Brondong Intern

Matahari sudah lama hilang ditelan bulan dan gue masih berseteru dengan cahaya biru terpantul tepat di depan wajah. Seenggaknya ada dua tiga kali proses pemulihan berulang namun hasilnya nihil. Bahkan es batu dalam botol stainless gue sudah melompong menyisakan serbuk kopi di dasar sana. Temaram bola lampu jadi pertanda bahwa gue harus segera menyudahi segala upaya. Hal-hal tentang peluh penat sehari penuh tidak terlalu gue ambil pusing karena gue senang melakukannya. Jadi, gue menutup hari tanpa keluh kesah dan menekan tombol di lift dengan enteng. Bunyi nyaring memberi sinyal gue telah sampai di lantai paling bawah. Ujung mata gue sudah memindai mini cooper yang bertengger sendirian disana barulah gue sadar kalau gue lupa bawa kunci mobil. Gue rogoh celana bahan gue di kiri dan kanan kemudian tas bahu yang didalamnya penuh aneka objek membuat gue kewalahan sendiri. Sampai lampu sorot mobil menyilaukan penglihatan gue diikuti suara klakson lantang. “Halo, cantik! Sendiri aja, nih?” kepala seorang pria menyembul keluar dari jendela pintu mobil. “Lo—” Kalimat gue berhenti saat gue menyadari bahwa kunci mobil yang gue cari-cari terselip dan berputar di jari telunjuk si tengil yang lagi cengengesan itu. “Siniiiiii…” Gunawan mengibaskan tangannya di udara menyapa bersama senyumnya berseri-seri. Gak pernah terbayang dalam kepala akan ada skenario pada sibuk-sibuknya dunia justru kedatangan brondong tengil bernama Gunawan si anak magang yang baru kurang lebih tiga bulan wara-wiri di kantor sekaligus di hidup gue. “Boleh minta instagramnya gak, Mba?” “Makan siang bareng, yuk! Gue ada rekomendasi warteg mantep!” “Buset kerja mulu, Mba. Malem minggu mah orang-orang mojok di bioskop.” “Kalau gue chat ada yang marah gak, Mba?” Sebetulnya bukan suatu hal yang penting apabila dia dan segala ide dan cara berusaha mengikis jarak langkah demi langkah terhadap gue karena gue tidak terlalu peduli. Tapi, bukan berarti lampu hijau untuk dia petantang-petenteng seenaknya di sekeliling gue. Satu sisi gue tidak keberatan diekori, sisi lain gue cuma bisa merespon tanpa ekspresi. Masih dengan dirinya dengan wajah penuh semarak juga bahunya yang tak berhenti naik turun karena terlalu bersemangat, norak. “SELAMAT ULANG TAHUN!” sorak Gunawan bergema. “Shh, masuk dulu, masuk dulu, sana, buruan.” Gimana gak panik, selain terheran-heran entah darimana dia bisa dapat akses masuk mobil pribadi gue itu, gue jauh lebih kalang kabut waktu dia ketawa puas membuka kedua tangannya ke atas kepala persis perilaku panda merah yang berdiri menghadapi ancaman. Ukuran tubuhnya yang dua mungkin tiga kali lipat lebih besar dari tubuh gue membuat gue cukup keberatan dan jelas tidak akan mampu menyamai energinya yang membuncah itu. Alasan lainnya, gue takut kelelep aja. “Loh-loh, Mba? Ini tangannya udah terbuka lebar-lebar, loh?” Buru-buru gue raih kedua telapak tangannya turun dan mendorong punggung lebarnya, “Iya, peluk-peluknya belakangan. Sekarang masuk dan jangan berisik. Malu, ngerti?” Oh, gue jadi sedikit menyesal melihat mimik wajahnya yang berubah drastis. Gunawan berjalan mengitari mobil dan memilih nurut perintah gue untuk duduk manis di kursi penumpang. Gue betul-betul tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mengerti isi kepala Gunawan. Menurut penaksiran gue dia hanyalah satu dari banyak laki-laki di luar sana yang penuh rasa ingin tahu serta suka memacu adrenalin dengan cara menaklukkan hati perempuan yang sekiranya buat dirinya adalah misteri. Semuanya itu tampak jelas setiap bertemu mata kala berpapasan, celetukan-celetukan