Kelabu Merona
Harry adalah kelabu.
Harry ada di antara hitam dan putih.
Monoton.
Monokrom.
Terperangkap dalam pusaran rutinitas yang cenderung monoton menjadikannya sulit dikenali. Duduk di meja kerja, menatap layar laptop penuh kumpulan data, ditemani secangkir kopi hitam. Tidak ada interaksi langsung, lebih condong menaruh minat untuk mengurung diri dari dunia luar, menikmati kekosongan hidup.
Mungkin pola hidup ideal yang selama ini ada membentuk gagasan bahwa bernyawa adalah fundamental dan sukacita baru hadir apabila dunia berkenan.
Jadi, Harry hanya menjalani karena selebihnya sudah di luar kendali.
Semua dalih itu tidak menutup mata orang-orang di sekitar bahwa Harry hanya seonggok daging tak berjiwa.
Kendati demikian, Harry lebih suka berdiri di celah redup dan redam.
Harry kelabu—dia bukan orang jahat, dia hanya anak manusia yang tidak sepenuhnya bahagia.
Tapi hari ini langit jauh lebih menginterpretasi kata kelabu.
Cakrawala pagi gelap dan berawan. Harry menghela napas, merapikan lekuk dasi di leher, lalu siap menarik tangan si kecil untuk dibawa menerobos keramaian hiruk pikuk tawa, cemas, dan doa penuh harapan yang berlalu lalang. Semua dengungan campur aduk dari anak dan orang tua masing-masing sembari bolak-balik buka kertas dalam map. Umum terjadi di hari pengambilan laporan hasil belajar.
Dengan napas berat seakan membawa beban tak terlihat, Harry menatap kosong ke bawah tepat pada puncak kepala anak laki-laki yang tingginya tak sampai sepinggang.
Si kecil lantas mendongak membalas tilikan Harry dengan wajah tanpa ekspresi.
“Ruang kelasnya yang sebelah mana, Yasa?”
Harry buka suara. Senyum yang terukir di wajahnya tak pernah benar-benar mencapai mata dan dialognya terdengar hampa. Setidaknya Harry sudah berusaha menyesuaikan energi untuk berkomunikasi dengan anak kecil. Walau Yasa tetap tidak suka dengan nada datar pamannya.
Sekali lihat, semua orang juga bisa paham bahwa laki-laki bertubuh jangkung bersama penampilan apik nan teratur itu memantulkan mimik tidak betah bergandengan tangan melintasi lingkungan taman kanak-kanak yang penuh aneka warna.
Padahal Yasa juga benci dalam posisi ditinggal Mami dan Papi ke luar negeri terus digantikan oleh Uncle Harry yang tidak ada ramahnya sama sekali.
“Cepat. Tunjuk ruang kelasnya. Gue ada rapat dua jam lagi—,”
Bawel, batin Yasa.
Yasa tarik kelingking Harry sontak membuat yang lebih tua berjalan maju sambil merunduk mengikuti arah keponakan.
Jari telunjuk Yasa jadi kompas memberi arahan membawa Harry berjalan mengitari lorong-lorong kelas.
Harry memasukkan tangannya yang bebas dari genggaman ke dalam saku menambah kesan acuh tak acuh ciri khasnya.
Dalam benak Harry timbul sekian skenario bahwa akan lebih baik apabila ia tidak mengindahkan jadi wali murid pagi ini sementara Yasa sibuk ngedumel dalam hati sebab keputusan tidak bijak kedua orang tuanya.
Jadilah dua anak manusia yang saling membenci presensi satu sama lain berjalan bergandengan, walau raut muka masing-masing jelas mewakili isi hati.
“STOP.”
Jari telunjuk Yasa memberi isyarat bahwa ruang kelas dengan pintu kaca penuh ornamen origami warna-warni adalah titik tujuan mereka.
Lalu Harry berhenti saat kaki Yasa berhenti.
Ruang kelas yang Yasa tunjuk tepat di seberang lapangan tempat mereka berdiri.
Harry jadi bingung karena arahan keponakannya sama sekali tidak akurat.
“Udah sampai?”
Tidak ada jawaban dari Yasa.
“Kenapa berhenti kalau belum sampai?”
Yasa masih enggan menanggapi.
Harry tidak terbiasa akan hal selain hitam dan putih.
Harry tidak suka jawaban di antara iya dan tidak.
Mengingat bagaimana Harry merupakan deskripsi dari hal-hal yang abu-abu, mendampingi anak ingusan mengharuskan Harry untuk mengeluarkan energi ekstra menghadapi wataknya yang pancaroba.
Harry menghela napas berat lalu jongkok menyatukan pandangan dengan Yasa.
“Lo kenapa mendadak irit bicara? Nilainya jelek, ya?”
“...”
Harry dan penilaian tajamnya selalu berhasil buat Yasa kesal, soalnya betul.
Jadi, Yasa kembali mogok bicara dan hanya memandang Harry dengan tatapan kosong.
“Kenapa mukanya cemberut jelek?”
“Yasa hates Uncle Harry.” teriak Yasa sebelum menendang tulang kering Harry.
“ADUH!”
Habis sudah kesabaran Harry menghadapi tingkah bersungut-sungut yang memakan waktu ini.
Harry tidak peduli.
“Gue harusnya yang ngomong begitu. Lo pikir kerjaan gue sebanding dengan ambil rapor di sekolah warna-warni ini? Gue paling benci buang-buang waktu. Lihat, notifikasi gue udah penuh sama panggilan kerjaan. ”
Harry melambungkan telepon genggam di hadapan wajah Yasa sehingga cahaya layar menyilaukan pandangan Yasa.
“Uncle Harry negative aura. No rizz. No sigma. No skibidi.”
“Ngomong apa—Hei?! Jangan lari!”
