Hari Jadi Pecundang
Ada satu tempat berteduh paling sepi pengunjung seantero kampus. Pendopo lama di belakang Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Cenderung sepi karena suasana suram akibat banyak pohon besar, pencahayaan pun remang-remang. Hujan deras memperkeruh pemandangan di pendopo yang letaknya di belakang fakultas, memberi kesan terbengkalai.
Laki-laki bertubuh jangkung duduk disana, menghangatkan diri dengan sepuntung rokok. Sesekali ia mengumpat, “Ah, sial! Hujan sialan!” kemudian kembali berceletuk, “Anjing, dingin banget!”
Gamaliel Pratama. Memikul nama indah nan megah itu membuat ia seringkali merasa keberatan. Takut dibanding-bandingkan dengan tingkah lakunya kelak. Ia lebih suka dipanggil Upin.
Upin menekuk kedua kakinya dipaksa masuk ke dalam kaos agar bisa dipeluk. Setiap kepulan asap rokok yang berhembus, Upin sisipkan satu lenguhan kencang. Kedengaran seperti mahasiswa yang sudah putus asa di pertengahan semester, mulai tidak peduli dengan nilai akhirnya nanti.
Miris sekali nasib Upin, harus berkelahi dengan hujan yang mendadak deras di lampu merah yang ternyata semua usahanya itu berhasil nihil karena peraturan mesti berpakaian rapi saat menginjak keramik fakultas membuat Upin mantap mengurungkan niat untuk masuk kelas.
Kemeja flanel dan sepatu converse tergantung di ujung tiang penyangga pendopo tempat ia berteduh sambil berharap angin dingin bisa menyerap basahnya.
"Sebenernya skip kelas Komunikasi Bisnis karena begadang sampe kesiangan terus kejebak hujan tuh alesan yang rasional menurut gua." batin Upin mencari pembenaran dari tingkahnya sendiri. Ia angguk-angguk kepala terus menghisap rokok dalam-dalam dan buang asapnya lagi lewat mulut.
Di tatapnya motor yang sudah kotor campuran bekas lumpur terparkir di seberang sana kemudian beralih merunduk menatap telapak kaki yang sudah mulai keriput. Nasib, nasib.
"Tidur siang kali ya...," Upin celingak-celinguk memandangi alas tidurnya yaitu lantai kayu pendopo yang memang tampak cukup memadai untuk jadi tempat mengistirahatkan kepala sejenak. Tingga di tepis-tepis saja beberapa daun kering disana maka cukup jadi tempat ternyaman untuk tidur siang.
Sampai perhatiannya beralih ke seorang perempuan yang berlari tergopoh-gopoh. Cengengesan melindungi poninya menggunakan tangan yang mana kelihatan tidak membantu sama sekali. Rambut yang kepalang basah, pakaian juga sudah nyeplak ke tubuhnya. Satu lagi, dua lesung yang menghiasi pipi dia seiring senyumnya merekah.
Arahnya jelas tertuju pada Upin membuat dia tidak jadi menelentangkan tubuh karena mesti menyambut bidadari.
“Per–Permisi, Mas. Ikut–Hhhh ikut neduh bareng, ya? Hehehe…” suaranya terengah habis berlari. Telapak tangan kiri dan kanannya sibuk menghangatkan satu sama lain.
“Nghh? Hmmm, huuh...” Jepitan rokok di mulut Upin membuatnya hanya mampu menjawab dengan dehaman seadanya. Tapi Upin segera memperbaiki posisi duduk dan mempersilahkan Lilis bergabung bersamanya di bawah perlindungan pendopo.
“Makasih…” sang bidadari mendudukkan pantatnya tak jauh dari duduk Upin. Kembali senyum dan lesung itu menyapa Upin membuatnya justru terbatuk karena lupa di bibir masih ada sebatang rokok yang bertengger.
Rokok berpindah ke jari, “Hujan-hujanan, Mbak?”
“Iya, tadi waktu masih rintik-rintik seru main hujan asik sendiri. Eh, taunya jadi deras begini.”
"Hmmm...," Upin angguk-angguk kepala lagi.
“Basah, Mbak. Mau pakai kemeja saya?” tangan Upin menunjuk pada kemeja yang berkibar pertanda mulai kering serta sepatu converse yang bergelantungan dan ditatap perempuan disebelahnya dengan nanar mungkin berpikiran pendopo itu mulai terlihat seperti rumah Upin sendiri.
“Eh– Gak usah, Gak apa-apa. Saya sebentar lagi dijemput Bapak, kok.”
“Oh,” Upin cuma bisa balas senyuman kikuk kemudian balik ke posisi awal meringkukkan badan.
Suasana kembali hening.
