Kini kita tiba pada masa dimana Aji kecil sudah tidak lagi kecil. Entah kapan tepatnya tubuh Aji mendadak besar seperti raksasa dan ototnya menyembul dari balik seragam putih abu. Tingginya sudah jauh di atas pucuk kepala Rara.
Begitu pula Rara yang dulunya punya hobby bermain bola mendadak suka berdandan dan kerap menyapukan gincu di bibirnya setiap menit. Oh, soal obsesi Rara dengan cinta pun dulunya kokoh tapi kini ikutan mendadak mulai inkonsisten.
Dunia berotasi tanpa satu orang pun tahu apa rencananya.
“Udah, Ra. Ini pertanda bagus, lo dibukakan matanya supaya gak lama-lama pacaran sama cowok gak jelas.”
“Gue gak percaya cinta, Ji!”
Dialog antara dua sekawan tersebut muncul berdesakan dengan pekik klakson di tengah macet jalan Jakarta.
Aji dan Rara terjebak macet. Kalau kata Aji ini semua ulah Rara yang mendadak ingin ditemani ke event cosplay. Agenda kejar-kejaran foto bareng karakter anime sore itu sangat menguras energi dan ternyata memakan waktu cukup lama juga. Akhirnya, matahari sudah tenggelam tapi mereka berdua masih mengenakan seragam putih abu dan hanya bisa adu mulut di dalam mobil.
“Lo ngomong gak percaya cinta udah ratusan kali di tiap akhir hubungan yang berbeda-beda.”
“Emangnya apa kurangnya gue sih, Ji? Udah gue bolehin cium bibir gue juga masih aja demen nyariin cewek lain. Gue juga bisa kali cipokan sama anak kelas sebelah. Eh anjing kok orang pada gak maju-maju sih? Udah tau macet goblok dah!” pertanyaan dan protes saling menimpali sebagai respon Rara terhadap pernyataan Aji yang menyebalkan itu.
Menurut pengakuan Rara sih, dirinya gak pernah lupa soal prinsipnya yang tidak percaya cinta itu. Memangnya ia berpacaran dengan laki-laki ada artinya? Enggak. Sekadar buat seru-seruan aja.
Lalu disinilah Aji dengan muka yang kepalang kesal berusaha mendikte tindakan Rara.
“Memangnya lo gimana sama pacar lo? Baik-baik aja kan, Ji?”
“Dua hari lalu dia minta putus.” ucap Aji sembari membenarkan posisi kacamatanya yang aslinya tidak kenapa-kenapa itu. Kaku.
“Demi apa, Ji? Tuh, kan! Gue benar-benar gak percaya cinta!”
“Hahaha… gue sendiri bingung, sih. Gak berani deklarasi apa-apa. Gak ikut-ikutan.”
Apabila ditelaah dari dialog Aji, terdengar jelas bahwa ia punya konsep yang bertolak belakang dengan pemikiran Rara. Meskipun Aji bukan pribadi yang sudi repot-repot dalam urusan asmara, ia tidak mau bermain-main soal cinta, entah itu dalam bentuk sumpah serapah, maupun dalam bentuk tindakan seperti komitmen.
Makanya, Aji betulan bingung akan mulut Rara yang selalu berani mendeklarasikan hal yang selalu Rara anggap sepele itu.
“Ra, dulu waktu lo SMP diputusin si Reza juga lo ngomong hal yang sama dan seminggu kemudian udah pacaran lagi sama si Taufan.”
“Lah? Daripada elo? Dari SMP sampai SMA sama aja bolak balik putus nyambung sama si Sinbi. Lo beneran butuh psikolog, Ji!”
“Gue ngebosenin, Ra. Sinbi ngomong gitu.” memang sifat Aji yang cenderung cuek dan jarang peduli dengan lingkungan sekitar itu patut dipertanyakan.
“Hahaha…,”
“Ketawain aja terus, Ra. Lagian namanya juga remaja pacaran. Gak ada yang serius.”
Pasalnya, pribadi Aji sungguh segan untuk hal-hal romantis dan tak urung pula justru banyak menutup diri di saat seharusnya hubungan itu soal berbagi.
Begitu pula dengan Rara,
“Heh! Gue itu paling tau lo, Ji. Gue ini saksi kehidupan lo yang biasa-biasa aja itu. Gue kenal baik diri lo yang selalu lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan dengan nilai-nilai yang diidamkan sejuta mertua di dunia ini lo bisa dicampakkan perempuan gitu aja, Ji?”
“Ya… gak dicampakkan juga, Ra. Gue cuma—,”
“Shhh, gue ngerti. Cinta itu memang rumit. Sebaiknya jangan lagi percaya cinta.”
“Ya… ya… ya… Gue mendapat petuah dari cewek yang baru saja di selingkuhi pacarnya dan selingkuhannya adalah sahabatnya sendiri.”