Tidak pernah terbesit dalam pikiran Harry bahwa dia akan terjebak dalam situasi konyol dimana dirinya dalam balutan setelan jas, sepatu hitam mengkilap, dan rambut yang sudah tertata sedemikian rupa akan berakhir berantakan. Harry berlari mengejar anak kecil yang barusan menginjak sepatu pantofelnya sampai bercak lumpur.
Kan, jadi repot.
Lari menyeberangi becek lapangan bahkan hampir kepleset ketika sampai di lorong kelas yang lantainya beralaskan keramik.
Harry sisir asal rambut acaknya dengan jari sambil matanya mengikuti laju gerak Yasa memasuki ruang kelas paling pojok.
“Yasa!” suara Harry menggema memenuhi ruangan dan napasnya yang tersengal jadi figuran.
Pelan-pelan mata Harry memindai ruangan yang dimasukinya, burung origami bergelantungan di langit-langit, gambar dengan pola acak yang jujur saja menurut Harry tidak ada unsur estetika yang begitu berarti tertempel di tiap sudut dinding, lalu meja dan kursi warna-warni khas kanak-kanak tersusun rapi di tempat masing-masing.
Lantas hal terakhir yang mata Harry tangkap ialah sosok perempuan berkacamata, pulpen tertancap di cepolan rambutnya, disempurnakan dengan bibir merah yang menarik perhatian.
Sera jongkok menyambar Yasa masuk dalam pelukan kemudian mengusap kepala dan bahunya.
“Huhuhuhu… Yasa kangen Mom and Dad. Yasa benci Uncle Harry. Yasa benci sekolah!”
“Shhhh… It’s okay, sayang. Teacher Sera disini.”
Teacher Sera—sosok perempuan yang memeluk Yasa itu tampak sangat naluriah, senyumannya hangat, dan setiap kata yang dia ucapkan tulus menenangkan.
“Anak nakal…,” Harry melangkah maju hendak menjemput telinga Yasa dalam sekali jewer sebelum tangannya tersengat listrik akibat pukulan dari telapak tangan Sera.
“ADUH!”
Aduh kedua.
Sera menaikkan alis tidak habis pikir melihat tingkah unik laki-laki berpostur proporsional dengan penampilan bersahaja dibersamai parasnya yang rupawan berdiri congkak di hadapan Sera.
“Itu dia monster berlidah tajam, Teacher Sera. Yasa benci Uncle Harry.” Yasa semakin mempererat pelukannya pada tubuh Sera terus benamkan kepala di ceruk leher gurunya.
“Uncle Harry?” tanya Sera ragu.
“Saya… Harry.” Harry angguk kepala mengiyakan pertanyaan Sera sambil membantunya berdiri, menarik Yasa lepas dari peluknya yang kemudian memperlihatkan bagaimana kerah kemeja Sera basah akibat air mata Yasa. “Saya wali murid Yasa.”
Cepat-cepat Sera menepis lututnya menghilangkan debu bekas bertelut untuk gapai Yasa tadi, lalu lanjut lap tangan sekilas di atas fabrik rok span yang ia kenakan, kemudian tangannya siap menjabat tangan Harry.
“Oh—saya Sera. Wali kelas Yasa.”
Harry menilai pemandangan barusan cukup sembrono dan jauh dari prinsip etika yang dia pegang. Sementara, Sera ikut mengerutkan jidat melihat bagaimana Harry memandangnya remeh. Keduanya sama-sama tidak sudi bertukar senyum.
“Silahkan, Pak.”
Usai agenda jabat tangan yang amat kaku tersebut, Sera membawa Harry duduk di kursi berhadapan dengan meja guru di depan ruang kelas.
Di ruang kelas yang hening, aroma kertas dan tinta menyatu dengan harapan-harapan yang menggantung, gerak-gerik lihai Sera meneliti setiap lembar laporan nilai.
Harry menilai segalanya dari berbagai sisi dan hasilnya negatif. Baik itu dari perawakan Sera yang tampak terlalu muda untuk ukuran seorang tenaga pendidik, maupun dari tatapannya yang tidak ramah sebagai penawar jasa.
Padahal kalau boleh jujur, Harry yang lebih banyak sumbang energi negatif dalam ruangan sunyi ini.
“Baik, untuk ananda Yasa, ya.”
Satu-satunya yang apik dari penilaian Harry selain paras elok sang wali kelas adalah suaranya yang serak-serak basah.
Harry menikmati pemandangan di hadapan dimana bibir mungil ranum itu mengudarakan suara merdu nan sopan masuk telinga, sorot matanya yang tajam menjadi tantangan bagi Harry untuk terus mempertahankan kontak mata, dan lekuk jemari membolak-balik kertas laporan semester keponakannya dengan hati-hati.
Cantik, batin Harry.
“Uncle Harry! Fokus!”
Yasa yang sedari tadi duduk di pangkuan Harry lantas memukul dada pamannya supaya sadar dari lamunan.
“Maaf… gimana tadi? Pencapaian? Perkembangan?”
“Yasa butuh peran dampingan orang tua untuk mendukung perkembangannya, Pak. Terutama dukungan dalam membangun percaya diri.”
“Jadi keponakan saya bukan bodoh.”
“Pak?!” Sera menggertakkan giginya menahan diri apalagi waktu melihat bahu Yasa yang mendadak mencelos putus asa membuat Sera mengurungkan diri niat membogem laki-laki bermulut tajam di seberang meja.
“Tidak ada anak yang bodoh, setiap anak punya kesempatan untuk belajar, terlebih Yasa yang punya potensi untuk bersinar.”
Mata Sera sinis seolah siap menerkam Harry, lalu beralih menatap Yasa kembali dengan mode tatapan paling teduh.
Harry cukup terkesan karenanya.
“Baik. Thank you, Teacher Sera.”
