cookiss
Percaya atau tidak pada hari paling istimewa, hari ulang tahun Gun Wook—pacar gue, tidak ada satupun rencana yang berjalan dengan baik. Seharusnya, suasana romantis dimana hujan rintik-rintik dibersamai aroma petrichor berbaur dengan aroma vanili menjadi ornamen yang menghias perayaan satu kali setahun ini.
Lucu kan, masak cookies bareng pacar?
Tapi, pacarnya hilang. Gun Wook terjebak hujan. Gak jadi lucu, deh.
Alasan sesepele itu memang sepatutnya gak perlu direspon dengan kesal berlebihan. Bukan kesal melainkan marah. Ya, karena alasan aslinya adalah dia yang bersikukuh bermain futsal menuruti permintaan teman tongkrongannya berujung melupakan janji untuk memasak cookies bersama di kosan gue.
Hal yang tidak ada dalam prediksi adalah hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tandus permukaan bumi.
Pada situasi tidak terduga ini gue justru paling hafal bahwa Gun Wook dengan spontanitas luar biasa itu pasti rela-rela aja menerjang hujan sampai ke kosan gue dengan dua alasan, yang pertama karena ‘seger mandi hujan abis main bola’ atau yang kedua ‘harusnya kamu gak marah karena aku rela loh terobos hujan demi ketemu kamu’, Gun Wook dan berbagai alibi tengilnya.
Urusan gue luluh atau enggak itu belakangan.
Hal pertama yang Gun Wook lakukan sesampai di depan pintu kosan gue adalah membuka helm dan mengacak rambut basah berkat guyuran hujan. Meneliti dari ujung kepala hingga ujung kaki semuanya tak luput dari air yang menetes.
Sekian kali berhadapan dengan Gun Wook tapi rasanya selalu ada kejutan baru yang mampu buat gue tertegun. Dia mengenakan hoodie hitam polos, bercelana pendek dengan warna senada pula, dan tangan kanannya menenteng helm yang sama basahnya dengan rambutnya sekarang. Air menetes dari ujung-ujung surai legamnya meski begitu senyum lebarnya terus merekah tertuju kepada gue mengabaikan seluruh kacaunya. Nah, itu yang buat gue tertegun, bisa-bisanya dengan penampilan asal-asalan justru sukses memporak-porandakan hati.
“Yah, cantik-cantik kok prengat-prengut.” ujar Gun Wook sambil tangannya mencoba meraih puncak kepala gue yang buru-buru gue tepis karena kesal.
“Ih, jangan pegang-pegang. Kamu basah!”
“Ih jingin piging-piging…” ledek Gun Wook lagi sambil melangkah terbata-bata bagaikan zombie dengan kedua tangan terbuka siap menyergap gue supaya ikutan basah dalam balutan atasan lembabnya.
“Jangan dekat-dekat!”
“Ah! Tertolak!”
Si tengil bersandiwara menekan dadanya dengan telapak tangan seolah tatapan sinis gue barusan memberikan efek hujaman pisau pada jantungnya.
“Tega… pacarku tega…” ujarnya dengan suara serak.
Gun Wook buru-buru melepas sandal slip on nya lalu melangkah masuk sebelum gue tutup pintu dan membiarkan dia menggigil kedinginan.
Mata Gun Wook dengan sengaja melirik ke bawah, karena gue yang jauh lebih pendek dari dia, lalu ia memicingkan mata seraya bersuara, “Hmmm, wangi apa ini.” Hidungnya kembang kempis menghirup aroma di sekitar ruangan. “Wah wangi cookies gosong.”
“Kamu nyebelin, nyebelin, nyebelin.”
“Oi sakit—Pak Polisi tolong saya digebukin cewek cantik.”
Ada lagi yang memperparah hari menyebalkan ini yaitu ide gue untuk memperbaiki suasana atau seenggaknya mengalihkan perhatian dari rasa kesal yang kian menumpuk takut meledak itu justru jadi hal paling bodoh yang gue lakukan.
