Tiga Serangkai
Iki Pecundang
Pertama kali bertemu Lilis, Mommy bilang untuk selalu genggam tangan Lilis erat-erat. Awalnya saya bingung, sampai waktu hujan deras dan petir merambat justru disambutnya antusias. Lilis basah kuyup, rambutnya semrawutan, kakinya banyak lumpur, sendalnya copot sebelah. Lilis anak nakal. Sejak hari itu saya senantiasa menahan, meraih, dan menggenggam erat tangannya.
Misalnya waktu petir kencang menyambar, bukannya berlindung, Lilis berlari kegirangan mengejar langit. Saya kejar langkahnya, saya tarik jemarinya, saya bawa dia masuk dalam pelukan.
Misalnya lagi waktu hujan sedang deras-derasnya, sebelum sempat saya kejar dia sudah lolos duluan bermandi hujan. Saya biarkan dia menikmati cipratan air yang dia injak dari kubangan, berlarian menari bersama ritme bulir yang jatuh, hingga kemudian sekiranya cukup barulah saya bawa kembali tubuhnya dalam dekapan.
Sudah bukan lagi turut kata Mommy, tapi turut kata hati.
Sehingga suatu kali Lilis pernah berkata, “Tuhan kirim Iki ke Lilis supaya Lilis bisa tersenyum lagi.”
Lilis tertidur di atas karpet kamar saya lalu membentang tangan lebar-lebar. Tentu masih dalam kondisi basah kuyup.
Kelakuannya bikin geleng kepala.
Saya gelar handuk menutupi seluruh tubuhnya dalam satu gerakan.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa Lilis senyumnya baru setelah ada Iki? Sebelumnya Lilis gak tersenyum?”
“Senyum. Terus hilang sebentar.” Lilis tarik bagian handuk yang menutupi wajahnya sebelum kemudian kembali melanjutkan, “Tapi gak apa. Sekarang Lilis udah punya Iki. Kesayangan Lilis.”
Lilis tersenyum bahkan setengah tertawa.
Saya tetap tidak merasa punya pengaruh besar untuk bisa dibilang jadi sumber merekahnya senyuman indah itu.
“Iki malu ya kalau Lilis bilang sayang?”
“Enggak.”
“Tapi muka Iki merah.”
“Enggak merah.”
“Kaku banget Iki. Sini ikut baring sama aku.”
“Kamu lengket.”
Lilis menoleh sinis.
“Nye… nye… nye…” bibir bebeknya mencuat lucu.
“Ayo, mandi dulu. Nanti Lilis sakit.”
“Males.”
“Mandi.”
“Mandiin.”
“Manja.”
“Bodo.”
“Ayo, bangkit.”
“Duh, males, Ki. Lilis tiba-tiba ngantuk. Hoaahh…”
“Tuh. Lilis nanti sakit. Mandi dulu baru boleh tidur. Iki kompres terus masakin bubur. Terus—repot. Semuanya jadi repot kalau Lilis sakit. Lilis mandi dulu.”
“Bawel!” bantah Lilis. Saya cukup tersentak kaget, Lilis pun melemahkan suaranya. “Iki berisik. Iki pergi aja kalau gitu...”
“Lilis kan tau… Iki gak bisa kalau gak ada Lilis.”
Lilis lemah. Lilis akan selalu memilih mendahulukan saya atas segalanya.
Ada rasa senang waktu Lilis berdiri meraih tangan saya. Ada rasa gugup waktu Lilis memeluk saya. Ada rasa malu juga geli waktu Lilis mencium pipi saya.
“Iya, Lilis ada buat Iki.”
Lilis adalah kiriman Tuhan yang buat saya jadi suka tersenyum.
Sebagian besar hidup saya habiskan bersama Lilis.
Senyum Lilis waktu turunnya hujan, senyum Lilis waktu hitung penghasilan jualan kue, senyum Lilis waktu berhasil dapatkan boneka capit, senyum Lilis waktu lulus masuk perguruan tinggi dan senyum Lilis setiap waktu bertemu dengan saya.
