin melulu.”

“Ye, lagian udah tau alergi bulu kucing masih aja nerima kucing gue.”

“Ya kalau orangnya elo, gue mana bisa nolak? Lo kan tau sepenting apa lo buat gue, Ra.”

Rara bungkam.

Aji semakin meringkuk dalam duduknya berusaha menemukan hangat dan sambil diam-diam hatinya mempertimbangkan petuah yang cocok untuk ia lontarkan pada sahabatnya si preman buangan yang bego.

Paling tidak Aji ingin menepuk jidat Rara dengan jemarinya.

“Yaudah, balik indonesia aja, Ra.”

“Gak, ah! Tujuan gue ke Jepang justru untuk bisa hidup menjelajah dunia dengan pilihan dan keputusan gue sendiri, Ji.”

“Bahasa lo! Itu KELAYAPAN namanya!”

“Baru 3 tahun gue di Jepang, Ji. Masih banyak lah waktu gue untuk berkelana.”

“Kayak gak kangen Mi Gacoan aja lo.”

“Elah, itu mah gara-garanya lo anjing? Gue kan udah nitip pesan bawain Gacoan. Tapi mana yang katanya sahabat dari orok? Gak bisa mengerti perasaan gue ya lo, Ji?”

“Menurut lo gue bawa itu Mi dalam penerbangan 7 jam belum sama antri-pesan gacoan-lari ke airport-check in -waiting di lounge dan segala titik bengek lainnya? Sinting ya lo?”

“Hahahaha… Ups, santai, Bro.” Rara masih dengan kebiasaannya, mencubiti pipi Aji pertanda gemas. Sampai pipi Aji memerah, entah karena sakit cubitan atau karena hal lain yang tidak bisa di deskripsikan.

“Bra, Bro, Bra, Bro. Makan noh oleh-oleh basreng sekarung, awas kalau gak dihabisin!”

“Hehehe… samperin gue terus dong, Ji. Jangan setahun sekali.”

“Iya, enam bulan lagi gue mampir.”

“Hah? Beneran?”

“Iya. Sekalian bawa Sinbi jalan-jalan. Belum pernah ke luar negeri katanya.”

Rara sempat terpaku beberapa menit. Tenggelam dalam pikirannya. Begitu pula Aji yang pada dirinya terpantul jati diri Rara. Entah kenapa Aji ikut termenung sejenak.

“Balikan lagi lo sama Sinbi?”

“Gak. Cuma sesekali suka main aja.”

“Oh.”

“Lo?”

“Apa?”

“Pacaran berapa kali selama di Jepang?” ujar Jiwoong. Ia ambil kesempatan untuk menatap lawan bicaranya lamat-lamat.

Rara berdehem lalu membuang muka tak kuasa bertatapan lama-lama dengan Aji sebelum kemudian menjawab, “Gak. Gue gak percaya cinta.”

Entah kenapa Aji merasa lega mendengar pernyataan Rara. Bersamaan dengan hal itu, Aji juga merasa bimbang. Sebab hingga kini, Aji tak pernah tahu apa isi hati sahabatnya.

Okelah, alasan ia benci sekali dengan cinta itu bisa ia mengerti. Tapi soal Rara dan petualangannya, Aji merasa Rara seperti kabur menghindari sesuatu yang tidak diketahui entitasnya.

Mempertimbangkan persahabatan yang umurnya sudah belasan tahun, ada rasa yang mengganjal. Aji tak sabar ingin mengorek isi hati Rara.

“Ra, gue sayang sama lo. Pulang, ya?”

***

Aji adalah makhluk paling bodoh dan sahabatnya Juyeon adalah manusia paling paham akan hal itu. Maka, Juyeon dengan menggebu-gebu membombardir Aji dengan sejuta dialog penuh amarah untuk menyadarkan Aji bahwa dirinya perlu bangkit dari kebutaan cinta yang melingkupinya.

Smoking Area di lobby hotel tempat Rara menginap menjadi saksi obrolan Aji dan Juy via telepon genggam, dini hari.

“Ji? Bisa gak lo pulang sekarang? Kerjaan kita numpuk!”

“Gak bisa, Juy. Belum bisa pulang kalau Rara gak mau pulang.”

“Susah memang kalau udah cinta mati.”

“Apanya?”

“Lo. Cinta mati sama Rara sahabat lo itu.”

“Gak segitunya, Juyeon.”

“Ya, kalau sampai nyusul ke Jepang cuma demi minta kejelasan soal bayang-bayang kata sayang berapa tahun lalu itu namanya apa kalau bukan cinta?”

“Memangnya repot-repot ke Jepang buat nanyain kabar sahabat itu berlebihan, Juy?”

“Gak berlebihan kalau udah atas dasar BUCIN.”

“Yang bener ajalah?”

“Lah, si goblok. Ya emang lo udah jatuh cinta sampai mampus, bego! Gue liatnya aja capek, Ji?!”

“Stop goblok-goblokin gue.”

“Lo gak punya hak marah ke gue. Yang ada gue yang marah ke lo. Enak aja kerjaan numpuk jadi pada digilir ke gue semua.”

“Gue lagi kacau, Juy.”

“Sekarang saatnya lo utarakan semua perasaan baik itu amarah, kecewa atau apapun itu. Kalau udah clear, pulang. Paham?”

“Tapi, Rara mana mau, Juy.”

“Apalagi, sih?”

“Terakhir kali jujur-jujuran soal perasaan, dia kabur.”