Masak cookies sambil marah-marah. Bodoh.
Alhasil semuanya dapat terlihat dari seisi ruangan yang berantakan, noda adonan berceceran, serta oven yang menganga lebar menampilkan objek yang sudah hangus. Jelas ya, kacau.
“Ya gimana gak gosong? Kamunya telat dateng?”
Gue jadi sibuk mencari arah yang bisa gue tuduh, entah karena gak terima dihakimi atau karena kecewa.
Sementara Gun Wook yang jelas tidak menganggap perselisihan ini serius terlihat dari cara dia dengan santai menarik handuk milik gue yang tersangkut di kait belakang pintu itu mengusap rambutnya asal.
“Loh, apa hubungannya aku sama cookies gosong coba? Kamu tuh yang ceroboh.”
“Kalau kamu gak buat aku kepikiran pasti aku jadi lebih fokus. Ya salah kamu, lah.”
“Bukannya yang baker disini kamu? Harusnya kamu lebih paham soal masak. Kenapa jadi salah aku?”
“Loh? Kamu yang punya ide buat cookies bareng aku? Terus yang ujung-ujungnya telat juga siapa? Kamu, kan?”
“Lagian kenapa harus cookies? Kenapa gak apple pie? Siapa coba yang mau makan cookies gosong?”
Semakin ngelantur.
“Ya kalau kamu hadir disini masak bareng sama aku sesuai rencana kita—” gue mulai meragukan omongan gue sendiri. “Pasti cookies-nya gak gosong.”
Lantas seisi ruangan mendadak sunyi.
Sadar argumen kekanakan antara kami mulai kemana-mana spontan membuat kami berdua serentak melambaikan bendera putih tanda menyerah.
Refleks Gun Wook melepas hoodienya kemudian dilempar sembarangan menampilkan kaos hitam yang membalut tubuhnya itu tidak sebasah luarannya. Jadi, tidak masalah bagi Gun Wook untuk melangkah maju meraih gue masuk dalam pelukan dia.
“Maaf…,”
“Maaf…,”
Lalu kata maaf muncul bersamaan.
“Harusnya,” gue menarik napas, mendongakkan kepala, memandang tatapan teduh Gun Wook, dan menghembuskannya dengan keputusasaan. “Hari ini istimewa, harusnya hari ini sempurna. Bukan kejutan cookies gosong yang aku mau kasih ke kamu. Apalagi dalam kondisi paling berantakan kayak sekarang ini. Semuanya berhamburan dimana-mana. Di hari ulang tahun kamu, aku pacarmu yang cantik ini mempersembahkan cookies paling enak sejagat raya. Harusnya begitu.”
Gun Wook terkekeh lalu secara natural menarik gue lebih erat dalam pelukannya kemudian mengusapkan wajahnya di ceruk leher gue. “Kalau aku bilang ‘setiap hari istimewa selama ada kamu didalamnya’, kamu percaya?”
Gue menggeleng kepala kiri dan kanan dalam benaman peluk nyaman Gun Wook.
“Asal kamu tahu, ada yang jauh lebih hangat dan mengenyangkan dari cookies-cookies manis, ya, kamu. Mudah, bahan-bahannya cuma kamu, aku, dan sayang. Makasih ya udah bagi sayang-sayangnya kamu ke aku, gosong maupun matang sempurna, semuanya itu yang menjadikan aku dan kamu, kita.”
Alih-alih jatuh dalam perangkap gombalannya justru omelan judes yang keluar dari mulut gue, “Berlebihan.”
Namun, hati Gun Wook jauh lebih lapang. Dia tidak menggubris protes dari gue melainkan melangkah mundur lalu tarik lengan kiri kanan gue jadi meski ada jarak tautan kami tidak lepas.
“My birthday wish isn't about presents or celebrations, but to be loved by you every single day.”