“Jadi, mohon bantuannya ya, Pak Harry.” Sera memberi penekanan pada nama Harry mengisyaratkan peringatan supaya dia berhenti macam-macam.
Bukannya merasa tersinggung, Harry tersenyum miring. “Saya gak bisa bantu apa-apa.”
Yasa cegukan satu kali.
Harry hampir meloloskan tawanya sewaktu mendapati Sera naik pitam dengan kepalan tangannya seolah siap membanting meja.
“Baik.” senyum Sera sangat amat terpaksa, “Mungkin anda bisa bantu dari kebiasaan kecil seperti dukungan emosional pada setiap pencapaian anak.”
Harry mengerutkan jidat berusaha berpikir keras mengartikan maksud dari arahan Sera yang sebenarnya bentuk Harry menggoda Sera aja.
“Lo bisa apa, Cil.” tanya Harry dalam sekali lirik pada keponakan di pangkuan.
“Bisa buat transisi TikTok tanpa aplikasi tambahan, Koh.”
“Mantap.”
“DUH! BUKAN BEGITU.”
“Hahahahaha…” Yasa menertawakan amarah gurunya. “Teacher Sera merah!” Yasa tunjuk muka Sera yang merah padam kepalang emosi.
“Yasaaaa….”
Semua orang juga tahu kalau Sera udah kesal maksimal, tapi anehnya Harry mulai suka menonton gerak-gerik tak terduga itu.
“Dengar sayang,” Sera meraih tangan Yasa di atas meja lalu menyatukan kedua tangan mereka kemudian, “Yasa hebat, gak cuma jago edit transisi TikTok, tapi kamu juga rajin belajar.”
“Walau nilainya jelek?”
“Iya, bukan berarti kamu tidak pintar. Nilai hanyalah angka dan yang paling penting adalah bagaimana kamu terus berusaha.”
Yasa mengangguk lamat-lamat masih tidak percaya diri.
“Yasa lihat Teacher Sera, Nak.” Sera tarik perlahan dagu Yasa menyatukan pandangan.
“Yasa bisa. Yasa anak pintar. Percaya diri, ya?”
“Bagaimana caranya Teacher?”
“Ya, kayak lo edit TikTok aja, Yasa.”
Lagi-lagi celetukan sengit dari mulut Harry mengejutkan Sera hingga mulutnya nganga tidak percaya akan apa yang ia dengar barusan.
“Apa coba yang buat edit rasanya jadi menyenangkan?”
“Easy. Yasa coba-coba beragam cara sampai dapat alur yang tepat. Lalu dapat jumlah suka yang banyak. Yasa bangga.”
“Yaudah sama kayak belajar.”
“Belajar sulit Uncle Harry. Nilai Yasa tidak sebanyak jumlah like TikTok.”
“Makanya, Yasa harus coba beragam cara juga buat suka belajar. Semakin bisa karena terbiasa. Soal angka nanti akan mengikuti, yang penting kan usahanya. Iya gak?”
Yasa angguk kepala setuju.
Melihat obrolan eksentrik itu mulai mengarah kembali pada lajur yang benar, cepat-cepat Sera ikut nimbrung ambil alih sebelum keburu melenceng lagi.
“Nah, pinter. Gimana, Yasa? Janji buat lebih percaya diri aktif buat belajar setiap kelas?”
“Promise, Teacher Sera. Yasa mau coba.”
“Anak baik.” Sera usap kepala Yasa memberi afeksi bangga akan keberaniannya.
Belum ada satu menit atmosfer sentosa mengiringi sudah disambut lagi dengan ulah ganjil Harry yang tiba-tiba malah ikut menurunkan kepala minta diusap.
“Pak?”
“Saya berkontribusi buat meningkatkan rasa percaya diri anak murid anda. Problem solved, kan?”
“Ah… Iya, iya.”
Sera spontan mengusap kepala Harry sementara yang diusap diam mematung tidak menyangka guyonannya akan ditanggapi serius.
Harry adalah kelabu.
Sera adalah rona.
Maka sekali lagi mereka bertemu pandang dan gelak tawa jadi rangkaian yang kian beri warna kini, sekarang, dan kelak seterusnya.
***
Harry adalah kelabu, dalam buku agendanya terdaftar aktivitas repetitif yang menjadi rutinitas sehari-hari.
Monoton.
Monokrom.
Harry senang mengetuk jarinya di atas meja sambil isi kepalanya mengeliminasi butir-butir susunan kegiatan harian yang berhasil terlaksana tanpa hambatan. Terus berdehem menikmati bunyi jarum jam yang berdetak.
Sampai bunyi notifikasi mematahkan senyumannya.
Pick Up Yasa
📍Rumah Teacher Sera
Kini ada rona merah jambu yang muncul pada layar telepon genggam Harry, jadwal sekali seminggu jemput keponakan.
Hari-hari berikutnya, satu kali seminggu tepatnya hari sabtu jadi agenda rutin baru buat Harry mampir ke rumah mungil Sera untuk menjemput keponakan. Si kecil Yasa semakin menjadi manja dan lengket pada pelukan Teacher Sera dan tidak ada yang bisa protes.
Tetap saja masih terasa janggal dengan semburat warna yang pelan-pelan menelusup masuk memulas corak baru membuat Harry geleng kepala kewalahan.
Harry mendengus napas kesekian kali, “Repot… repot. Kegiatan tambahan anak-anak sekarang pada ribet. Peduli apa gue sama perkembangan motorik bocah?”
Begitu terus ocehannya sejak keluar ruang kantor, parkiran mobil, jalan raya, lampu merah, hingga kakinya berhenti menancap pedal gas tepat di depan rumah wali kelas keponakannya.