Senyuman manis yang dihiasi dua lesung pipi di kiri dan kanan adalah hadiah paling berharga yang saya dapatkan usai berminggu-minggu terpuruk di negeri orang.
“Iki!!!” teriak Lilis ceria.
Dari jauh Lilis melambaikan tangannya sambil berlompat-lompat semangat.
“Woi brader!!!” juga Upin.
Upin itu… ya dia teman.
Karena kehadirannya, jadi saya urungkan rencana untuk membalas sambutan Lilis dengan peluk dan cium.
“Apa kabar Iki…”
Semoga Lilis tidak kecewa tidak saya cium.
“Iki… kamu kurusan… Lihat pipi gembul kucingnya mana? Oh, tangannya masih dingin kayak biasa. Iki coba berdiri tegap—tuhkaaan lemes banget kamu.”
“Lah iya juga… bener dah Lis. Ho’oh setuju-setuju.”
Lilis bergantian menyentuh pipi saya (Upin juga sentuh), menyentuh telapak tangan saya (Upin juga sentuh), dan menyentuh bahu saya (Upin juga sentuh).
“Semuanya diam.”
Perintah saya diterima Upin dan Lilis dengan baik. Keduanya mematung ditempat.
“Gue capek…,” tepat di muka Upin “dan ngantuk.” juga di muka Lilis.
Bukannya merespon Upin dan Lilis mengedipkan mata pelan dua atau tiga kali.
“Pangsit mercon?!”
“Pangsit mercon?”
“Yagaksi? Ya nggak? Masa enggak? Iya gak, Lis? Capek dan ngantuk sama dengan lapar?”
“Lapar! Setuju! Ayooo!”
Ugh. Upin adalah masalah.
Maka saya berjalan dengan diapit dua manusia berisik yang rebutan ingin gandeng tangan saya sebelah kanan. (Apa bedanya dengan tangan sebelah kiri?)
“Iki mau duduk di depan apa belakang?”
“Belakang aja, Ki. Kalau di depan ntar lu mual ngeliat jalan.”
“Okay. Belakang. Aku bantu angkat tasnya, Ki!”
Tanpa sempat sumbang sepatah katapun, Upin dan Lilis sudah ambil andil masing-masing.
Saya duduk di bangku belakang, Upin dibalik setir dan Lilis mendampingi di bangku sebelahnya.
Dua anak manusia itu rebutan lagu mana yang akan diputar tapi saya larang karena saya merasa pusing.
Belum ada beberapa menit menutup mata, Upin dan Lilis ribut lagi perkara berapa jumlah mobil berwarna merah yang mereka jumpai di jalan soalnya hitungan mereka mulai tidak sama. Lagi-lagi saya suruh mereka diam.
Sampai akhirnya, Lilis tertidur dan Upin tidak punya teman lagi untuk dijahili barulah saya bisa bernapas lega.
Oh baiklah. Upin juga perlu saya ceritakan disini.
Pertama kali bertemu Upin, Mas Ji bilang untuk akur-akur. Awalnya saya menghindar, Upin punya pribadi yang cenderung berisik dan senang ikut campur, sampai kehadirannya di depan pintu kamar saya setiap pagi jadi rutinitas.
Dibuka dengan ajakan cari sarapan pagi, kemudian cari makan siang, hingga makan malam.
Parahnya lagi saya dan Upin satu jurusan di kampus. Kartu Rencana Studi saya habis diakali Upin supaya saya dan dia punya jadwal yang persis sama.
Pokoknya rasanya seharian itu belum lengkap kalau tidak ada Upin.
Alasan terbesar kenapa saya tidak keberatan akan presensinya adalah karena Upin orang yang baik.
Setiap campur tangannya selalu ia sisipkan kebaikan.
Apabila Lilis ibarat poros tempat dunia saya bermula maka Upin adalah gravitasi yang membuatnya seimbang.
Perumpamaan yang tidak berlebihan karena hati yang penuh jadi imbalan.