Ya, dia berhasil membuat segala perasaan yang tadinya campur aduk di kepala kini melebur dalam kalbu.
“Udah itu doang?”
“Makasih udah cantik. Kamu mau sedih, cemberut, bawel, judes, semuanya cantik.”
“Gak nyambung, ah!” gue sentak tautan lengan kami berdua hingga mengayun cara gue menyuarakan kekesalan, lagi.
“Hahahaha… sayang…”
Jadilah tawa nyaring Gun Wook bergema di telinga gue membuat hati gue jadi jauh lebih tenang.
“Senyum, dong. Mana cantiknya aku?”
Apalagi yang bisa gue lakukan selain mengembangkan senyum manis permintaan kekasih.
“Kamu mah... Yaudah dalam rangka merayakan hari baik ini aku siap kabulkan satu permintaan dari kamu, deh.”
“Asik. Beneran? Permintaan apa aja?”
“Iya, bener. Tapi satu doang ya.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Kalau gitu aku minta dicium semuka-muka.”
Langsung gue tempeleng kepalanya. “Itu namanya maruk.”
“Buset, sayang. Tenaga kamu kayak abang-abang. Sakiiitt...”
“Biarin!”
“Aku yang digampar kenapa muka kamu yang merah?” Gun Wook menoel-noel pipi gue yang katanya memerah itu. “Hmmm, kalau digigit luarnya renyah dalamnya lembut kayak apple pie ya ini pipi?”
Secepat kilat gue tepis tangannya sebelum pipi gue betul-betul dia gigit. “Sembarangan.”
“Sayangnya aku, cantiknya aku, apple pie aku, cookies gosongku…” begitu terus ocehannya berulang sambil uyel-uyel pipi gue.
Centil banget, pacar siapa sih ini orang.
“Kamu aneh, ada bibir aku semanis ini kamu malah maunya cookies.”
Nah loh.
“Idih?”
“Tadi katanya aku boleh minta apa aja. Jadi dikabulin gak neh?”
“Ya…. Semuka itu maksudnya gimana dulu?”
Senyum sumringah Gun Wook merekah menghiasi wajahnya seolah mendeklarasikan bahwa dia siap melancarkan aksi. Gue hanya bisa terbahak melihat responnya yang jenaka.
“Kamu punya pikiran licik apalagi?”
Gun Wook merendahkan kepalanya, kemudian berbisik, “Aku mau cium cantiknya aku…”
Satu persatu jarinya lepas dari genggaman, telapaknya menangkup kedua pipi gue, dan dia sepenuhnya berhasil membuat gue terpaku dalam hitungan detik.
Cara Gun Wook mencium pipi gue adalah dengan bibir yang terlipat ke dalam lalu hidung bangirnya meraih pipi gue dalam satu tangkupan dan menghirup napas dalam-dalam disana. “Disini?”
Gue menutup mata menikmati sensasi hirupan napasnya pada pori-pori kulit gue. Dalam jarak sedekat ini semakin pekat aroma tubuhnya menggoda penciuman. Otomatis degup jantung di balik rusuk tidak lagi mampu disembunyikan karena dalam peluk getarnya jadi jauh lebih terasa. Gila, betul-betul bikin mabuk kepayang.
Lagi, “Disini?” kali ini di pipi kanan.
Entah keberanian dari mana tangan gue kini menelusuri pinggang Gun Wook dan menariknya lebih dekat.
Dan lagi, “Disini?” terakhir sesaat napas hangatnya menyentuh bibir dan sebelum gue berakhir jatuh lemas, Gun Wook memilih untuk membubuhkan cium gemasnya di dagu gue.
Selesai.
Cium pura-pura yang hanya sebatas meraba-raba permukaan kulit itu berakhir begitu saja meninggalkan gue membelalakkan mata dengan tatapan kosong serasa habis dibodoh-bodohi.