“Anjing malah diingetin lagi. Lo tuh–Aji… Ih… Lo–Tega ya…” sebelum Rara dapat menyelesaikan kalimatnya segera dipotong Aji yang mulai sibuk mengusap air mata dan maskara di pipi Rara.
“Ra? Nangis lagi— Hhhhh, sorry… Sorry. Sorry.”
Malam yang semakin larut menjadi saksi dua insan yang masih bodoh soal cinta.
Aji. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi dengan jurusan Jurnalistik sebagai konsentrasinya kemudian lanjut bekerja dalam Industri Pers sebagai Wartawan merangkap Fotografer membuat rekam jejak kehidupannya terdengar mulus. Belum lagi perawakannya yang kerap kali menjadi topik hangat dari rekan wanita yang tak bisa dihitung jari jumlahnya. Terdengar sempurna bukan?
Oh, tapi tunggu sampai orang luar tahu bagaimana susahnya meliput berita kesana kemari menerjang macet dan cuaca yang tidak kondusif. Belum lagi tambahan masalah dimana dirinya sering dijadikan tumbal model sukarela baik dalam pemotretan cetak kalender kantor hingga shooting video tiktok dalam rangka rekrutmen pegawai baru. (berusaha kabur 5 kali dan gagal kabur pula sebanyak 5 kali)
Aji adalah tipe manusia yang ramah dan hadirnya selalu berkesan. Ia suka memperhatikan sekitar, ia juga senang menjulurkan tangan apabila dibutuhkan. Presensinya ada dimana-mana, ia ada di hampir setiap gosip harian di kantornya, ia ada di bisikan-bisikan pujian tersembunyi baik dari balik suara di lift hingga di sela-sela sekat antar kursi dan meja di gedung kantor. Bahkan namanya juga kerap kali muncul dalam obrolan pagi tetangga kiri dan kanan. Isi dari semuanya itu sama, berharap ingin memiliki Aji.
Namun, Aji terlalu acuh akan hal-hal merepotkan seputar romansa. Ia tak peduli akan hati yang kerap berharap lebih kepadanya. Toh, bukan urusan Aji?
Ada terlalu banyak poin dalam to do list di buku agendanya untuk di ceklis, sehingga membangun hubungan dengan komitmen adalah hal terakhir yang ada di pikirannya.
Satu-satunya hiburan dalam hidup Aji yang monoton adalah Rara. Sahabat perempuannya sejak dari baru lahir.
Rara dengan hidup bak roller coaster, ia dinamis. Namun ada satu hal yang sudah mutlak dan semua orang sudah tahu pasti apa itu.
Rara tidak percaya cinta.
Rara adalah manusia paling dinamis yang pernah Aji kenal. Pekerja kreatif yang lucunya selalu berusaha berpikir rasional. Bagi Rara nalar adalah nomor satu dan tidak ada lagi setelahnya. Kalimat barusan diketik bukan tanpa bukti. Nyatanya Aji adalah saksi bagaimana Rara si pekerja kreatif lulusan Desain Komunikasi Visual yang kini berprofesi sebagai Ilustrator di salah satu perusahaan swasta yang sesekali gambar komisi sebagai kerja sambil itu justru cenderung bergantung pada logika dan sangat objektif dalam berpikir.
Hal yang paling mudah diingat adalah bagaimana Rara yang berparas bak bidadari itu sedari SMP sudah banjir surat cinta yang terus ia koreksi bagian tata penulisannya, atau kalau suasana hatinya sedang jelek, surat-surat cinta itu justru akan dijadikan alas garis gambar sketsa anime telanjang.
Sampai SMA pun beberapa kali pacaran hanya untuk bermain-main tanpa melibatkan perasaan sama sekali. Aneh, tapi begitulah adanya.
Ya, tidak ada romansa dalam kamus Rara.
Serupa dan satu pikir dalam menanggapi dilema cinta, keduanya ogah repot-repot untuk berkomitmen perihal cinta. Dalam paham mereka berdua bahwa cinta itu rumit dan pelik serta butuh tenaga lebih untuk dirawat.
“Hoi!”
Aji memergoki Rara yang tengah asik membaca komik bergambar, kalau kata Rara namanya manga.
“Ganteng banget yang habis photoshoot. Pacar siapa, sih? Pacar gue!”
“Diem!” Aji menepis gelitikan tangan Rara dari dagunya.
“Hahaha gimana rasanya jadi Brand Ambassador dadakan Ji?”
“Foto sama seblak doang.”
“Loh, mau apapun bentuk usaha dan bisnisnya gak boleh underestimate. Bagus loh jadi model produk lokal.”
“Hhh, gak tau deh. Gue cuma melotot aja di setiap potret yang diambil. Semoga bisa bantu bisnis rintisan anak-anak deh.”
“Hahaha kocak banget ya anak Intern sekarang. Pada kreatif dan berani!”
“Eunseok sama Heeseung lagi suntuk mikirin gaji kecil tapi keinginan punya honda beat walau nyicil. Bisnis seblak kehitung kreatif dan berani memang.”