“Yaudah, lo pada udah dewasa harusnya ini jadi pertanda buat berhenti kabur-kaburan dan saatnya menghadapi yang di depan mata gak peduli apapun hasilnya asal kalian berdua gak sama-sama bodoh dan malah menyakiti satu sama lain kayak gini. Juga menyakiti mental dan fisik gue karena gue juga capek sama kalian berdua.”

“3 tahun, Juy.”

“Iya, Jing. Udah kelewatan kalian itu.”

“Dia tega ninggalin gue selama itu, Juy. Katanya sayang, katanya mau menikah sama gue, katanya gak bisa kalau gak ada gue.”

“Kalian berdua beneran aneh.”

“Letak salahnya dimana ya, Juy? Apa gue yang terlalu berharap? atau memang cinta itu memang gak pernah ada sedari awal?”

“Gue mohon, bilang apa yang mau lo bilang tiga tahun lalu itu ke Rara secepatnya.”

“Gue takut, Juy. Gue takut Rara akan mendorong gue semakin jauh dan gue benci karena gue cuma bisa diam.”

“Dengerin gue. Sekarang cuma ada dua pilihan. Satu, kalian kembali dengan rencana awal kalian soal dongeng dan janji pernikahan itu. Dua, kalian selesai. Apapun hasilnya entah itu bisa membuat lo bahagia atau mendadak bisu seketika, setidaknya lo gak akan sesak napas kayak di iket pake tali selama bertahun-tahun, setidaknya lo punya jawaban dan punya alasan untuk pulang.”

“Gue sayang sama Rara, Juy. Dan akan selalu begitu.”

***

Far East Village Hotel Ariake, Tokyo

Satu sudah kepalang nyaman. Satunya masih keras kepala.

“Jadi lo beneran gak sayang sama gue, Ra? Omongan lo soal menikah waktu itu cuma bercanda? Waktu lo peluk erat gue sambil tiduran di lengan gue malam itu semuanya gak ada artinya? Bisa ya tinggalin gue dalam posisi kebingungan sementara lo wara-wiri di Jepang.”

“Ji, udahan ya…,”

“Lo tuh tau apa sih soal cinta, Ra?”

“Udah ya, Ji. Gue yang salah. Udah.”

Rara membanting tubuhnya ke atas kasur kemudian menutup kedua mata dengan lengannya. Tanpa sadar air hangat mengalir dari pelupuk mata hingga jatuh membasahi kedua pipinya.

“Lo tuh— Tiga tahun, Ra! THREE FUCKING YEARS?! Gue— Argh!”

Aji, berdiri dengan tatapan kosong. Buku jarinya mengepal kencang-kencang. Bahunya melengos lemas tanda putus asa.

“Ya, kalau memang cinta itu gak masuk akal dan gak ada wujudnya di antara kita… menikah ya, Ra? Nikahin gue, Ra.” suara Aji bergetar, setiap kalimat yang diucapkan Aji rasanya seperti sayatan tajam di hati Rara.

“Biar gue aja yang gak percaya cinta, Ji. Lo gak seharusnya terjebak di sisi gue.”

“Kita udah pernah bahas ini, kan? Gue yang mau, Ra. Ini udah bukan soal lo dan tekad lo soal cinta. Ini semua karena gue yang mau selamanya sama lo gak peduli apapun situasinya.”

Bagi Rara kalimat Aji sangat membuatnya tersinggung. Seakan-akan Rara adalah manusia egois. Padahal maksud Rara adalah untuk membiarkan Aji mencari bahagianya.

Maka Rara mencoba bangkit dari tidurnya, berdiri berhadapan lagi dengan Aji, mengambil napas dan mengumpulkan berani untuk kembali beradu argumen.

“Lo, tuh! Sadar gak sih?”

“Apa?”

Rara benci pola pikirnya yang cenderung peka dan selalu lekas menemukan jawaban yang kemungkinan besar selalu benar itu.

Rara rela terjebak di kubangan lumpur hidup yang menyedotnya sampai tuntas, asal jangan Aji. Sejak awal Rara sendiri yang memilih rute menginjak lumpur, bukan Aji.

Apabila Rara memang harus tenggelam, tenggelamlah. Tapi tidak dengan Aji, ia pantas bahagia.

Sial. Sungguh sial saat Rara si manusia yang selalu yakin dan percaya bahwa mitos bernama cinta itu tidak masuk akal bahkan tidak berkenan untuk repot berurusan dengan segala tetek bengeknya, kini melihat cinta berpendar benderang pada Aji.

“Lo tuh cinta sama gue, Ji.”

Oh, betapa Rara ingin semakin memakan lumpur itu tadi karena kepalang malu akibat omongannya barusan yang pasti terdengar sangat menggelikan bagi Aji.

“Iya terus kalau gue memang cinta sama lo, kenapa? Masalah?”

Ternyata ada yang lebih menggelikan lagi.

Aji sudah gila.

Wajahnya kepalang merah, urat-urat lehernya timbul, dan suaranya semakin sengau. “Ra…,” Tanpa aba-aba Aji maju satu langkah mengikis jarak lalu menyerang bibir Rara yang lembab akibat dibasahi air mata sedari tadi. Ia menciumi bibir sahabatnya dengan buru-buru, berantakan, hilang akal.

“Ji, stop. Aji!”

Rara berulang kali memukul dada Aji berusaha menolak dan menjauhkan tubuhnya. Sampai akhirnya Aji sendiri yang mundur dan beralih menghentakkan bahu Rara dengan kedua tangannya erat.