Hari ini adalah pertama kalinya saya melihat dua poros dunia saya bertemu.
Sepulang dari hari-hari kelam di Singapore, kehadiran Upin dan Lilis seperti penawar yang meredam kekacauan di kepala.
“Oleh-olehnya mana, Ki?”
“Upin, Iki udah bisa pulang dalam keadaan sempurna begini aja udah syukur.”
“Ya tapi kan—,”
“Shh, gak ada tapi-tapi. Sekarang geret kopernya ke kamar.”
Tepukan Lilis pada bahu Upin hanya dibalas dengan cengiran.
“Iya, siap Lilis cantik.”
“Upin!”
Lilis mengejar Upin yang setengah berlari karena terseok menggeret koper saya.
“Kenapa lu marah sih di bilang cantik?”
“Ya… karena… gak suka aja.”
“Padahal emang cantik?”
“Ih berhenti gak?!”
“Lilis cantik. Lilis cantik. Lilis cantik.”
“Upin jelek!”
Namun sepertinya Upin dan Lilis tidak sekedar harmonis. Saya ketinggalan banyak cerita yang hilang dan lembarannya pudar membaur.
Lantas interaksi Upin dan Lilis membangunkan sensor alam bawah sadar yang memberi sinyal untuk saya supaya tetap terjaga.
Ah, tidak, tidak, yang barusan itu… pola pikir pecundang.
Upin Pecundang
Jujur, gak biasanya Iki pasang tampang penuh antusias terlebih cuma karena pertama kali mencoba makan pangsit mercon.
“Iki siap?”
“Bentar, Lis! Gua ngambil tisu dulu.”
“Buruan Upin.”
“Tisu datang! Eh tapi serius kalau lu ngerasa pedes langsung lepeh aja, Ki.”
“Betul! Nih, langsung Lilis cekokin susu stroberi. Udah Lilis sediain.”
“Eits, pegang yang bener atuh Lilis! Hampir tumpah.”
“Eiya maap maap. Ki ayo mulai, Ki!”
“Wadidaw kalau dibalik tetap Wadidaw! Lesgo brader!”
“Sebentar… sebentar…,” Rizky menaruh satu jari di depan bibirnya menyuruh gua dan Lilis untuk diam.
Otomatis gua dan Lilis melirik satu sama lain lalu serempak cemberut dan merunduk lesu.
Wkwkwk kocak, dah.
Gua sama Lilis kalau soal beginian kompak mampus.
“Gue coba ya?” kata Rizky membuat gua dan Lilis kembali mengembangkan senyum.
Mula-mula Rizky mengangkat satu sendok kuah pangsit mercon untuk di endus sebentar. Lalu ekspresi yang menunjukkan rasa jijik akibat bau cabai menyengat penciumannya itu cukup menggelitik gua dan Lilis sampai hampir kelepasan ketawa.
Lilis memukul bahu gua terus ngebisik di telinga, “Menurut aku Iki gak bakal kuat.”
Sementara yang diomongin mendadak diam. Menaikkan satu alis seolah berkata, “Seriously?”
“Kokop aja kokop elah ribet amat lu cina.”
Gua dorong aja tangan si Iki supaya buruan nyeruput kuah yang volumenya gak seberapa itu.
Satu detik.
Dua detik.
“Hmm… lumayan.”
“Lumayan apa? Lumayan pedes? lumayan aman?”
“Lumayan enak.”
Ternyata lidah Iki gak kampungan.
“Nah, sekarang cobain pangsitnya sini aku potong kecil.” Lilis berinisiatif memotong pangsit ke ukuran kecil menggunakan sendok yang sudah disodorkan Iki.
Giliran Lilis yang menyuap, “Aaaaa…”
Iki nurut aja nganga dan melahap habis suapan dari Lilis. Yeh, giliran cewek aja nih orang cepet amat nurutnya.
Dua kali kunyahan dan Iki memekik, “Akh! Ghhh—Pedeshhh…”
Gelengan kepala yang cepat, kibasan di depan lidah, tangan yang mencari-cari sembarang arah buat gua dan Lilis terperanjat dari duduk masing-masing.