Seperti yang sudah tertera pada agenda, Harry datang ke rumah Sera pada sore hari, menjemput keponakannya yang manja. Namun tidak seperti biasanya dimana Yasa siap berdiri di depan pintu dan langsung melempar ranselnya untuk Harry bawa, justru hari ini pada ketukan ketiga tidak ada jawaban dari balik pintu.
“Permisi! Yasa… Sera… Masih rusak aja bel ini rumah apa susahnya manggil tukang—,” Harry masih ngedumel.
“Sebentaaaar…,” akhirnya ada suara dari dalam.
Ketika pintu dibuka oleh Sera, Harry merasa sedikit canggung.
Harry mendapati Mata Sera yang sayu, kaos putih yang ia kenakan longgar berantakan, rambutnya dibiarkan terurai panjang menyentuh lekuk pinggang.
Bahaya.
Harry cuma bisa menelan ludah sambil meragukan moralitas dirinya.
"Ah, Pak Harry! Maaf saya dan Yasa ketiduran." kata Sera sambil tersenyum sambil mengucek mata berusaha menyadarkan diri.
Harry sedikit terkejut dengan pemandangan barusan, namun segera membalas dengan suara pelan, "Gak masalah.”
“Silahkan masuk. Maaf berantakan.”
Harry mengangguk sambil tersenyum kecil.
Harry kembali lagi dengan tabiatnya yang suka mendikte segala hal itu. Lagi-lagi dekorasi warna-warni dengan ornamen berbagai macam bentuk gak jauh beda dengan ruang kelas taman kanak-kanak, pikirnya.
Jadi terbersit niat untuk menjahili Sera, “Betulan berantakan, ya.”
Harry senang mendapat respon sinis dari Sera persis seperti yang diharapkan.
“Posisi saya disini korban, Pak. Itu tuh tersangkanya! Habis acak-acak rumah ibu guru malah ketiduran.” Cerocos Sera kesal sambil ikat rambut berjalan menuju pantry memilah gelas-gelas kaca siap menjamu tamu.
Diam-diam semuanya itu Harry perhatikan dengan khidmat tidak rela ketinggalan barang satu detik pun pergerakan Sera seolah terhipnotis.
“Kopi, Pak?”
“Panggil Harry aja.”
Sera menaikkan alis.
“Iya, Kopi hitam.” lanjut Harry lagi.
“Sip. Kopi hitam untuk Harry satu. ” Sera tidak ambil pusing dengan permintaan mengejutkan Harry, soal julukan panggilan tentunya.
Kopi, sedikit gula, tinggi, wangi, Harry… sebentar.
Nampaknya Sera cukup terganggu melihat Harry yang berjalan santai masuk rumahnya seolah bukan pertama kali. Atau mungkin Sera lebih terganggu dengan pemandangan Harry yang melipat lengan kemeja keatas memperlihatkan urat di lengan. Parahnya lagi, Harry berdiri berkacak pinggang mengamati tiap pergerakan Sera dibersamai senyuman miring menyebalkan.
Sera menyisipkan rambut ke belakang telinga karena grogi dan buru-buru menyanggah, “Duduk di sofa aja, nanti gue antar kopinya.”
“Alright.” Harry angkat bahu langsung turut akan perintah Sera.
Harry menggeser mainan yang berhamburan di lantai menggunakan kakinya supaya dia bisa berjalan menuju sofa di ruang tamu tempat Yasa tertidur lelap.
“Tadi main rumah-rumahan, lihat dinosaurusnya bertebaran. Itu. Kesana. Di atas meja makan. Di atas kulkas.” Sera menunjuk ke rumah mainan dan tumpukan figuran dinosaurus dimana-mana. “Terus gempa bumi jadi dinosaurus musnah dan berevolusi jadi kelinci baik, disana.”
Si kelinci tertidur lelap sambil di usap-usap jidatnya sama Harry.
“Kenapa skenarionya acak amat?”
“Imajinasi Yasa.”
Harry lagi-lagi tersenyum sampai tulang pipinya menonjol.
“Terus, peran lo jadi apa?”
“Gue? Ratu kegelapan yang mengirimkan berita kepunahan. Kiamat.”
“Hahahaha—” belum puas Harry tertawa mulutnya sudah di bekap dengan telapak tangan Sera.
“Shhh… nanti kelincinya bangun.”
Harry diam kaku.
Matanya menyabit, pipinya memerah, senyumnya terus merekah lebar sambil mengangguk berjanji untuk tidak lagi berisik.
Mabuk… Mabuk.
Mabuk senyumannya Harry, tapi Sera lebih baik menyeruput air mendidih.
Sera mengepalkan tangan menahan diri sambil kembali merapalkan mantra supaya dia terus ingat bahwa Harry adalah wali anak muridnya.
Moralitas Sera dipertanyakan.
“Ini kopinya.”
“Thank you.”
“Cocok, ya? Gue jadi ratu kegelapan?”
“Muka lo judes.”
Sera duduk lesehan di bawah kaki Harry membuat laki-laki itu otomatis ikut turun dari sofa ikut gabung duduk lesehan supaya matanya berhadapan langsung dengan Sera.
“Iya, sih. Hampir semua orang yang kenal sama gue pasti selalu bilang kalau tampang gue terlalu judes untuk jadi seorang guru.”
“Tapi lo cocok, sama anak-anak.”
Terlampau nyaman, Sera melipat kakinya depan dada dan menyandarkan dagu di antara kedua lutut. Ceritanya ambil posisi paling nyaman berhadapan dengan si paling rupawan.
“Iya, gue suka. Cerianya nular. Capeknya ngajar terbayar sama tawa ceria anak-anak. Apalagi kalau pada pinter-pinter, gue yang bangga.”
Harry menyeruput kopi lamat-lamat.
“Lo sendiri gimana? Pasti seru ya main sama Yasa terus.”
Harry geleng kepala.
“Gue gak jago main sama anak-anak. Capek. Nguras energi.”