“Oh, yang itu pernah DM gue di instagram.”
“Siapa?!”
“Hahahah santai aja kali. Galak amat senior.”
“Siapa yang DM lo? Kok bisa?”
“Waktu kita nonton di bioskop minggu lalu. Lo mention gue kan di Instagram? Nah, itu bocah yang Heeseung itu DM gue. Hahahaha… brondong sekarang nyalinya gede juga.”
“Ok.” raut wajah Aji kini lebih kaku dari kanebo kering.
“Ok apanya woi? Gak usah di marahin anaknya. Cuma kenalan doang.”
“Lancang banget.”
“Elah, kayak sama siapa aja, anjing.”
Mungkin cemburu. Ah, tidak ada yang tahu.
Bertahun-tahun hidup beriringan membuat dua anak manusia ini saling memantulkan sifat satu sama lain. Sama-sama gak jelas maksudnya. Tapi entah kenapa malah cocok jadi saling melengkapi.
“Yaudah, iya. Terus ini jadi Comifuro-nya?”
“Sebentar,” Rara merogoh ransel hitam berukuran jumbo yang dari tadi bersembunyi di bawah kursi. “Tada! Ini dia kostum gue!”
“Kenapa kostum lo selalu gak sopan?”
“Masalah? Situ siapa?”
“Calon suami. Lupa?”
Rara tahu konteks omongan Aji pasti soal janji menikah waktu kecil dulu. Masih, selalu, dan akan terus dibahas. Rara tidak protes.
“Ye, bacot.”
Bacot. Tapi ada semburat merah yang pelan-pelan menyeruak di pipi.
“Sebagai gantinya temenin gue liputan besok.”
“Ngapain anjir?”
“Besok ada demo, seperti biasa.”
“Ah, lo giliran liputan yang ribet dan makan waktu sehari penuh ngajaknya gue. Mana anak magang lo itu? Gak guna.”
Inilah kenapa petuah orang tua soal larangan makan sambil ngomong itu seharusnya diterapkan. Kalau tidak akan berakhir seperti Rara, bibirnya manyun dan belepotan bubuk gula putih dari donat.
“Ya justru makan waktu sehari penuh itu, artinya.. lo juga bebas memiliki gue sehari penuh lainnya. Dongak dikit, Ra—,” Aji berusaha membujuk Rara. Mulutnya sibuk merayu sementara tangannya bergerak membersihkan kotoran dari bibir sahabatnya.
“OH, yaudah. Hari ini gak kehitung loh ya!” Rara unjuk jari, mengancam.
“Ya meski gue udah nemenin ke acara jepang dari siang sampai sore terus malamnya mesti temenin nonton anime sebelum tidur, oke. Kita sepakati sehari penuh bersama itu.”
“Nah gitu, dong! Hehehehe…”
“Nye, nye, nye. Lo jangan mau diajak foto sama cowok yang mukanya gak meyakinkan gitu, Ra.”
“Deskripsikan muka ‘gak-meyakinkan’ itu.”
Lalu Aji menghabiskan seluruh nafasnya mendikte penampilan beberapa oknum wibu yang perawakannya menyebalkan (baginya). Mendengar segala protes yang justru terkesan seperti anak kecil tantrum itu membuat Rara hanya bisa senyam-senyum sendiri.
Rasa nyaman yang meliputi Aji dan Rara banyak dipengaruhi kesamaan-kesamaan. Keduanya tipe yang tidak banyak mulut lantaran sudah lama mengenal membuat mereka berdua mudah mengerti maksud satu sama lain tanpa banyak kompromi.
Aji dan Rara banyak menghabiskan waktu bersama dengan berbagai macam agenda. Kegiatan sepele seperti menonton anime hingga ketiduran di kamar sampai berkeliling kota meliput berita sebagai bahan topik unggahan Aji nanti. Sesekali pula Rara menemani Aji ke event seminar penulis indie favoritnya.
Aji suka menghabiskan waktu di apartemen Rara, disana tempat banyak hal bisa dilakukan. Walau lebih dominan mengutamakan kegiatan Rara, Aji suka dan tidak komplain.
Paling banyak juga diisi dengan membaca buku bersama. Biasanya Aji baca buku-buku sejarah terus duduk di lesehan bersandar pada kayu dipan, lalu Rara tepat di atasnya tiduran sembari membaca komik terjemahan jepang sambil sesekali cekikikan. Kemudian seisi kamar hening, hanya suara bolak-balik kertas yang bergema.
Ah, tentu saja sesekali diiringi celetukan asal-bunyi, “Serius amat. Baca buku porno ya, lo?!”
Pernah juga Aji menumpang tidur di sana, walau tentu saja diselingi urusan pekerjaan. Ia yang mengotak-atik laptop dengan beragam potret untuk dipilah dan segera di upload agar terbit di kolom berita esok. Juga Rara yang asik menggambar karikatur di ipad warna-warni mengusahakan menyelesaikan komisi kesekian.