“Ra, sekalipun gue dipaksa untuk angkat kaki dari dunia yang lo anggap gak layak untuk cinta ini. Lo adalah orang pertama yang akan gue ajak untuk kabur. Gue gak akan pernah pergi sendirian, ada nama lo dalam setiap keputusan gue.”

“Gak perlu repot-repot sebegitunya, Ji.” lagi-lagi si puan berusaha buang muka. Tak mau Aji melihat bagaimana ia berbohong saat itu.

“Bahkan kalau skenarionya harus terpaksa menetap di dunia yang kotak-kotak ini juga gue maunya menetap sama lo, Ra. Karena gue sudah terbiasa dan gak mau berubah. Gue mau selamanya sama lo bahkan lo sendiri udah mengiyakan keinginan gue itu.”

“Iya, Ji. Gue tau. Tapi gue gak percaya—”

“Gak percaya cinta? Karena lo udah terlanjur jatuh?”

“No, gak gitu.”

“Lo selalu merasa lo tau segalanya, Ra. Gue mengakui lo punya kapasitas lebih untuk berpikir panjang akan banyak hal supaya punya akhir yang menguntungkan dan tidak menyakiti lo. Tapi kalau soal cinta? Lo bodoh.”

“Ji… G–gue… Gue takut, Ji.”

“Ada gue, Ra.”

“Gue gak mau kenal cinta. Cinta itu gak kelihatan, dia hilang-timbul, gak abadi. Gue bakalan sendirian lagi.”

“Kalau sendiriannya sama gue apakah lo akan merasa lebih baik?”

“Itu gak sendirian namanya.”

“See? Gue selalu disini, Ra. Gue mohon. Jangan paksa gue buat pergi, ya?”

“Gak—,”

Ah, betulan keras kepala.

“Justru dengan lo denial akan semakin menyakiti diri lo sendiri, Ra. Jelas lo peka sama perasaan lo sendiri makanya lo takut. Iya, kan?”

Rara diam seribu bahasa. Ia menatap kosong pada bahu Aji dan air matanya masih terus mengalir deras.

Rara benci mengakui bahwa ketakutan menyerang dirinya, tepat seperti yang dikatakan Aji. Bahkan dirinya sudah tidak bisa mengontrol rasa yang terus ada untuk Aji itu. Sampai malam tengah menonton anime di balik selimut kala itu, ia percaya cinta dan malah memilih untuk lari ketakutan.

“Apapun definisi cinta itu gak penting lagi, Ra. Coba kali ini lo fokus sama siapa lo berbagi rasa bukan bagaimana bentuk dan sebab-akibatnya.” Tapi Aji tidak seperti dugaannya. Aji berani dengan segala ketidakpastian bahkan ia tidak lelah untuk mencari dan mengejar si tak kasat mata.

Apa yang membuat Aji berani bertaruh?

Bagaimana bisa rasa itu tidak membuatnya ciut?

Untuk siapa semua nyali itu?

“Selamanya.”

Aji tercengang setengah bingung mendengar cicitan Rara.

“Sama lo, Ji. Gue mau selamanya sama lo.”

Final.

Walau suaranya bergetar tapi Rara akhirnya runtuh. Sebenci apapun Rara akan konsep soal cinta, Ia tak bisa membenci Aji yang padanyalah ia menemukan perasaan tak kasat mata itu.

Cinta itu berotasi diantara Aji dan Rara dalam berbagai cara. Dalam hal ini, nyaman adalah alasan paling utama dan Aji adalah tempat paling nyaman itu.

Setelah melalui pertarungan melawan ego sendiri selama belasan tahun akhirnya Rara belajar bahwa hal paling mudah di dunia ini adalah cinta. Cinta itu dihantarkan semesta dalam rasa nyaman dan sayang itu sendiri.

“Ra…,” Aji mengusap-usap matanya yang merah dan berusaha mengatur napas yang tadinya sesenggukan tak karuan. Lalu, “...pengen peluk…” katanya.

“Iya…sini.”

Rasa-rasanya seluruh darah yang mengalir di tubuh meluruh dan isi kepala seketika kosong. Tapi rasa hangat perlahan menjalar meliputi, dagu Aji merunduk bertengger di bahu Rara semakin meringkuk manja disana. Lengan Rara melingkar pada pinggang Aji erat tak ingin lepas.

“Gue masih takut, Ji. Temenin gue terus, ya?”

“Iya, gue temenin. Selamanya.”

“Gue gak suka Jepang, dingin. Bawa gue pulang, ya?”

“Iya, kita pulang. Ke rumah.”

Semesta tahu pasti bagaimana ia menyatukan dua anak manusia yang hilang arah. Seisi dunia merayu dan memberi restu, mengetahui bagaimana sekar merekah yang ada dihati.

Rara dan Aji sepenuhnya sadar bahwa ada rasa sayang dan nyaman mengitari satu sama lain. Belasan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal dan mengerti. Lantaran sedari kecil naluri untuk menyalurkan kasih itu menjadi hal paling natural untuk tumbuh melingkupi keduanya.

Masih dengan rutinitas sehari-hari. Pergi ke comifuro, pergi liputan ke berbagai destinasi, menonton anime di kamar, baca buku dalam kesunyian lagi-lagi di kamar, hingga duduk bersantai di balkon sambil ciuman sampai ditegur tetangga.

Maka pada akhirnya kedua insan tersebut mengucap janji suci di taman belakang rumah. Pernikahan sederhana yang penuh riuh cemooh dari sahabat karib mereka yang lingkarannya disitu-situ aja. Rumah tangga yang dibangun pun kecil-kecilan tapi tetap menyenangkan.