Sera tidak bisa menahan tawa melihat Harry mengurut tulang hidungnya walau hanya karena membayangkan bermain bersama anak-anak yang katanya menguras energi itu.
“Padahal Yasa salah satu anak yang gak banyak berisik, lho.”
“Yasa? Gak berisik?”
“Hahaha… paham-paham. Yasa emang punya porsi imajinasi yang cukup luas.”
“Terakhir kali gue adu mulut sama itu anak juga habis rambut gue diacak-acak cuma karena penampilan gue ingetin dia sama monster di mimpinya. Halu.”
Ternyata Harry bawel juga, pikir Sera.
Melihat bagaimana bibir tebal Harry terkelepai ke bawah akibat ocehan penuh amarah itu membuat Sera terpingkal.
“Hahahaha—,”
“Shhh… nanti dia kebangun.”
Kali ini Sera yang mulutnya dibekap tangan Harry. Aroma manis dari kulit Harry membuat Sera merutuk diri membayangkan bagaimana aroma lengket lem dari slime mungkin jadi impresi Harry sewaktu tangannya meraup wajah kecil itu tadi.
“Hmpph—”
“Tenang…,” ujar Harry sembari meregangkan bekapan pada mulut Sera.
Sidik jari Harry pelan-pelan bersentuhan dengan kulit muka Sera, bermaksud ingin lepas. Tapi pikiran impulsif Harry seakan mendorong dirinya untuk terus maju hingga jemarinya tahu-tahu sudah menggerayangi bibir Sera dengan usapan kecil gesek kiri dan kanan.
Sementara yang dijamah hanya bisa tertegun menelan ludah sebab nyawanya sudah melayang entah kemana.
YA IYALAH, NGAPAIN COBA?
Sera melongo sekonyong-konyong.
“Gue,” Harry bersuara namun jiwa Sera sudah di nirwana. “Terlalu antagonis, ya?” lanjut Harry lagi yang menjatuhkan Sera kembali menapak ke bumi karena pertanyaan barusan terdengar cukup ganjil.
“H-hah?”
Wajar apabila Sera terengah-engah akibat alih topik mendadak—juga sentuhan seenaknya barusan.
Harry merapatkan duduknya hingga lututnya bertemu lutut Sera.
“Apa itu alasan Yasa benci sama gue? Karena gue jahat.” cicitnya berbisik.
“Semua tentang lo yang gue pernah dengar dari Yasa selalu oponen.”
“Berarti, benar. Gue jahat. Memang kalau dari sudut pandang anak-anak orang dewasa selalu jadi yang jahat. Gak tau aja lebih ngerepotin siapa. Antar-jemput. Temenin makan, main, belanja. Ladenin agenda main peran, polisi-polisian lah, rumah-rumahan lah, perang lah, apalah.” Harry mengeluarkan uneg-uneg dalam satu tarikan napas pada bisik-bisik penuh emosinya. Matanya lucu berlarian kesana kemari, bibirnya sibuk komat-kamit, dadanya naik turun gak kalah semangat.
Tapi menurut Sera bukan marah yang terpancar dari dialognya, melainkan rasa sayang.
Hampir saja tawa Sera lolos dari tenggorokan tapi dia segera mengurung niat dengan geleng kepala, “Harry, coba kesini.”
Habis sudah jarak di antara mereka. Harry dan Sera.
Pipi satu sama lain mulai memerah serta ditandai rasa hangat mengalir di kedua bongkah pipinya masing-masing.
Posisi bibir nyaris saling bersentuhan, napas bersahutan, dorongan hati sampai di puncak, “Harry baik.”
Mata Harry berkedip-kedip entah berapa kali. Tubuhnya mundur mengambil jarak dari Sera.
Sama halnya Sera yang pelan-pelan menjauhkan tubuhnya dari wajah Harry lantas membuat darahnya kembali mengalir seperti seharusnya.
“Lo sayang sama Yasa, Harry.”
Harry kaku tanpa suara.
“Yasa butuh Uncle Harry sebagai villain dalam cerita kehidupan Yasa, Koh. Selalu jadi antagonis, ya?”
Suara Yasa.
Yasa yang dari tadi sudah terbangun garuk kepala kemudian menguap kembali menjatuhkan kepala di atas sofa.
“Hahaha…”
“Hahaha…”
Harry dan Sera tertawa untuk kesekian kalinya.
“Tuh! Dengerin kata si kecil.”
“HEH. Malah balik tidur. Ambil tasnya. Ayo bangun-bangun, pulang!”
“Ngantttuuuukkkk… balik cium Teacher Sera aja gih sana.”
“Yasa!”
“Yasa!”
Untuk pertama kalinya Harry membiarkan dirinya terbawa arus, tidak lagi berjaga-jaga, jauh dari kata hati-hati. Ada perasaan ringan yang kerap muncul setiap Harry menemukan Sera tertawa dengan ceria. Harry ingin punya perasaan ini untuk waktu yang lama.
***
Frekuensi pertemuan Sera dan Harry kian signifikan.
Kehadiran Harry tumbuh di sela-sela istirahat Sera, sementara Sera selalu ada di sela-sela kesibukan Harry. Konversasi jadi jeda dari hiruk pikuk dunia dan segala tanggungan yang harus dipikul.
Usai berhasil melewati hari sibuk yang terasa amat panjang lalu menghilangkan penat dengan duduk di beranda rumah Sera sambil memandang langit malam menjadi opsi paling nyaman.
“Ngelamun, Pak?”
“Sini.” Harry tepuk lantai di sebelah duduknya menepis debu kemudian mempersilahkan Sera bergabung bersamanya.
Perempuan itu melangkah hati-hati dengan secangkir kopi di tangan.
“Memangnya dapet apa kalau setiap burnout larinya kesini?” tanya Sera, sarkas.