Mungkin kedengarannya memang sangat tenang dan banyak diamnya.
Obrolan mereka juga bermacam-macam, si puan yang gemar bermain game dan punya ketertarikan tinggi terhadap segala hal berbau jepang, si tuan pula senang berbagi cerita soal permasalahan politik di portal berita hingga yang paling berbanding terbalik ialah bahasan soal acara televisi yang kebanyakan bergenre sitkom kesukaannya.
Tipikal hubungan yang dijaga dengan frekuensi komunikasi relatif rendah, lebih suka membunuh waktu dengan melakukan banyak hal bersama. Bagi mereka sebuah hubungan itu perlu banyak energi dan mereka terlalu malas untuk itu.
Untuk apa repot-repot sibuk mempercayai cinta apabila kehadiran satu sama lain begitu mudah dan terasa nyaman untuk dijalani. Begini saja. Selamanya.
Serupa tapi tak sama. Tak menyatu tapi berjalan beriringan.
Bahasa kasih antara mereka tak memakan energi yang banyak, cukup dengan presensi satu sama lain maka tanpa mereka sadari ada tahayul yang mengiringi mereka, biasa disebut cinta.
Rara terlanjur nyaman akan eksistensi Aji yang tak pernah absen dari kehidupannya itu. Rasanya ia ingin memiliki Aji selamanya.
Sampai suatu malam di kamar yang remang-remang, pada sela-sela konsentrasi menonton anime di balik selimut. “Ji, kalau sampai umur 30 kita berdua sama-sama belum ada yang menikah. Lo harus menikahi gue dan gue akan menikah sama lo. Kita wajib menikah. Gue gak mau sama yang lain.”
Aji hanya tersedak dan sudut bibirnya mulai naik.
“Gue gak bercanda?!”
“Shhh, iya, iya. Lanjut nontonnya, yuk!”
Aji menarik kepala Rara untuk bersandar pada bahunya. Rara turut mengistirahatkan kepala disana walau alisnya berkerut kebingungan.
Sayang sekali tidak ada saksi bagaimana senyum Aji merekah lebar. Tapi, dalam suasana seintens itu Rara masih bisa mendengar suara dentuman jantung yang sangat kencang. Entah itu jantung Aji atau Rara. Mereka yang tahu.
Kalau definisi cinta itu tidak masuk akal, bukankah artinya sama saja dengan apa yang Aji dan Rara parodikan saat ini?
Tidak masuk akal.
Sayangnya, ada satu manusia yang berharap, sangat. Sementara yang satunya sedang mencari cara untuk kabur dari perangkap yang ia pelihara sendiri.
Tokyo, Japan
Aji berlari sambil sesekali meniup kepalan tangannya sampai kemudian menimbulkan kepulan asap. Dari jauh ia bisa melihat Rara yang sudah terpingkal-pingkal memukul paha sambil menunjuk ke arah Aji, entah apa yang ia tertawakan. Aji tidak mau tahu. Tapi, Aji tahu pasti bahwa pemandangan yang netranya tangkap saat ini adalah panorama favoritnya.
“Hahaha… aduh. Aji, Aji. Jangan lari-lari nanti jatuh!” teriak Rara.
Tak ingin merugi, Rara buru-buru mengeluarkan gawainya dan otomatis menekan tombol rekam demi mengabadikan momen luntang-lantung sahabatnya, Aji.
“Ra! Udah lah gak perlu video segala!”
“Dokumentasi pribadi, Ji. Hahaha… coba melet, deh! Sini ke arah kamera! GOBLOK! HAHAHAHA!”
Mungkin dunia sebentar lagi akan hancur. Pernyataan itu rasanya tidak berlebihan apabila melihat Aji yang biasanya kaku dan serius kini berlarian sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan jarinya mengacungkan tanda V turuti perintah sahabat perempuannya yang sebenarnya sudah setengah gila.
“Udah… Please, Udahan! Perut gue keram capek ketawa… Hahaha… Aji!” Rara terbahak sambil jongkok memegangi perutnya pertanda dirinya sudah tidak bisa menahan geli dan dialog barusan bermaksud serius.
“Hahaha… Ra. Hadeh, sinian deh duduknya.”
Aji dan Rara jatuh terduduk di bangku kayu dan bahu mereka bersandar pada pagar tembok di sisi sebelah kanan gedung coffee shop yang baru saja mereka singgahi.
“Apa gak mending kita masuk ke dalam lagi aja, Ji?”
“Kita udah duduk 3 jam disana dan cuma pesan satu menu bagi dua. Terus di usir pakai bahasa jepang yang aksennya kedengaran kental dan jauh dari apa yang gue dengar di anime itu udah kayak di sumpahin dengan kalimat kotor dan lo masih menyarankan untuk masuk lagi ke dalam coffee shop dengan kursi kayu yang bikin pantat ngilu itu? MIKIR RA!” Aji ngerap.