Semuanya tetap sama, sederhana. Sebab Aji dan Rara adalah sebagaimana cinta yang tujuannya saling melengkapi dan ada untuk satu sama lain. Definisi cinta adalah apa yang diusahakan bersama-sama.

SELESAI

Hari Jadi Pecundang

Ada satu tempat berteduh paling sepi pengunjung seantero kampus. Pendopo lama di belakang Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Cenderung sepi karena suasana suram akibat banyak pohon besar, pencahayaan pun remang-remang. Hujan deras memperkeruh pemandangan di pendopo yang letaknya di belakang fakultas, memberi kesan terbengkalai. Laki-laki bertubuh jangkung duduk disana, menghangatkan diri dengan sepuntung rokok. Sesekali ia mengumpat, “Ah, sial! Hujan sialan!” kemudian kembali berceletuk, “Anjing, dingin banget!” Gamaliel Pratama. Memikul nama indah nan megah itu membuat ia seringkali merasa keberatan. Takut dibanding-bandingkan dengan tingkah lakunya kelak. Ia lebih suka dipanggil Upin. Upin menekuk kedua kakinya dipaksa masuk ke dalam kaos agar bisa dipeluk. Setiap kepulan asap rokok yang berhembus, Upin sisipkan satu lenguhan kencang. Kedengaran seperti mahasiswa yang sudah putus asa di pertengahan semester, mulai tidak peduli dengan nilai akhirnya nanti. Miris sekali nasib Upin, harus berkelahi dengan hujan yang mendadak deras di lampu merah yang ternyata semua usahanya itu berhasil nihil karena peraturan mesti berpakaian rapi saat menginjak keramik fakultas membuat Upin mantap mengurungkan niat untuk masuk kelas. Kemeja flanel dan sepatu converse tergantung di ujung tiang penyangga pendopo tempat ia berteduh sambil berharap angin dingin bisa menyerap basahnya. "Sebenernya skip kelas Komunikasi Bisnis karena begadang sampe kesiangan terus kejebak hujan tuh alesan yang rasional menurut gua." batin Upin mencari pembenaran dari tingkahnya sendiri. Ia angguk-angguk kepala terus menghisap rokok dalam-dalam dan buang asapnya lagi lewat mulut. Di tatapnya motor yang sudah kotor campuran bekas lumpur terparkir di seberang sana kemudian beralih merunduk menatap telapak kaki yang sudah mulai keriput. Nasib, nasib. "Tidur siang kali ya...," Upin celingak-celinguk memandangi alas tidurnya yaitu lantai kayu pendopo yang memang tampak cukup memadai untuk jadi tempat mengistirahatkan kepala sejenak. Tingga di tepis-tepis saja beberapa daun kering disana maka cukup jadi tempat ternyaman untuk tidur siang. Sampai perhatiannya beralih ke seorang perempuan yang berlari tergopoh-gopoh. Cengengesan melindungi poninya menggunakan tangan yang mana kelihatan tidak membantu sama sekali. Rambut yang kepalang basah, pakaian juga sudah nyeplak ke tubuhnya. Satu lagi, dua lesung yang menghiasi pipi dia seiring senyumnya merekah. Arahnya jelas tertuju pada Upin membuat dia tidak jadi menelentangkan tubuh karena mesti menyambut bidadari. “Per–Permisi, Mas. Ikut–Hhhh ikut neduh bareng, ya? Hehehe…” suaranya terengah habis berlari. Telapak tangan kiri dan kanannya sibuk menghangatkan satu sama lain. “Nghh? Hmmm, huuh...” Jepitan rokok di mulut Upin membuatnya hanya mampu menjawab dengan dehaman seadanya. Tapi Upin segera memperbaiki posisi duduk dan mempersilahkan Lilis bergabung bersamanya di bawah perlindungan pendopo. “Makasih…” sang bidadari mendudukkan pantatnya tak jauh dari duduk Upin. Kembali senyum dan lesung itu menyapa Upin membuatnya justru terbatuk karena lupa di bibir masih ada sebatang rokok yang bertengger. Rokok berpindah ke jari, “Hujan-hujanan, Mbak?” “Iya, tadi waktu masih rintik-rintik seru main hujan asik sendiri. Eh, taunya jadi deras begini.” "Hmmm...," Upin angguk-angguk kepala lagi. “Basah, Mbak. Mau pakai kemeja saya?” tangan Upin menunjuk pada kemeja yang berkibar pertanda mulai kering serta sepatu converse yang bergelantungan dan ditatap perempuan disebelahnya dengan nanar mungkin berpikiran pendopo itu mulai terlihat seperti rumah Upin sendiri. “Eh– Gak usah, Gak apa-apa. Saya sebentar lagi dijemput Bapak, kok.” “Oh,” Upin cuma bisa balas senyuman kikuk kemudian balik ke posisi awal meringkukkan badan. Suasana kembali hening. Upin isap rokok sekali lagi dan menghembuskan kepulan asap kesekian, Mengibaskan asap dengan tangan supaya segera hilang kemudian memutuskan untuk menyudahi agenda tidak sehat itu dengan menekan puntung rokok yang masih panjang ke bebatuan di tanah sambil meringis. Sampai suara nyaring itu kembali hadir di telinga, “Mas-nya anak FEB sini?” “Iya. Mbak sendiri?” “Saya dari FIB.” “Jauh banget? Hujan-hujanan dari FIB, Mbak?” Berulang kali kepala Upin toleh ke sebelah kiri dimana jarak duduk Lilis hanya dua jengkal darinya. “Iya, saya suka mandi hujan soalnya.” ujar Lilis lagi sambil terus tersenyum. “Hati-hati masuk angin, Mbak.” “Iya, kayaknya bakalan masuk angin, sih. Minta doanya semoga saya gak sakit ya, Mas.” Ramah dan menyenangkan. Upin jarang betah duduk atau ngobrol berlama-lama dengan perempuan karena dirinya kerap kali merasa canggung dan berakhir kabur entah kemana. Tapi, Upin ingin mendengar lebih banyak kalimat keluar dari mulut Lilis. “Mas?” “Ya?” “Kenapa bengong?” “Hah? Itu, Anu, saya cuma kaget. Beneran gak kedinginan?” “Dingin siihh... Tapi gak apa, sebentar lagi saya dijemput, kok. Makasih ya niat baiknya, Mas.” “Ah, Ok.” Hujan yang tadinya cuma hujan panas biasa dengan masih ditemani langit cerah kini berubah makin suram. Tadinya sudah sisa rintik-rintik kini datang semakin keroyokan. Angin juga ikut-ikutan gak mau kalah, betulan muncul ribut-ribut. Pohon-pohon besar mulai teriak minta tolong karena begitu kencang angin berhembus. Upin kembali menaikkan kedua kaki dan bersandar pada tiang pendopo, duduk menghadap ke arah timur demi menilik paras Lilis lebih lama. Lilis sibuk tiup-tiup kedua telapak tangannya berusaha menghangatkan