“Secangkir kopi dan senyuman manis.”
“Yeh, gue siram pake kopi lo ya!”
Dan selanjutnya, tawa bergaduh jadi satu—situasi yang baru terasa familiar akhir-akhir ini.
“Rumah lo amburadul.”
“Muka lo kusut.”
“Memang sibuk atau malas bersih-bersih aja?”
“Malas.”
“Jorok.”
“Bodo.”
Harry terkekeh.
“Malah ketawa. Mana ringtone alarm agenda harian lo yang kayak sirine kebakaran itu? Tumben gak bunyi.”
“Lagi malas.”
“Tumben?”
“Udah lama malasnya, sejak kesini jadi sering malas.”
“Maaf deh kalau rumah gue terlalu nyaman.”
“Iya, nyaman.”
Sera diam, matanya memandang ke atas langit malam berhamburan bintang.
“Gimana hari ini? Kerjaan lancar?”
“Lancar.”
“Gak ada hal yang mengganggu?”
“Kenapa?”
“Biasanya lo ngomel-ngomel soal kerjaan atau hal-hal yang gak sesuai agenda harian yang udah lo organisir itu.”
Menurut Harry, kepekaan Sera jadi hal paling atraktif sehingga dia tak bisa lepas dari gempitanya.
"Harry, kenapa lo selalu kelihatan kosong?" tanya Sera tiba-tiba.
Sera menyambar kedua tangan Harry membuka masing-masing telapak tangan lalu jarinya terulur menelusuri garis-garis di telapak seolah mencari cerita dibaliknya.
“Ngapain?” ujar Harry.
“Maksud gue, gue gak masalah sama protes marah-marah lo setiap mampir kesini. Gue pun suka lihat lo ada di puncak amarah sampai muka merah. Gue ngerti lo cuma lagi cari pelarian dari kesibukan pekerjaan dengan cara cari angin disini.”
Bukan cuma Harry yang suka evaluasi ujung kepala hingga ujung kaki, Sera juga punya mata. Pemandangan Harry dengan rambut acak-acakan dan kemeja kusut mencuat keluar dari balik celana jadi makanan sehari-hari Sera. Mungkin Harry tidak sadar bahwa kebiasaan mencantolkan dasi di gagang pintu, berjalan mencak-mencak dengan segala jenis sumpah serapah keluar dari mulut, melempar asal telepon genggam yang sudah mati total ke sofa, lalu mendudukkan pantat di lantai beranda rumah Sera jadi urutan rutinitas Harry setiap kali dia berkunjung.
Berulang, semuanya itu Sera tertawakan seiring menyeduh air panas untuk dituang pada bubuk kopi yang sekiranya bisa mengembalikan suasana hati Harry.
Sera gak ambil pusing. Tapi, rasa ingin tahu kian menumpuk.
“Setiap duduk di sini tatapan mata lo kosong, Harry.”
Harry bungkam. Dia tidak tahu harus berkata apa.
“Mungkin lo perlu belajar cari kebahagiaan-kebahagiaan kecil supaya jadi lebih hidup.” lanjut Sera lagi.
Harry tertegun tenggelam dalam pikirannya sendiri sementara Sera masih asik menggores telunjuknya pada gari telapak tangan Harry.
Harry adalah kelabu.
Sera adalah rona.
Seharusnya mengunjungi rumah kecil yang isinya didominasi warna pastel dan bercengkrama bersama pemiliknya yang adalah seorang guru dengan topik obrolan semarak cerah ceria kanak-kanak menjadi hal yang paling bertentangan dengan hitam dan putih Harry.
Tapi, Sera adalah rona.
Sera terbuka terhadap semua jenis warna.
Jadi, berpulang ke rumah Sera dan menutup hari dengan kopi buatannya membuat Harry merasa seolah dipeluk hangat tanpa merasa bersalah. Karena Sera hanya akan tertawa ketika Harry ngomel-ngomel juga Sera akan ikut diam ketika Harry terduduk melamun tanpa nyawa. Sera selalu mengerti cara menemani.
“Dapat kesimpulan dari mana? Kalau gue gak bahagia?” tanya Harry penasaran.
Sera tersenyum lembut dan jarinya menekan telapak tangan Harry.
“Dari sini.”
Harry mengerutkan dahi kebingungan.
“Gue ini bisa baca garis tangan, lho.”
“Bohong.”
“Beneran! Lihat ya…”
Sera masih aktif menelusuri garis tangan Harry dengan telunjuknya.
“Coba sini menurut penglihatan Teacher Sera…,” Sera menutup mata dan tangannya yang satunya bebas menerawang di udara memparodikan peramal ahli. “Garis hidup lo terlihat kuat. Lo orang yang pantang menyerah, ya. Hm… Iya… Iya… Setiap garis seakan berputar, melengkung, tapi tidak pernah patah."
Harry tertawa kecil mulai merasa semuanya tak masuk akal.
“Gak percaya beginian, tapi okelah. Lanjut, lanjut.”
“Percintaan… Hm, menarik. Garis ini panjang, berkelok, dan terlihat penuh makna. Cinta yang kuat, tak mudah terbalik.”
“Hahahaha… konyol sumpah.”
“Coba kita baca peruntungan finansial ya…”
“Udah, udah. Stop. Hahaha…. geli….” jadilah tangan Harry digelitik jari jemari iseng Sera.
Harry yakin rasa hangat yang diam-diam melingkupi jantung hatinya itu tidak bisa sembarang ditafsirkan. Harry sadar bahwa denyut debar itu harus dirawat waspada.
Di sisi lain, Sera menikmati tatapan teduh dari bola mata Harry.
Tanpa banyak pikir. Tanpa banyak tanya. Tanpa banyak ragu.
Tapi, sama-sama tahu aja juga gak cukup.