“Hahahaha itu dialek kansai! Lebay ah lo kayak gak pernah diusir dari cafe aja.”
“Ya memang gak pernah?”
“Hahahaha kocak! Ekspresi lo jelek, anjing.” dengan santai Rara mengacak muka Aji dengan telapak tangannya. Sementara yang diusilin hanya bisa tersenyum sebelum akhirnya mencoba membuka mulut dan mencoba menggigit telapak tangan Rara.
“Ih, jorok!”
Aji tersenyum.
“Gimana kuliah di Jepang, Ra?”
“Tiga jam ngobrol ngalor ngidul akhirnya lo buka topik soal ini juga.”
Rara sudah hampir satu tahun di Jepang. Sebab ia dengan arogan memaksakan diri untuk melanjutkan S2 yang ternyata ia lakukan dengan ogah-ogahan. Berakibat dirinya hanya hidup luntang-lantung di negara matahari terbit. Pengakuan Rara selama ini ia bahagia karena merasa benar-benar hidup di dunia anime idamannya. Seringkali ia mengirim foto aktivitas jalan-jalan di berbagai sudut kota yang ada bau animenya. Rara mengaku bahagia.
Tapi Aji tahu segalanya. Ia paling banyak tahu dan peduli soal Rara.
Sebenarnya sekuat apapun ikatan batin antara Aji dan Rara gak mengharuskan Aji repot-repot mampir ke Jepang demi menginsafkan pikiran Rara yang sudah kemana-mana itu.
Namun, di Jakarta sana ada anak kecil yang setiap hari selalu ribut berteriak di telinga Aji “KALAU ABANG GAK SUSUL MBAK RA, YUCIL YANG BAKALAN KE JEPANG SEKARANG JUGA! MAS JI DAN MBAK RA GAK BOLEH PUTUS!” begitu. Padahal gak ada yang pacaran, sungguh maksa.
“Gue tau lo berusaha alihkan topik ke hal lain. Ada masalah apa lagi lo wahai preman jepang buangan?”
“Gue ambil cuti.”
“Udah gue duga.”
“Udahlah panjang ceritanya.” ucap Rara sembari mengeluarkan sekotak rokok dari saku mantelnya. Tangannya memantik korek pada ujung sigaret di jepitan bibir, setelah usai dengan ritual tersebut kemudian ia menawarkan objek itu kepada Aji yang disambut dengan senang hati.
“EH apa kabarnya kucing gue?”
“Lo gak nanyain kabar gue?”
“Bodo.”
Aji terkekeh dengan sigaret terjepit di sudut bibirnya.
“Kucingnya anteng di kamar, ini lagi gue tinggal sama Yucil. Guenya yang setiap hari bersin-bersin melulu.”
“Ye, lagian udah tau alergi bulu kucing masih aja nerima kucing gue.”
“Ya kalau orangnya elo, gue mana bisa nolak? Lo kan tau sepenting apa lo buat gue, Ra.”
Rara bungkam.
Aji semakin meringkuk dalam duduknya berusaha menemukan hangat dan sambil diam-diam hatinya mempertimbangkan petuah yang cocok untuk ia lontarkan pada sahabatnya si preman buangan yang bego.
Paling tidak Aji ingin menepuk jidat Rara dengan jemarinya.
“Yaudah, balik indonesia aja, Ra.”
“Gak, ah! Tujuan gue ke Jepang justru untuk bisa hidup menjelajah dunia dengan pilihan dan keputusan gue sendiri, Ji.”
“Bahasa lo! Itu KELAYAPAN namanya!”
“Baru 3 tahun gue di Jepang, Ji. Masih banyak lah waktu gue untuk berkelana.”
“Kayak gak kangen Mi Gacoan aja lo.”
“Elah, itu mah gara-garanya lo anjing? Gue kan udah nitip pesan bawain Gacoan. Tapi mana yang katanya sahabat dari orok? Gak bisa mengerti perasaan gue ya lo, Ji?”
“Menurut lo gue bawa itu Mi dalam penerbangan 7 jam belum sama antri-pesan gacoan-lari ke airport-check in -waiting di lounge dan segala titik bengek lainnya? Sinting ya lo?”
“Hahahaha… Ups, santai, Bro.” Rara masih dengan kebiasaannya, mencubiti pipi Aji pertanda gemas. Sampai pipi Aji memerah, entah karena sakit cubitan atau karena hal lain yang tidak bisa di deskripsikan.
“Bra, Bro, Bra, Bro. Makan noh oleh-oleh basreng sekarung, awas kalau gak dihabisin!”
“Hehehe… samperin gue terus dong, Ji. Jangan setahun sekali.”
“Iya, enam bulan lagi gue mampir.”
“Hah? Beneran?”
“Iya. Sekalian bawa Sinbi jalan-jalan. Belum pernah ke luar negeri katanya.”