diri. Terlalu cantik buat jadi figuran di hari yang suram ini. Terlalu lucu sebagaimana tangannya berusaha meraih tetes air yang jatuh dari atap pendopo lalu ditarik lagi sebelum bersentuhan dengan air. Upin memutuskan membuka aplikasi kamera di gawainya dan memotret keindahan di hadapan netranya. Hasil fotonya buram karena lensa kamera yang terciprat air hujan, tapi sudah tidak ada kesempatan lagi untuk memotret karena Lilis tiba-tiba duduk lurus dan menoleh. "Kenapa? Sadar kamera, kah? Mendadak masuk angin? Atau...?" isi kepala Upin mulai berkecamuk. Cahaya kilat melesat, mata Upin dan Lilis lamat-lamat berkedip kaget. "Takut? Sama petir?" Upin ngebatin lagi menimbang-nimbang khawatir sama perempuan lucu itu. Rasanya seperti dapat sinyal pertanda ada rasa takut mulai merambat muncul ke permukaan. Upin berinisiatif mendekatkan duduknya dengan Lilis. Bergeser perlahan, menghabiskan jarak. Kemudian bahu mereka bertabrakan. Kilat menyambar, kali ini gemuruh petir mengikuti. Bahu yang sebelumnya menempel dengan bahu itu, kini bersitatap. Wajah masing-masing anak manusia itu bertemu satu sama lain. Sengatan listrik berpercikan seiring tubuh yang saling bersinggungan dan napas saling bertemu. Langit seperti sedang muntah meluapkan segala amarah, membuat manusia di bawahnya bergetar ketakutan. Ada urgensi yang tiba-tiba muncul di kepala Upin untuk membawa Lilis lebih dekat. Sepersekian detik, Upin meraih lengan lilis masuk ke dalam rengkuhannya dalam-dalam memastikan perempuan itu menemukan rasa aman dalam peluknya. Meraup kepalanya dan menutup kuping Lilis berusaha memberikan suhu tubuh yang hangat. Perbedaan ukuran tubuh yang begitu signifikan membuat Lilis dengan mudah terlingkupi. Yang ada dalam pelukan pun mematung, tidak bergerak maupun menolak. Semua berlalu dengan cepat. Hangat dan kikuk dalam satu detik yang sama. Dan ada yang berdesir di dada Upin. Tidak ada penolakan. Tidak ada yang menepis kedua lengan Upin yang kurang ajar itu. “Mas? Hmm—S-Saya gak takut petir Hehehe…” ujar Lilis sambil mendongakkan kepala keluar dari sisi leher Upin lalu menangkap kelopak mata Upin yang masih tertutup erat. “Halo?” Harga diri Upin agaknya sudah menguap entah kemana. Upin benar-benar merutuki diri sendiri dalam hati. Upin cepat-cepat menarik kedua lengannya dari bahu dan punggung Lilis. Lilis mundur perlahan sementara Upin sudah melompat hampir jatuh ke belakang. “Eh, maaf. Itu petirnya… kirain Mbak-nya takut… em maaf ya” ujar Upin, ia sudah siap menerima satu atau bahkan beberapa jotosan dari Lilis. “Gak apa-apa, Hahahaha…,” Lilis geleng kepala dan melambaikan kedua tangannya sambil terpingkal-pingkal. “Mbak sekali lagi saya mohon maaf, gak ada maksud lancang. Murni karena kaget aja.” Berulang kali Upin meminta maaf sambil menundukkan pandangan dan melipat kedua tangannya di depan dada supaya gak sembarangan lagi menyentuh kemana-mana. “Iya… Hahaha… Malah saya kira Mas-nya yang ketakutan." Habis Upin di tertawakan. Membuat muka, telinga, bahkan tangannya memerah semuanya. "He.. He.. He.. Maaf..." :D "Aduh lucu banget! Tapi, makasih loh! Hahaha…,” Lalu Lilis menepuk bahu Upin pelan. Pelan sekali. Sentuhannya lembut. Samar-samar suara klakson mulai berisik membuyarkan tawa mereka berdua. “Sudah dijemput! Saya duluan ya!” Lilis berlari, punggungnya pergi menjauh. Tubuh basah kuyup itu masuk ke dalam mobil yang cukup familiar di mata Upin. Lilis berbohong. Lilis tidak dijemput Bapaknya. Karena tidak ada anak perempuan yang menyambut kecupan di pipi terus memeluk erat laki-laki yang umurnya tak jauh beda seakan tiada hari esok. Sejak hari itu Lilis dapat ditemukan dimana-mana. Eksistensinya ada pada pendopo lama yang sudah lapuk pondasinya. Kadang hangat tawanya masih tertinggal dan berdengung di telinga, mudah diingat dan tak mudah dilupa. Kemudian presensi dia mulai bermunculan setiap hari karena kini dia ada di sela-sela pikiran Upin melalui kebersamaannya dengan Rizky sahabat karib Upin. Hari ini sekali lagi semesta mempertemukan Upin dan Lilis yang duduk termenung di Haodinata Studio tempat Upin bekerja. Lilis menangis, riasannya luntur. Lipstik di bibirnya berantakan. “Maafin aku, Lis. Aku belum bisa ngasih apa yang kamu mau.” Suara Rizky di seberang sana terdengar sangat jelas sebelum ia menutup sambungan. Ironis. Begitulah hari ini Upin menutup studio diiringi isak tangis Lilis. Sebab yang ditunggu tak kunjung datang sementara Upin yang masih menunggu di sisinya gak tega untuk menginterupsi. Kalau memang begini jadinya mungkin Upin gak sudi berlama-lama neduh di pendopo, waktu itu. Mungkin harusnya Upin lebih berani untuk menolak permintaan Rizky. Mungkin harusnya Upin gak meraih Lilis. Mungkin harusnya Upin gak perlu menawarkan bahu. Semua 'seharusnya' itu semata-mata untuk menghindari perasaan asing di dada yang gak bisa Upin terima. Angin malam yang menerobos kulit Upin membuat ia bergidik dan kembali berperang dalam pikirannya. Lilis yang menyapa dengan senyuman tadi siang lantas berakhir meneteskan air mata di bahu dan punggung Upin. Rizky yang semulanya tempat peristirahatan berbagi ruang dan cerita kini mulai dipertanyakan keberadaannya. Bahkan Upin mulai ragu dengan diri sendiri karena Lilis yang ada di boncengan jadi jauh lebih penting ketimbang apapun peringatan yang diberikan Rizky ke Upin. Tapi, untuk pertama kalinya ia ingin bodo amat sama apa yang sudah di tulis semesta. Lilis memantik sesuatu yang Upin bahkan gak pernah menyangka bahwa dirinya akan pasang badan dengan berani. Selama Upin bisa melihat Lilis baik itu tangis maupun tawanya, selama itu Upin mau ada buat Lilis. Tanpa berkesudahan. Selamat, hari ini kamu sudah jadi pecundang yang percaya bahwa bahagia tidak akan pernah mengikutimu.
Wholeheartedly,