“Jadi, kebahagiaan kecil macam apa yang harus gue punya?” tembak Harry lagi.
“Mungkin lo udah punya kebahagiaan itu dan udah waktunya untuk lo sadar dan berserah merasakannya.”
“Lo… kenapa bisa tahu lebih banyak soal gue melebihi diri gue sendiri?”
“Karena gue lebih suka melihat segala sisi pakai hati.”
Harry memandangnya, merasakan kehangatan dari kata-kata Sera. Sederhana, tetapi ada sesuatu yang mulai berdesir di dalam diri Harry.
Harry suka terkungkung dalam keteraturan yang kaku dan monoton. Bukan karena dia tidak ingin merasakan kebahagiaan, tetapi karena dia selalu merasa tidak cukup layak untuk merasakannya.
Sementara Sera selalu bersama senyum cerah yang Harry tidak pernah kira akan ada dalam jangkauan.
Kacau.
Segala cermat dan saksama dalam hidupnya jadi kacau karena duduk santai di rumah Sera kini jadi paling tinggi kepentingannya melebihi hitam dan putih.
Harry menatap cangkir kopinya yang sudah mulai dingin.
"Gue hidup." Harry menarik napas dalam-dalam. "Gue hidup melalui gusar dan sunyi. Iya, walau memang asalnya dari marah-marah gak jelas atau bahkan lamunan kosong. Tapi, gue hidup.”
Sera terdiam sejenak, lalu tertawa kecil.
“Serius amat? Ini kita masih parodi Mama Lauren, kah?”
“Enggak.”
“Maksudnya, gue juga udah menemukan kebahagiaan kecil itu.”
Harry memantapkan hati, Sera siap mendengarkan.
“Kalau sentimen-sentimen berlebihan bisa gue anggap hidup. Maka, menerima dan membuka diri jadi kebahagiaan kecil yang boleh gue rasakan.”
Sera mengangguk setuju.
“Banyak, Harry. Gak cuma marah dan diam. Rasa sayang lo ke Yasa juga termasuk kebahagiaan kecil. Gue harap akan lebih banyak kecil-kecil yang menggunung di kehidupan lo, ya.”
“Gak perlu banyak, rasanya terlalu muluk-muluk.”
“Harry… ayolah… Bisa gak sekali aja jadi optimis—”
“Lo salah satu dari kebahagiaan kecil itu.”
“Hah?”
“Iya, berekspresi, menerima diri, dan punya teman. Bahagia.”
Sera tersenyum manis, "Gue senang dengarnya, Harry."
Senyuman itu menimbulkan reaksi panas pada dada Harry. Rasa panas itu menjalar melalui saraf juga mengalir bersama darah mengitari peredaran tubuh Harry hingga titiknya berkumpul di kerongkongan.
Panas. Mendesak ingin keluar.
“Sera.”
“Iya?”
“Lo cantik.”
Sera geleng kepala, “Biasa aja.”
“Sera.”
“Hm?”
“Jadi bahagia gue selamanya ya, Sera.”
Pelan-pelan kelabu dan rona melebur.
***
Harry adalah kelabu.
Sera adalah rona.
Pelan-pelan kelabu dan rona melebur.
Kontradiktif pula selaras.
Sama halnya dengan situasi saat ini dimana bunyi alarm berdering keras namun pemiliknya tak kunjung bergegas, tak seperti biasanya.
Harry tertidur pulas dalam pelukan Sera, semakin memperdalam benaman kepalanya ke dalam rengkuhan hangat sang puan. Sera jadi gak tega membangunkan lelapnya tapi akan lebih mengkhawatirkan lagi membayangkan betapa hancur hati Harry apabila skenario hidup dalam agenda ketat miliknya itu jadi berantakan.
“Pak Harry…” ucapnya lembut. “Sudah waktunya kembali pada realita, Pak.”
“Hm…” Harry bergumam.
Mata sayu Harry, surai hitam legam acak-acakan, juga senyum manisnya menyambut Sera yang lebih dulu terbangun akibat silau matahari menembus dari jendela.
“Alarm lo bunyi, tapi notifikasinya kosong. Hari ini gak ada meeting, ya?”
Harry mengangguk cemberut, malah semakin masuk lebih lekat dalam dekapan Sera.
“Istirahat, Harry. Hari ini disini sama gue.”
“Ng…gak. Gue harus ke kantor.”
“Badan lo gatal-gatal ya kalau gak taat sama agenda harian lo yang super strict itu?” dengus Sera.
Lantas kepala Harry menyembul keluar, lalu ia menyipitkan mata ke arah Sera.
“Iya.” balas Harry.
Semenjak debar-debar tanpa arah waktu demi waktu Harry dan Sera habiskan bersama.
Bagi Harry, Sera seperti tongkat yang membantu Harry temukan kebahagiaan pada tiap langkahnya. Setiap kali Harry goyah dia siap memantapkan langkah apabila Sera ada dalam genggamannya. Maka eksistensi Sera jadi hal paling mutlak dalam hidup Harry.
Kunjungan setiap akhir pekan itu terus berulang jadi warna baru dalam agenda Harry. Tadinya satu warna merah jambu mencolok sebagai jadwal antar-jemput keponakan, kini jadi bertambah warna cerah lainnya yang diisi dengan berbagai kegiatan bersama Sera.
Tidak lagi secangkir kopi hitam, seluruh rumah pun jadi saksi tatap teduh penuh kasih hingga salah tingkah malu-malu dua anak manusia.
Banyak rona warna terpancar dari seluruh tubuh Harry dan perlahan mulai meniti bahagianya.
“Pinggiran rotinya mau di potong sekalian?”
“Gak usah.”
“Tumben.”
“Gak usah sarapan. Gue gak suka telat.”
“Logikanya aneh, justru gak sarapan bakalan ganggu fokus nanti.”