Upin isap rokok sekali lagi dan menghembuskan kepulan asap kesekian, Mengibaskan asap dengan tangan supaya segera hilang kemudian memutuskan untuk menyudahi agenda tidak sehat itu dengan menekan puntung rokok yang masih panjang ke bebatuan di tanah sambil meringis.
Sampai suara nyaring itu kembali hadir di telinga,
“Mas-nya anak FEB sini?”
“Iya. Mbak sendiri?”
“Saya dari FIB.”
“Jauh banget? Hujan-hujanan dari FIB, Mbak?”
Berulang kali kepala Upin toleh ke sebelah kiri dimana jarak duduk Lilis hanya dua jengkal darinya.
“Iya, saya suka mandi hujan soalnya.” ujar Lilis lagi sambil terus tersenyum.
“Hati-hati masuk angin, Mbak.”
“Iya, kayaknya bakalan masuk angin, sih. Minta doanya semoga saya gak sakit ya, Mas.”
Ramah dan menyenangkan. Upin jarang betah duduk atau ngobrol berlama-lama dengan perempuan karena dirinya kerap kali merasa canggung dan berakhir kabur entah kemana. Tapi, Upin ingin mendengar lebih banyak kalimat keluar dari mulut Lilis.
“Mas?”
“Ya?”
“Kenapa bengong?”
“Hah? Itu, Anu, saya cuma kaget. Beneran gak kedinginan?”
“Dingin siihh... Tapi gak apa, sebentar lagi saya dijemput, kok. Makasih ya niat baiknya, Mas.”
“Ah, Ok.”
Hujan yang tadinya cuma hujan panas biasa dengan masih ditemani langit cerah kini berubah makin suram. Tadinya sudah sisa rintik-rintik kini datang semakin keroyokan.
Angin juga ikut-ikutan gak mau kalah, betulan muncul ribut-ribut. Pohon-pohon besar mulai teriak minta tolong karena begitu kencang angin berhembus.
Upin kembali menaikkan kedua kaki dan bersandar pada tiang pendopo, duduk menghadap ke arah timur demi menilik paras Lilis lebih lama.
Lilis sibuk tiup-tiup kedua telapak tangannya berusaha menghangatkan diri.
Terlalu cantik buat jadi figuran di hari yang suram ini. Terlalu lucu sebagaimana tangannya berusaha meraih tetes air yang jatuh dari atap pendopo lalu ditarik lagi sebelum bersentuhan dengan air.
Upin memutuskan membuka aplikasi kamera di gawainya dan memotret keindahan di hadapan netranya. Hasil fotonya buram karena lensa kamera yang terciprat air hujan, tapi sudah tidak ada kesempatan lagi untuk memotret karena Lilis tiba-tiba duduk lurus dan menoleh.
"Kenapa? Sadar kamera, kah? Mendadak masuk angin? Atau...?" isi kepala Upin mulai berkecamuk.
Cahaya kilat melesat, mata Upin dan Lilis lamat-lamat berkedip kaget.
"Takut? Sama petir?" Upin ngebatin lagi menimbang-nimbang khawatir sama perempuan lucu itu.
Rasanya seperti dapat sinyal pertanda ada rasa takut mulai merambat muncul ke permukaan. Upin berinisiatif mendekatkan duduknya dengan Lilis. Bergeser perlahan, menghabiskan jarak.
Kemudian bahu mereka bertabrakan.
Kilat menyambar, kali ini gemuruh petir mengikuti.
Bahu yang sebelumnya menempel dengan bahu itu, kini bersitatap. Wajah masing-masing anak manusia itu bertemu satu sama lain. Sengatan listrik berpercikan seiring tubuh yang saling bersinggungan dan napas saling bertemu.
Langit seperti sedang muntah meluapkan segala amarah, membuat manusia di bawahnya bergetar ketakutan.
Ada urgensi yang tiba-tiba muncul di kepala Upin untuk membawa Lilis lebih dekat.
Sepersekian detik, Upin meraih lengan lilis masuk ke dalam rengkuhannya dalam-dalam memastikan perempuan itu menemukan rasa aman dalam peluknya. Meraup kepalanya dan menutup kuping Lilis berusaha memberikan suhu tubuh yang hangat.
Perbedaan ukuran tubuh yang begitu signifikan membuat Lilis dengan mudah terlingkupi. Yang ada dalam pelukan pun mematung, tidak bergerak maupun menolak.
Semua berlalu dengan cepat.
Hangat dan kikuk dalam satu detik yang sama.
Dan ada yang berdesir di dada Upin.
Tidak ada penolakan. Tidak ada yang menepis kedua lengan Upin yang kurang ajar itu.