PROLOG: HATI SELUAS SAMUDERA

Sisihkan sedikit ruang maka kamu siap menjadi bagian hidup Gamaliel Pratama.
Ibarat samudera sebagai tolak ukur betapa luas hati seorang Gamaliel Pratama. Setiap kepingan dalam hatinya punya porsi hangat agar tiap-tiap manusia yang ia jumpai memperoleh hangat jua, masing-masing satu.
Hati seluas samudera, kepingan pertama ia sisihkan untuk keluarganya. Tempat ia lahir dan tumbuh belajar melangkah. Keluarga kecil terdiri dari Ayah yang kini sudah kembali ke kampung halaman dan memilih melanjutkan hidup dengan bertani disana, Ibu yang sampai sekarang entah dimana ia berada, dan Abang, Kelana Pratama, yang pergi ke ujung Indonesia demi menemukan damai sebab ada kanvas menanti untuk terus disiram corak imajinatif. Mereka pergi, tak apa, Gamaliel Pratama tidak kemana-mana.
Hati seluas samudera, kepingan kedua ia sisihkan untuk rumahnya. Bundo Kanduang, tempat berteduh dan berkumpul bersama manusia-manusia yang suka ia campuri urusannya. Ada 9 kepala termasuk dirinya. Dari rumah ini ia mulai punya kebiasaan untuk memastikan semua orang baik-baik saja. Mereka ramai riuh, tak apa, Gamaliel Pratama punya cukup kuasa untuk menyerap dan memantulkan hangat.
Hati seluas samudera, kepingan lainnnya ia titipkan ke penjuru tempat kemana ia melangkah. Lemari tempat masa kecilnya bersembunyi, kursi kayu warung soto kesukaannya, sudut kamar kosan saksi lolosnya ke PTN impian, hingga pendopo lama di belakang Fakultas Ekonomi dan Bisnis tempat ia bengong sambil merokok. Hangat itu Gamaliel Pratama tanggalkan dimana-mana.
Gamaliel Pratama yakin selama ia sisihkan ruang untuk menabur kehangatan maka bahagia akan tertuai. Setidaknya keyakinan itulah yang membuatnya hidup sampai sekarang.

naif

Hari ini kamu sudah pinjamkan sedikit ruang tersisih untuk menjadi bagian hidup Gamaliel Pratama. Yakini apa yang kamu percaya dan aku mohon, jangan pernah tinggalkan Gamaliel Pratama sendirian.
Hati seluas samudera, jangan biarkan Gamaliel Pratama tenggelam disana.
Wholeheartedly,

POV Gibran

Ada satu tempat berteduh paling hangat seantero kampus. Pendopo lama di belakang Fakultas Ekonomi dan Bisnis sepi pengunjung karena suasananya yang memang cenderung sepi dan pencahayaan yang remang-remang karena banyak pohon besar.