Rara sempat terpaku beberapa menit. Tenggelam dalam pikirannya. Begitu pula Aji yang pada dirinya terpantul jati diri Rara. Entah kenapa Aji ikut termenung sejenak.
“Balikan lagi lo sama Sinbi?”
“Gak. Cuma sesekali suka main aja.”
“Oh.”
“Lo?”
“Apa?”
“Pacaran berapa kali selama di Jepang?” ujar Jiwoong. Ia ambil kesempatan untuk menatap lawan bicaranya lamat-lamat.
Rara berdehem lalu membuang muka tak kuasa bertatapan lama-lama dengan Aji sebelum kemudian menjawab, “Gak. Gue gak percaya cinta.”
Entah kenapa Aji merasa lega mendengar pernyataan Rara. Bersamaan dengan hal itu, Aji juga merasa bimbang. Sebab hingga kini, Aji tak pernah tahu apa isi hati sahabatnya.
Okelah, alasan ia benci sekali dengan cinta itu bisa ia mengerti. Tapi soal Rara dan petualangannya, Aji merasa Rara seperti kabur menghindari sesuatu yang tidak diketahui entitasnya.
Mempertimbangkan persahabatan yang umurnya sudah belasan tahun, ada rasa yang mengganjal. Aji tak sabar ingin mengorek isi hati Rara.
“Ra, gue sayang sama lo. Pulang, ya?”
Aji adalah makhluk paling bodoh dan sahabatnya Juyeon adalah manusia paling paham akan hal itu. Maka, Juyeon dengan menggebu-gebu membombardir Aji dengan sejuta dialog penuh amarah untuk menyadarkan Aji bahwa dirinya perlu bangkit dari kebutaan cinta yang melingkupinya.
Smoking Area di lobby hotel tempat Rara menginap menjadi saksi obrolan Aji dan Juy via telepon genggam, dini hari.
“Ji? Bisa gak lo pulang sekarang? Kerjaan kita numpuk!”
“Gak bisa, Juy. Belum bisa pulang kalau Rara gak mau pulang.”
“Susah memang kalau udah cinta mati.”
“Apanya?”
“Lo. Cinta mati sama Rara sahabat lo itu.”
“Gak segitunya, Juyeon.”
“Ya, kalau sampai nyusul ke Jepang cuma demi minta kejelasan soal bayang-bayang kata sayang berapa tahun lalu itu namanya apa kalau bukan cinta?”
“Memangnya repot-repot ke Jepang buat nanyain kabar sahabat itu berlebihan, Juy?”
“Gak berlebihan kalau udah atas dasar BUCIN.”
“Yang bener ajalah?”
“Lah, si goblok. Ya emang lo udah jatuh cinta sampai mampus, bego! Gue liatnya aja capek, Ji?!”
“Stop goblok-goblokin gue.”
“Lo gak punya hak marah ke gue. Yang ada gue yang marah ke lo. Enak aja kerjaan numpuk jadi pada digilir ke gue semua.”
“Gue lagi kacau, Juy.”
“Sekarang saatnya lo utarakan semua perasaan baik itu amarah, kecewa atau apapun itu. Kalau udah clear, pulang. Paham?”
“Tapi, Rara mana mau, Juy.”
“Apalagi, sih?”
“Terakhir kali jujur-jujuran soal perasaan, dia kabur.”
“Yaudah, lo pada udah dewasa harusnya ini jadi pertanda buat berhenti kabur-kaburan dan saatnya menghadapi yang di depan mata gak peduli apapun hasilnya asal kalian berdua gak sama-sama bodoh dan malah menyakiti satu sama lain kayak gini. Juga menyakiti mental dan fisik gue karena gue juga capek sama kalian berdua.”
“3 tahun, Juy.”
“Iya, Jing. Udah kelewatan kalian itu.”
“Dia tega ninggalin gue selama itu, Juy. Katanya sayang, katanya mau menikah sama gue, katanya gak bisa kalau gak ada gue.”
“Kalian berdua beneran aneh.”
“Letak salahnya dimana ya, Juy? Apa gue yang terlalu berharap? atau memang cinta itu memang gak pernah ada sedari awal?”
“Gue mohon, bilang apa yang mau lo bilang tiga tahun lalu itu ke Rara secepatnya.”
“Gue takut, Juy. Gue takut Rara akan mendorong gue semakin jauh dan gue benci karena gue cuma bisa diam.”
“Dengerin gue. Sekarang cuma ada dua pilihan. Satu, kalian kembali dengan rencana awal kalian soal dongeng dan janji pernikahan itu. Dua, kalian selesai. Apapun hasilnya entah itu bisa membuat lo bahagia atau mendadak bisu seketika, setidaknya lo gak akan sesak napas kayak di iket pake tali selama bertahun-tahun, setidaknya lo punya jawaban dan punya alasan untuk pulang.”
“Gue sayang sama Rara, Juy. Dan akan selalu begitu.”