Jadilah gua panik samber gelas susu dan buru-buru sodorin ke Iki tapi tetap kalah cepat sama tindakan Lilis yang lebih spontan.
Lilis menutup mata Iki dengan telapak kirinya lalu sebelah tangannya lagi tepat di depan mulut Iki.
“Lepeh aja, Ki.” Iki nurut melepeh kunyahannya bersama sisa air liur ke atas telapak tangan Lilis.
Pemandangan barusan di depan muka gua beneran bikin gua cengo.
Ini manusia berdua emang saling cinta sebegitunya apa begimana dah?
“Jangan. Pernah. Paksa. Gue. Makan. Pangsit. Mercon. Lagi.”
Iki ngomong begitu sambil banting meja pakai gelas bekas minumnya.
“That's it–I'm done. No more Gacoan, Seblak, or Pangsit Mercon for me—ever."
Bukannya takut, gua sama Lilis lantas terbahak melihat protes sang tuan muda.
“Hahahaha…”
“Hahahaha…”
Gua udah jatuh rebah sambil ketawa lepas sementara Lilis ketawanya gemeteran tapi sambil menahan supaya lepehan di tangan dia gak jatuh.
Lagian gimana gak ketawa ngelihat komuk Iki yang merah juga penuh keringat tapi gaya-gayaan ngamuk ngelipat tangan di depan dada segala.
Perkara pangsit mercon.
“Aduh konyol sumpah. Iya, iya. Gak lagi, deh. Suer!”
“Loh, Iki ini gimana tangan Lilis rasanya lembab.”
“Hoek! Buang aih Lilis. Dongo betul.”
“Aaa… Nih, nih, Upin mau?” malah disodorin ke gua ngehe.
“Awas jorok lu sumpah!”
Siapa sangka gadis manis seindah Lilis kelakuannya kayak binatang. Segala dijorokin ke muka gua anjir.
Kamar kosan sepetak ini mendadak jadi trek lari.
Lilis larinya ngebut juga. Alhasil gua lari setengah lompat ngelangkahin berbagai macam benda di kamar Iki.
“Hii… masih ada air liurnya ini.”
“Awas! Tahan gak tangan lu.”
“Upin bantu Lilis bersihin please?” sengaja banget.
“Gua smekdon ya lu, Lilis Astuti.”
“Please? Upin yang baik hati kan suka menolong? Bantuin Lilis bersihin.”
“Aaaa… Enggak… Orang gila.”
Sebelum Lilis sempat meraih gua maka lebih dulu gua tarik tubuhnya dari belakang dan segera gua kunci supaya dia gak bisa bergerak.
“Nah loh. Gak bisa gerak kan lu.”
“Hahahaha… sakit perut!”
Iki cuma bisa senyum miring sambil memijat kepala.
Gua ngerasa kombinasi ini gak buruk-buruk amat.
Semua kekhawatiran gua pasca konflik batin soal kepergian Iki ke Singapore dibersamai kedekatan gua dengan Lilis ternyata jadi semenyenangkan ini.
Pasalnya Lilis tidak lagi tenggelam dari air mata yang merindu, Rizky tidak lagi terkunci dalam kurungan yang mengekang, dan gua tidak lagi bersembunyi.
Satu hari di kamar Iki tiga serangkai yang menertawakan kekonyolan remeh.
Kedengarannya bagus.
Tidak sampai gua menemukan tatapan kosong Iki terpatri di wajahnya. Segera gua lepas Lilis dari kungkungan.
Waktu berhenti bergerak.
Tiga pecundang terjebak dalam lingkar rasa dimana tak satupun berani untuk bicara.
Lilis Pecundang
Sudut pandangku tentang Iki tidak pernah berubah. Pergi dan pulangnya Iki dia tetap sama. Walau aku sempat protes karena kondisi tubuhnya yang kurang fit, tapi kalau soal sayangnya tetap sama tiada kurang.