Dari yang gue deskripsikan emang gak ada nuansa tempat hangat sama sekali, tapi yang gue maksud hangat kali ini muncul karena eksistensi Lilis.

Minggu siang waktu hujan deras adalah pertama kali gue bertemu dengan Lilis Astuti si perempuan pecinta hujan. Nggak banyak yang gue tahu soal Lilis waktu itu. Tapi hujan bulan agustus mengenalkan gue dengannya. Memang terdengar melankolis nyerempet basi, tapi begitulah sependek pengetahuan gue soal Lilis dan obsesinya akan hujan. Lilis percaya kalau hujan satu-satunya waktu dimana ia bisa berlari sebebas mungkin.

Siang itu langit cukup cerah, tapi hujan masih bersikeras untuk turun. Kalau kata orang namanya hujan panas, hujan yang datengin penyakit. Gak ada satu orang pun mahasiswa/i yang berkeliaran karena turun hujan.

Maka dari itu disinilah gue duduk berteduh sambal menghangatkan diri dengan sepuntung rokok, di pendopo lama.

Sial banget sih gara-gara hujan gini jadi males basah-basah ke parkiran. Rencana pulang kampus lebih cepat karena kelas yang batal eh malah kejebak hujan.

Gue duduk agak lama dan sibuk bermain mobile legend sambil menaikkan satu kaki, semakin betah berlama-lama di pendopo.

Sampai perhatian gue beralih ke seorang perempuan yang berlari tergupuh-gupuh. Cengengesan melindungi poninya menggunakan tangan yang mana gue yakin itu sama sekali gak membantu.

Satu hal lagi yang menarik perhatian gue adalah ada dua lesung yang menghiasi pipi dia seiring senyumnya merekah.

Hari itu rambut dan pakaian Lilis basah kuyup, suaranya terengah habis berlari.

“Permisi ya, Mas. Hehehe…”

“Mh-hm”

Gue memperbaiki posisi duduk dan mempersilahkan dia bergabung bersama gue di bawah perlindungan pendopo reyot ini.

“Makasih…”

Lilis balas dengan satu senyuman dan akan hendak gue balas balik sebelum kemudian gue terbatuk karena lupa di bibir masih ada sebatang rokok yang bertengger.

Gue isap sekali dan menghembuskan kepulan asap ke sekian. Gobloknya arah asap itu malah langsung ketemu sama mukanya Lilis.

“Eh, maaf mbak”

“Iya, gak apa”

Gue mengibaskan asap dengan tangan supaya segera hilang kemudian memutuskan untuk menyudahi agenda tidak sehat ini dengan menginjak puntung rokok yang masih panjang itu dengan sepatu sambil meringis.

Berulang kali gue menengok ke sebelah kiri dimana jarak duduk Lilis hanya dua jengkal dari gue. Dia sibuk tiup-tiup kedua telapak tangannya berusaha menghangatkan diri.

Gak habis pikir gue, kalau tahu bakal kedinginan ngapain mandi hujan?

Sementara hujan yang tadinya cuma hujan panas biasa dengan masih ditemani langit cerah kini berubah makin suram. Tadinya cuma rintik-rintik sekarang malah semakin keroyokan tuh hujan.

Angin juga ikut-ikutan gak mau kalah, betulan muncul ribut-ribut. Pohon-pohon besar yang gue yakini ada kali satu dua kuntilanak nyangkut disono udah teriak minta tolong karena begitu kencang angin berhembus.

Beberapa kantong plastik terbang melewati gue dan Lilis. Emang ye orang-orang masih aja buang sampah sembarangan kayak gak sekolah. Gak kaget dah gue kalau FEB banjir.

Lilis duduk termenung.

Gue mulai menaikkan kedua kaki dan bersandar pada tiang pendopo, duduk menghadap ke arah timur demi menilik parasnya lebih lama.

Terlalu cantik buat jadi figuran di hari yang suram ini. Terlalu lucu sebagaimana tangannya berusaha meraih tetes air yang jatuh dari atap pendopo. Terlalu manis melihat caranya menoleh dan memutuskan untuk ikut menatap gue dalam-dalam.

Aih, MANISNYA!

Sampai kilatan cahaya yang muncul dalam waktu singkat membuat gue bergidik ngeri. Gue secara otomatis kembali duduk lurus.

Berdasarkan pengamatan sotoy gue yakin dia juga sama kagetnya.

Kemudian gak kerasa tiba-tiba bahu kita bertabrakan.

Kilat kedua.

Gue mulai panik dan mencari-cari sesuatu pada raut wajahnya.

Takut kah?

Dan kemudian, Petir.

Gemuruh petir yang kencang.

Ada urgensi yang tiba-tiba muncul di kepala gue untuk membawa Lilis lebih dekat. Sepersekian detik, gue raih lengannya masuk ke dalam rengkuhan gue dalam-dalam. Meraup kepalanya dan menutup kupingnya.

Rasanya seperti tersengat listrik waktu tubuh kami saling bersinggungan dan napas saling bertemu.

Yang berusaha gue lindungi gak bergerak maupun menolak.

Gue memastikan dia menemukan rasa aman di dalam rengkuhan gue. Dengan perbedaan ukuran tubuh yang begitu signifikan membuat dengan mudah terlingkupi. Gue berusaha membagikan suhu tubuh yang gue punya.