Far East Village Hotel Ariake, Tokyo
Satu sudah kepalang nyaman. Satunya masih keras kepala.
“Jadi lo beneran gak sayang sama gue, Ra? Omongan lo soal menikah waktu itu cuma bercanda? Waktu lo peluk erat gue sambil tiduran di lengan gue malam itu semuanya gak ada artinya? Bisa ya tinggalin gue dalam posisi kebingungan sementara lo wara-wiri di Jepang.”
“Ji, udahan ya…,”
“Lo tuh tau apa sih soal cinta, Ra?”
“Udah ya, Ji. Gue yang salah. Udah.”
Rara membanting tubuhnya ke atas kasur kemudian menutup kedua mata dengan lengannya. Tanpa sadar air hangat mengalir dari pelupuk mata hingga jatuh membasahi kedua pipinya.
“Lo tuh— Tiga tahun, Ra! THREE FUCKING YEARS?! Gue— Argh!”
Aji, berdiri dengan tatapan kosong. Buku jarinya mengepal kencang-kencang. Bahunya melengos lemas tanda putus asa.
“Ya, kalau memang cinta itu gak masuk akal dan gak ada wujudnya di antara kita… menikah ya, Ra? Nikahin gue, Ra.” suara Aji bergetar, setiap kalimat yang diucapkan Aji rasanya seperti sayatan tajam di hati Rara.
“Biar gue aja yang gak percaya cinta, Ji. Lo gak seharusnya terjebak di sisi gue.”
“Kita udah pernah bahas ini, kan? Gue yang mau, Ra. Ini udah bukan soal lo dan tekad lo soal cinta. Ini semua karena gue yang mau selamanya sama lo gak peduli apapun situasinya.”
Bagi Rara kalimat Aji sangat membuatnya tersinggung. Seakan-akan Rara adalah manusia egois. Padahal maksud Rara adalah untuk membiarkan Aji mencari bahagianya.
Maka Rara mencoba bangkit dari tidurnya, berdiri berhadapan lagi dengan Aji, mengambil napas dan mengumpulkan berani untuk kembali beradu argumen.
“Lo, tuh! Sadar gak sih?”
“Apa?”
Rara benci pola pikirnya yang cenderung peka dan selalu lekas menemukan jawaban yang kemungkinan besar selalu benar itu.
Rara rela terjebak di kubangan lumpur hidup yang menyedotnya sampai tuntas, asal jangan Aji. Sejak awal Rara sendiri yang memilih rute menginjak lumpur, bukan Aji.
Apabila Rara memang harus tenggelam, tenggelamlah. Tapi tidak dengan Aji, ia pantas bahagia.
Sial. Sungguh sial saat Rara si manusia yang selalu yakin dan percaya bahwa mitos bernama cinta itu tidak masuk akal bahkan tidak berkenan untuk repot berurusan dengan segala tetek bengeknya, kini melihat cinta berpendar benderang pada Aji.
“Lo tuh cinta sama gue, Ji.”
Oh, betapa Rara ingin semakin memakan lumpur itu tadi karena kepalang malu akibat omongannya barusan yang pasti terdengar sangat menggelikan bagi Aji.
“Iya terus kalau gue memang cinta sama lo, kenapa? Masalah?”
Ternyata ada yang lebih menggelikan lagi.
Aji sudah gila.
Wajahnya kepalang merah, urat-urat lehernya timbul, dan suaranya semakin sengau. “Ra…,” Tanpa aba-aba Aji maju satu langkah mengikis jarak lalu menyerang bibir Rara yang lembab akibat dibasahi air mata sedari tadi. Ia menciumi bibir sahabatnya dengan buru-buru, berantakan, hilang akal.
“Ji, stop. Aji!”
Rara berulang kali memukul dada Aji berusaha menolak dan menjauhkan tubuhnya. Sampai akhirnya Aji sendiri yang mundur dan beralih menghentakkan bahu Rara dengan kedua tangannya erat.
“Ra, sekalipun gue dipaksa untuk angkat kaki dari dunia yang lo anggap gak layak untuk cinta ini. Lo adalah orang pertama yang akan gue ajak untuk kabur. Gue gak akan pernah pergi sendirian, ada nama lo dalam setiap keputusan gue.”
“Gak perlu repot-repot sebegitunya, Ji.” lagi-lagi si puan berusaha buang muka. Tak mau Aji melihat bagaimana ia berbohong saat itu.
“Bahkan kalau skenarionya harus terpaksa menetap di dunia yang kotak-kotak ini juga gue maunya menetap sama lo, Ra. Karena gue sudah terbiasa dan gak mau berubah. Gue mau selamanya sama lo bahkan lo sendiri udah mengiyakan keinginan gue itu.”
“Iya, Ji. Gue tau. Tapi gue gak percaya—”
“Gak percaya cinta? Karena lo udah terlanjur jatuh?”
“No, gak gitu.”