“Mas? Hmm—S-Saya gak takut petir Hehehe…” ujar Lilis sambil mendongakkan kepala keluar dari sisi leher Upin lalu menangkap kelopak mata Upin yang masih tertutup erat.
“Halo?”
Harga diri Upin agaknya sudah menguap entah kemana.
Upin benar-benar merutuki diri sendiri dalam hati. Upin cepat-cepat menarik kedua lengannya dari bahu dan punggung Lilis.
Lilis mundur perlahan sementara Upin sudah melompat hampir jatuh ke belakang.
“Eh, maaf. Itu petirnya… kirain Mbak-nya takut… em maaf ya” ujar Upin, ia sudah siap menerima satu atau bahkan beberapa jotosan dari Lilis.
“Gak apa-apa, Hahahaha…,” Lilis geleng kepala dan melambaikan kedua tangannya sambil terpingkal-pingkal.
“Mbak sekali lagi saya mohon maaf, gak ada maksud lancang. Murni karena kaget aja.”
Berulang kali Upin meminta maaf sambil menundukkan pandangan dan melipat kedua tangannya di depan dada supaya gak sembarangan lagi menyentuh kemana-mana.
“Iya… Hahaha… Malah saya kira Mas-nya yang ketakutan." Habis Upin di tertawakan. Membuat muka, telinga, bahkan tangannya memerah semuanya.
"He.. He.. He.. Maaf..." :D
"Aduh lucu banget! Tapi, makasih loh! Hahaha…,” Lalu Lilis menepuk bahu Upin pelan. Pelan sekali. Sentuhannya lembut.
Samar-samar suara klakson mulai berisik membuyarkan tawa mereka berdua.
“Sudah dijemput! Saya duluan ya!”
Lilis berlari, punggungnya pergi menjauh. Tubuh basah kuyup itu masuk ke dalam mobil yang cukup familiar di mata Upin.
Lilis berbohong. Lilis tidak dijemput Bapaknya. Karena tidak ada anak perempuan yang menyambut kecupan di pipi terus memeluk erat laki-laki yang umurnya tak jauh beda seakan tiada hari esok.
Sejak hari itu Lilis dapat ditemukan dimana-mana. Eksistensinya ada pada pendopo lama yang sudah lapuk pondasinya. Kadang hangat tawanya masih tertinggal dan berdengung di telinga, mudah diingat dan tak mudah dilupa. Kemudian presensi dia mulai bermunculan setiap hari karena kini dia ada di sela-sela pikiran Upin melalui kebersamaannya dengan Rizky sahabat karib Upin.
Hari ini sekali lagi semesta mempertemukan Upin dan Lilis yang duduk termenung di Haodinata Studio tempat Upin bekerja.
Lilis menangis, riasannya luntur.
Lipstik di bibirnya berantakan.
“Maafin aku, Lis. Aku belum bisa ngasih apa yang kamu mau.”
Suara Rizky di seberang sana terdengar sangat jelas sebelum ia menutup sambungan.
Ironis.
Begitulah hari ini Upin menutup studio diiringi isak tangis Lilis. Sebab yang ditunggu tak kunjung datang sementara Upin yang masih menunggu di sisinya gak tega untuk menginterupsi.
Kalau memang begini jadinya mungkin Upin gak sudi berlama-lama neduh di pendopo, waktu itu. Mungkin harusnya Upin lebih berani untuk menolak permintaan Rizky. Mungkin harusnya Upin gak meraih Lilis. Mungkin harusnya Upin gak perlu menawarkan bahu. Semua 'seharusnya' itu semata-mata untuk menghindari perasaan asing di dada yang gak bisa Upin terima.
Angin malam yang menerobos kulit Upin membuat ia bergidik dan kembali berperang dalam pikirannya.
Lilis yang menyapa dengan senyuman tadi siang lantas berakhir meneteskan air mata di bahu dan punggung Upin. Rizky yang semulanya tempat peristirahatan berbagi ruang dan cerita kini mulai dipertanyakan keberadaannya. Bahkan Upin mulai ragu dengan diri sendiri karena Lilis yang ada di boncengan jadi jauh lebih penting ketimbang apapun peringatan yang diberikan Rizky ke Upin.
Tapi, untuk pertama kalinya ia ingin bodo amat sama apa yang sudah di tulis semesta. Lilis memantik sesuatu yang Upin bahkan gak pernah menyangka bahwa dirinya akan pasang badan dengan berani.
Selama Upin bisa melihat Lilis baik itu tangis maupun tawanya, selama itu Upin mau ada buat Lilis. Tanpa berkesudahan.
Selamat, hari ini kamu sudah jadi pecundang yang percaya bahwa bahagia tidak akan pernah mengikutimu.
Wholeheartedly,