Semua berlalu dengan cepat.

Hangat dan kikuk dalam satu detik yang sama.

Dan ada yang berdesir di dada gue.

Tidak ada penolakan. Tidak ada yang menepis kedua lengan gue yang kurang ajar ini.

“Mas? Saya gak takut petir hehehe…” ujar Lilis sambil mendongak menatap gue yang masih nutup mata.

Anjirlah.

Gue benar-benar merutuki diri sendiri abis-abisan. Tangan gue segara melepas rangkulan dari bahunya. Gila. Mata gue membelalak dan lidah gue seketika kelu.

Mana mata gue langsung ketemu sama mata dia lagi!

Gue sudah siap menerima satu atau bahkan beberapa jotosan.

Harga diri gue agaknya sudah menguap entah kemana.

“Eh, maaf. Itu petirnya… kirain mbak-nya takut… em maaf ya”

“Gak apa-apa, hahahaha” dia geleng kepala sambil ketawa. Lagian siapa yang gak bakal geleng kepala coba.

Upin Tolol.

“Mbak sekali lagi saya mohon maaf, gak ada maksud lancang. Murni karena kaget aja”

Berulang kali gue meminta maaf sambil menundukkan pandangan.

“Iya… Hahaha… Malah saya kira mas-nya yang ketakutan”

“Hahaha… ya enggak lah…”

“Oke percaya percaya hahaha...”

“Oiya, iya saya punya sesuatu buat gantiin rokok mas-nya”

Ia merogoh tas bahunya dalam-dalam dan wajahnya cerah setelah menemukan apa yang di cari permen tangkai rasa stroberi. Tanpa basa basi dia memasukkan permen batang itu ke mulut gue yang masih ternganga rupanya.

Gue terkekeh. Alih-alih rokok terjepit di bibir, mengemut permen adalah skenario paling jauh yang pernah gue bayangkan.

“Makasih loh”

“Sama-sama”

“Mbak gak kedinginan?”

“Enggak, sebentar lagi di jemput bapak kok. Sebentar lagi juga hangat”

“Oh…”

Lidah gue masih sibuk mengecap rasa manis yang masih menempel di bibir. Selagi otak gue masih mencerna kejadian memalukan akibat kelakuan sampah gue tadi, Lilis menepuk bahu gue pelan.

Pelan banget.

Sentuhannya lembut.

“Saya duluan ya!” ujarnya membuyarkan perhatian.

Dia gak dijemput bapaknya. Karena gak ada anak perempuan yang menggenggam erat tangan bapaknya seperti tiada hari esok.

Sejak hari itu Lilis dapat ditemukan dimana-mana. Eksistensinya ada pada pendopo lama yang sudah lapuk pondasinya. Kadang hangat tawanya masih tertinggal dan berdengung di telinga, mudah diingat dan tak mudah dilupa. Kemudian presensi dia mulai bermunculan setiap hari karena kini dia ada di sela-sela obrolan.

Sejak hari dimana gue dengan mudah menemukan dirinya ada pada Rizky. Teman gue sendiri, yang pernah diakui Lilis sebagai bapaknya. Bisa dibilang Rizky itu sahabat baik gue, mengingat gue mengenal dia sejak MaBa dan kini hidup seatap. Iya, sejak itu.

Sejak gue jadi sahabat internet dia.

Mungkin ini terdengar berlebihan, tetapi Lilis sedikit demi sedikit mulai jadi bagian dari dunia gue.

Segala hal yang hanya celetuk jenaka di internet yang gak lebih dari satu bulan itu kini nyata di depan mata kepala gue.

Lilis.

Lilis menangis, riasannya luntur.

Lipstik di bibirnya berantakan.

“Maafin aku, Lis. Aku belum bisa ngasih apa yang kamu mau.”

Suara Rizky di seberang sana terdengar sangat jelas sebelum ia menutup sambungan.

Ironis.

Begitulah hari ini gue menutup Senandika bersama isak tangis Lilis. Sebab yang dia tunggu gak kunjung datang sementara gue yang masih menunggu disini gak tega untuk menginterupsi.

Gue usap-usap bahu Lilis berharap ada yang bisa gue tenangkan di dalam dirinya.

Waktu itu, hujan itu, gue emang jatuh sejatuh-jatuhnya kepada Lilis dan pesonanya.

Tapi gue gak bisa mendiskripsikan perasaan gue hari ini. Tindakan gue kali ini, bukan seperti diri gue yang bebas seperti yang sudah-sudah.

Ada perasaan yang gak bisa gue terima.

Mungkin kasihan?

Kasihan sama Rizky.

Kasihan sama Lilis.

Kasihan sama diri sendiri.

Kalau memang bakal begini jadinya mungkin gue gak perlu berlama-lama neduh di pendopo, waktu itu.

Mungkin harusnya gue gak meraih dia, mungkin harusnya gue gak perlu menawarkan diri dan bahu gue. Semua 'seharusnya' itu semata-mata untuk menghindari perasaan yang gak bisa gue terima ini.

Tapi, untuk pertama kalinya gue ingin bodo amat sama apa yang sudah di tulis semesta.

Lilis memantik sesuatu yang gue bahkan gak tau kalau gue siap untuk pasang badan dengan berani.

Selama gue bisa melihat dia baik itu tangis maupun tawanya, selama itu gue mau ada buat dia. Tanpa berkesudahan.

Jadi selamat, ya. Hari ini kamu sudah jadi salah satu pecundang, dan kamu percaya kalau bahagia tidak akan pernah mengikutimu.