Harry berhenti bergerak di tengah memakai kaos menilik Sera dari kerah yang menyakut di kepala lalu menghela napas berat. “Ok. Sarapan.”
“Selamat makan tuan muda.”
“Maaf ngerepotin.”
“Gak, kok. Gue suka lihat lo makan.”
Harry geleng kepala, “Betul-betul skill ibu guru patut diacungi jempol.”
“Penuh kasih sayang, ya?”
“Iya.” angguk Harry.
Seolah tidak ada organ yang beresonansi tidak karuan di balik rusuk.
“Kemejanya mana?”
“Udah di mobil—sebentar. Sinian, bibir lo—ada selai. Nah, beres.”
“Thankyouuu…”
Siapapun bisa mengira yang barusan reka adegan pasangan suami istri baru menikah.
Keduanya sadar akan hal itu—hal soal kasih dan sayang, Sera sangat peka dan Harry tidak mau terbuai hingga larut.
“Gue…”
“Gue…”
Serentak.
“Lo duluan.”
“Lo duluan.”
Lagi.
“Hahahaha…”
“Hahahaha…”
Apalagi yang kurang kalau sudah sebahagia ini.
Akhirnya Harry yang lebih dulu buka suara tak mau menunggu lebih lama, “Boleh pakai aku-kamu, gak? Aku lebih suka kamu-kamu.”
Sera melongo.
“H-hah? Kenapa tiba-tiba banget? Tapi… kayak sama siapa aja, deh. Ha-ha-ha.” ketara tawanya terpaksa, jelas kaku begitu.
Harry tersenyum miring mulai gusar akan respon Sera.
“Nevermind.”
Ah, malah ciut.
Merdu tawa dan aroma manis mendadak lenyap ditelan sunyi.
Keduanya fokus melahap roti dalam diam. Namun hatinya berisik merutuki tingkah masing-masing.
Padahal, kesamaan paling signifikan antara Harry dan Sera adalah mereka tipe orang yang tidak pandai berbasa-basi dan cenderung apa adanya. Namun entah malu atau ragu apapun itu jelas mampu menggoyahkan keberanian.
Jadi, sebelum Sera buru-buru berpindah topik lalu mengembalikan alat makan pada tempatnya berakhir kembali tidur ke atas kasur membiarkan Harry mengejar kelabunya, Harry bulatkan tekad walau kepepet.
“Siapa?” tangan Harry menarik lengan Sera memaksanya kembali duduk.
“A-apa? Apanya?”
“Memangnya kayak sama siapa? Gue ini siapanya lo?” tembak Harry lagi, kali ini hujamannya jauh lebih menusuk karena Sera jadi diam membatu.
“G-gue… Gak tahu harus jawab apa. Gue gak tahu harus respon gimana. Lo—kenapa nanya begitu, sih?”
“Kamu, gak suka?”
“Apanya?”
“Aku-kamu. Aku mau aku-kamu.”
“Y-ya… gak masalah. Tapi alasannya apa? Maksudnya gue gak pernah—aduh gue ngomong apa, sih? Maaf. Maaf. Udah jam berapa, mending lo buruan berangkat sekarang udah jam berapa—”
Sera habis kewalahan.
Cengkram erat jemari Harry jadi cara Harry menyembunyikan gugup.
“Makasih, Sera.”
Sera menoleh dengan wajah penuh tanda tanya.
Harry menggenggam tangan Sera dengan lembut. "Aku yang kelabu dikasih kesempatan ketemu kamu yang selalu hidup penuh warna. Kamu gak segan-segan bagi bahagiamu supaya aku bisa rasakan hal yang gak pernah aku rasa." Harry berhenti, mencoba mengungkapkan apa yang terasa begitu sulit diucapkan.
Cengkramannya melonggar, bahunya melengos akibat hela napas.
Mulai paham arah bicara Harry, Sera tarik lagi kedua tangan Harry dalam genggamannya.
"Aku bukan satu-satunya di dunia yang hidup penuh warna," ucap Sera, tersenyum lembut.
]
"Setiap orang punya cara sendiri untuk menemukan kebahagiaan. Bahkan kalau kamu merasa kelabu, bukan berarti kamu gak bisa beri warna pada dunia. Setiap orang punya warna, Harry. Gak harus cerah, gak harus terang. Kamu salah satu bagian dari warna yang gak terlihat. Dan itu sudah cukup."
Sera tidak pernah memaksa Harry untuk menjadi sesuatu yang dia bukan. Justru, Sera memberi ruang baginya untuk menjadi dirinya sendiri, dengan segala gelap dan gulita yang ada dalam dirinya.
“Bahagia kecil-kecil asal dirasa satu-satu. Kamu udah cukup.”
"Jadi, bahagia sama-sama aku, ya?" tanya Harry pelan, matanya mencari jawaban di mata Sera.
“Bahagianya bentuk apa. Yang jelas. Pacar? Istri?”
“Nanti kamu panik.”
“OK. Sekarang pergi ke kantor dan kejar bahagia kamu yang adalah tercatat di agenda.”
Menjadi kelabu bukanlah salah. Dunia ini penuh warna, kelabu salah satunya.
Bersama Sera, Harry belajar bahwa cinta dan kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus ditemukan dengan cara yang cerah dan penuh kegembiraan. Terkadang, kebahagiaan itu datang ketika kita menerima diri apa adanya.
“Hari ini akhir pekan. Harinya bahagia sama kamu.”
Harry mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya bertemu bibir mungil Sera lalu dibawa dalam lumatan yang dikabulkan Sera bersama gigit-gitit kecil. Selaras.
Hari demi hari, langkah demi langkah, demi mencari bahagia-bahagia kecil.
Kelabu dan rona melebur.
Bersama Sera, Harry hidup.
Bahagia.