jail, hingga sahutan tawa di sela-sela obrolan semata-mata untuk memenuhi kepuasan hingga meletup-letup yang sifatnya temporer. Namun, Gunawan ada di hadapan gue bersama tatapan sayu kecewa karena tidak direspon sebagaimana yang dia mau. Maka gue raih kerah kemeja yang amat kaku itu dan melontarkan ultimatum kepadanya. “Kalau lo diam aja gak bilang maunya apa, mending turun.” “Mau rayain ulang tahun, boleh?” cicit Gunawan merunduk sedalam mungkin. “Siapa yang ulang tahun—” Gunawan geleng kepala. “Hm, penyakit orang tua.” “Lo tuh—” Belum selesai gue mengeluarkan gencatan senjata sudah di interupsi duluan dengan berbagai gerak-gerik mengejutkannya. “Shh, jangan marah-marah udah tua makin tua. Mending kita potong kue. Ini dia, kuenya, lilinnya, korek mana ya korek… Mba ngeroko, kan? Anjir—ampun buset main geplak aja. Bercanda, Mba. Oh, ini dia koreknya. Tinggal nyalain, sat, set, beugh mantap. Nah, selesai!” Repot. “Udah?” Si anjing golden retriever mengangguk-angguk antusias. “Udah, Mba.” Suasana sunyi sepi parkiran, pencahayaan remang-remang lampu mobil menambah aura intimasi, kemudian sesi nyanyi lagu selamat ulang tahun berdurasi 3 menit itu memantul pada sudut-sudut mobil. Melupakan betapa istimewanya sebuah perayaan sudah jadi hal biasa, tapi dirayakan oleh yang bukan siapa-siapa membuat gue berpikir dua kali. Imajinatif, tapi Gunawan mewujudkannya dengan cuma-cuma, setulus hati. Lirikan mata Gunawan memberi isyarat supaya gue segera membuat permohonan sebelum kemudian menghembuskannya pada nyala lilin yang pelan-pelan meleleh. Gue menutup mata lalu dengan suara serendah mungkin, “Semoga kita senantiasa dikelilingi hal-hal baik.” Membuka kelopak mata gue mendapati Gunawan menatap gue dengan lekat. “Makasih. Melibatkan gue dalam doa dan harapan lo, Mba. Makasih.” Lalu timbul rasa ngilu pada jantung. Gue sentil kuping Gunawan usil, “Kira-kira kapan waktunya lo berhenti godain gue?” Terlalu sering berspekulasi menjadi alasan paling kuat buat gue mengantisipasi. Gunawan adalah yang paling transparan. Setiap kali gue menyelam dalam lapisan-lapisan kornea matanya jelas ada penantian disana. Mungkin gue adalah tempat singgah dari sekian jalan yang dia tempuh walau dia malah terjebak dan jadi lupa titik tujunya. “Tapi boleh, kan? Merayakan yang hari ini pantas dirayakan?” “Ya, boleh.” Namun, apapun itu yang Gunawan usahakan gue tidak keberatan bahkan menikmati alurnya. Sebagaimana dia dengan enteng menarik lilin warna-warni dari permukaan kue tart mini dengan taburan coklat diatasnya kemudian dipotong ciamik lalu suapan pertamanya bergerak bebas di udara menuju mulut gue yang otomatis melahap dengan nikmat. “Enak?” Gue angguk kepala tersenyum, “Manis.” “Senang?” “Senang.” Saking gak ada yang menariknya di hidup gue bahkan tiada ruang untuk takut maupun berani. Takut dikejar brondong gila atau berani mengejar apa yang dia tawarkan. Biarlah semuanya mengalir mengikuti arus. “Gue juga mengharapkan hal yang sama seperti harapan lo barusan, Mba. Supaya selalu dikelilingi hal-hal baik. Gue mau menjadi baik.” “Yaudah, jangan kemana-mana kalau gitu?” sanggah gue sambil lipat tangan di depan dada. “Jadi maunya gitu? Mau gue? Ada di sekeliling lo misalnya?” “Iya… selama ini juga udah, kan?” Gunawan serta merta mengumpulkan kedua tangan gue dalam genggaman hangatnya dan matanya membulat menatap gue penuh harap. “Lo tuh… Ya ampun…” Gue meraup wajah Gunawan dengan gemas lalu mengusap puncak kepalanya. “Gemes.” Malam itu, alih-alih berkontemplasi untuk pertama kalinya gue melupakan segala spekulasi dan membiarkan diri jatuh dalam buaian brondong tengil.