Maka dengan sisa kewarasan gue mengumpulkan udara yang bisa gue hirup kemudian berteriak, “AAAAAA—PARK GUN WOOK YANG SERIUS?!”
Mungkin tawa Gun Wook kali ini adalah yang paling besar dan paling puas. “Hehehe… aku mau sikat gigi dulu.”
Juga, paling konyol.
“Hah?”
“Iyaaaaa… sikat gigi.”
Cara dia berbicara sambil cengengesan menampakkan barisan giginya serta ikut menonjolkan tulang pipinya yang kemerahan membuat gue tak kuasa menahan senyuman.
“Kalau gitu, mana?”
“Apanya.”
“Sikat giginya?”
“Ini.”
Gue melongo.
Gun Wook mengeluarkan sikat gigi dari balik saku celananya.
“Odolnya?”
“Ada.”
Juga pasta gigi.
“Oalah—Ini namanya ciuman terencana ya Park Gun Wook!”
“Sikat gigi duluuuu…” Gun Wook berlari terbirit bersama gema tawanya menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
Mencintai Gun Wook adalah hal paling mudah dan menyenangkan yang gue bisa lakukan. Sosoknya selalu bisa membuat segala hal jadi lebih cerah, bahkan melalui perselisihan kecil yang tak ayal mengorbankan ego masing-masing, tapi, kalau sama Gun Wook rasanya bisa menaklukkan dunia.
Walaupun gue selalu merasa percaya diri bahwa perihal mengerti dan memahami selalu jadi absolut di antara kami berdua, tapi, lagi dan lagi, kalau sama Gun Wook selalu ada kejutan.
Tanpa perlu susah-susah menyelami karakter yang sudah pasti bertolak belakang karena memang sudah diciptakan berbeda-beda oleh sang maha kuasa, tapi, kalau sama Gun Wook keterkejutan itu bisa diarungi bersama.
Melalui napas yang menderu, kecupan tanpa ragu, dan gigitan yang sesekali menyetrum di bibir, semuanya itu bersatu padu memacu adrenalin yang dengan malu-malu gue nyatakan adalah cinta.
Bibir Gun Wook tidak henti-henti menyapu bergantian menyesap bibir gue seolah tiada hari esok. “Wook… Wookie… Gun Wook…” membuat gue kewalahan dan memutuskan untuk menarik diri dari tautan intens tersebut.
Sementara Gun Wook menjilat bibir mencicip bekas ciuman kami barusan.
“Hm?” alis tebal itu terangkat menuntut penjelasan.
“Aku—” sambil menarik napas, gue raih pipi merah si dia untuk di usap-usap, terus memandangi mata sayunya, sambil tenggelam dalam kontemplasi yang mau tak mau harus gue akui, “Aku malu.”
Gun Wook menyeringai dan gue hanya bisa gigit bibir memandang langit-langit.
Rendah erangan Gun Wook terdengar berat di daun telinga gue, “Berarti harus sering-sering…” Gun Wook mengambil langkah maju mengikis jarak semakin habis lalu ibu jarinya menyapu saliva di sudut bibir gue kemudian, “Supaya terbiasa.”
Belum sempat gue menyanggah, Gun Wook jauh lebih cepat melahap bibir gue yang sudah bengkak untuk kembali dilumat. Gue coba mengikuti tempo gerakan dia hingga bertemu koheren sambil melingkarkan tangan di lehernya kemudian jemari gue berkelana di antara rambutnya. Pelan-pelan rasa malu itu terkonversi menjadi rasa nikmat.
Hari ini jadi bukti bahwa selarasnya selisih dan kasih bisa terakumulasi menjadi cinta yang bermuara pada presensi satu sama lain terlebih bersama si paling istimewa, Gun Wook.
Hingga bunyi oven menarik kami berdua kembali menapakkan kaki pada tempat berpijak.
“Cookies-nya gosong!”
“Cookies-nya gosong!”