“Lo selalu merasa lo tau segalanya, Ra. Gue mengakui lo punya kapasitas lebih untuk berpikir panjang akan banyak hal supaya punya akhir yang menguntungkan dan tidak menyakiti lo. Tapi kalau soal cinta? Lo bodoh.”
“Ji… G–gue… Gue takut, Ji.”
“Ada gue, Ra.”
“Gue gak mau kenal cinta. Cinta itu gak kelihatan, dia hilang-timbul, gak abadi. Gue bakalan sendirian lagi.”
“Kalau sendiriannya sama gue apakah lo akan merasa lebih baik?”
“Itu gak sendirian namanya.”
“See? Gue selalu disini, Ra. Gue mohon. Jangan paksa gue buat pergi, ya?”
“Gak—,”
Ah, betulan keras kepala.
“Justru dengan lo denial akan semakin menyakiti diri lo sendiri, Ra. Jelas lo peka sama perasaan lo sendiri makanya lo takut. Iya, kan?”
Rara diam seribu bahasa. Ia menatap kosong pada bahu Aji dan air matanya masih terus mengalir deras.
Rara benci mengakui bahwa ketakutan menyerang dirinya, tepat seperti yang dikatakan Aji. Bahkan dirinya sudah tidak bisa mengontrol rasa yang terus ada untuk Aji itu. Sampai malam tengah menonton anime di balik selimut kala itu, ia percaya cinta dan malah memilih untuk lari ketakutan.
“Apapun definisi cinta itu gak penting lagi, Ra. Coba kali ini lo fokus sama siapa lo berbagi rasa bukan bagaimana bentuk dan sebab-akibatnya.” Tapi Aji tidak seperti dugaannya. Aji berani dengan segala ketidakpastian bahkan ia tidak lelah untuk mencari dan mengejar si tak kasat mata.
Apa yang membuat Aji berani bertaruh?
Bagaimana bisa rasa itu tidak membuatnya ciut?
Untuk siapa semua nyali itu?
“Selamanya.”
Aji tercengang setengah bingung mendengar cicitan Rara.
“Sama lo, Ji. Gue mau selamanya sama lo.”
Final.
Walau suaranya bergetar tapi Rara akhirnya runtuh. Sebenci apapun Rara akan konsep soal cinta, Ia tak bisa membenci Aji yang padanyalah ia menemukan perasaan tak kasat mata itu.
Cinta itu berotasi diantara Aji dan Rara dalam berbagai cara. Dalam hal ini, nyaman adalah alasan paling utama dan Aji adalah tempat paling nyaman itu.
Setelah melalui pertarungan melawan ego sendiri selama belasan tahun akhirnya Rara belajar bahwa hal paling mudah di dunia ini adalah cinta. Cinta itu dihantarkan semesta dalam rasa nyaman dan sayang itu sendiri.
“Ra…,” Aji mengusap-usap matanya yang merah dan berusaha mengatur napas yang tadinya sesenggukan tak karuan. Lalu, “...pengen peluk…” katanya.
“Iya…sini.”
Rasa-rasanya seluruh darah yang mengalir di tubuh meluruh dan isi kepala seketika kosong. Tapi rasa hangat perlahan menjalar meliputi, dagu Aji merunduk bertengger di bahu Rara semakin meringkuk manja disana. Lengan Rara melingkar pada pinggang Aji erat tak ingin lepas.
“Gue masih takut, Ji. Temenin gue terus, ya?”
“Iya, gue temenin. Selamanya.”
“Gue gak suka Jepang, dingin. Bawa gue pulang, ya?”
“Iya, kita pulang. Ke rumah.”
Semesta tahu pasti bagaimana ia menyatukan dua anak manusia yang hilang arah. Seisi dunia merayu dan memberi restu, mengetahui bagaimana sekar merekah yang ada dihati.
Rara dan Aji sepenuhnya sadar bahwa ada rasa sayang dan nyaman mengitari satu sama lain. Belasan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal dan mengerti. Lantaran sedari kecil naluri untuk menyalurkan kasih itu menjadi hal paling natural untuk tumbuh melingkupi keduanya.
Masih dengan rutinitas sehari-hari. Pergi ke comifuro, pergi liputan ke berbagai destinasi, menonton anime di kamar, baca buku dalam kesunyian lagi-lagi di kamar, hingga duduk bersantai di balkon sambil ciuman sampai ditegur tetangga.
Maka pada akhirnya kedua insan tersebut mengucap janji suci di taman belakang rumah. Pernikahan sederhana yang penuh riuh cemooh dari sahabat karib mereka yang lingkarannya disitu-situ aja. Rumah tangga yang dibangun pun kecil-kecilan tapi tetap menyenangkan.
Semuanya tetap sama, sederhana. Sebab Aji dan Rara adalah sebagaimana cinta yang tujuannya saling melengkapi dan ada untuk satu sama lain. Definisi cinta adalah apa yang diusahakan bersama-sama.