Senang rasanya waktu Iki yang lebih dulu menghubungi memberi kabar. Senang rasanya waktu Iki yang lebih dulu meminta untuk ditemui. Senang rasanya waktu Iki yang lebih dulu mengusulkan untuk mampir ke kosannya.
“Jadi di Singapore ngapain aja, Ki?”
Upin membanting tubuhnya ke atas kasur.
Iki juga ikut.
Hal yang tak biasa aku lihat karena di rumah sebelumnya kasur adalah singgasana Iki yang terbilang sakral untuk disentuh sembarangan.
Aku tidak percaya ada orang lain yang mampu menerobos dinding itu.
“Rapat. Salim sana-sini. Rapat lagi.”
“Oh, rapat kayak rapat kerja himpunan gitu ye?”
“Ya enggak lah, anjing. Mana ada rapat celana pendek, gitaran, sambil nyebat.”
“Ngepet. Ngeledek gua ya lu?!” ujar Upin tak terima.
Ternyata Iki kalau lagi sama temannya bisa sesantai itu.
“Lis?”
“Hah?”
Aku terperanjat dari lamunan.
“Sekali lagi lu gosok itu tangan elu bakalan bolong.” Upin seringkali mengomeli aku. “Yeh, malah bengong, sini! Tidur bertiga. Geseran sono, Ki.”
“Lo yang geseran.”
“Lah ini mah udah mentok. Entar si Lilis gedebag gedebug kan brabe.”
“Yaudah.”
Jadi aku sebelah kepala kasur, Iki di tengah, kemudian Upin di ujung sana, kami bertiga tiduran membentang horizontal di satu kasur.
“Jadi…?”
Lagi-lagi cuma Upin yang bisa memecah keheningan.
“Bacot.”
“Hehehe…,”
“Ketara, Pin.”
“Boleh gak, nih?”
“Ya apa.”
Tiada yang mengerti tektokan dialog Upin dan Iki arahnya kemana kecuali mereka sendiri. Yang jelas, Upin punya keberanian untuk mengupas satu demi satu lapisan yang membungkus Iki.
“Lu dirundung keluarga lu ya, Ki?”
Straight to the point.
“Bisa dibilang begitu.”
“Emangnya apa untungnya nyolek bocah kencur kayak elu ya, Ki.”
“Lupa lo bapak gue siapa?”
“Fak. Mantep ya jadi orang kaya. Mau sombong juga emang patut disombongin.”
Iki geleng kepala.
“Terus, marga sepenting marga elu yang dikeruk tuh?”
“Diperas.”
“Ngeri. Abis-abisan?”
“Iya.” Iki berhenti sebentar, lalu kepalanya miring demi menatap mataku. “Sekarang, nama Rizky gak cuma milik gue.”
“Buset dialog lu sedep amat.” Upin menimpali.
“Terjadilah.”
“Hah?” Upin bangkit dan kepalanya muncul dibalik tubuh Iki, rasa ingin tahu Upin sama besarnya dengan rasa ingin tahuku.
“Tau Shen Airlines?” lanjut Iki masih menatap mataku dalam-dalam. Rasa takut kini menjalar ke seluruh tubuhku.
“Hah? Apaan tuh? Shen? Rizky Shen? Kakak lu noh Shen Xiaoting? Apaan anjing.”
“Tau.”
Aku menyahut.
“Nama gue resmi dalam naungan institusi, Pin.”
“Mentang-mentang gua orang kampung, lu jangan sembarangan kibulin gua, Ki. Ngomong yang bener, yang mudah dimengerti rakyat jelata kayak gua.”
Omongan Upin tidak Iki gubris.
Iki lebih fokus mengunci matanya pada pandanganku. Jakunnya naik turun menelan ludah di kerongkongan. Ketika tanganku bergerak hendak menutup mulutnya menghentikan dia memuntahkan dialog yang paling aku benci, “Maafin aku, Lis. Aku belum bisa ngasih apa yang kamu mau.”
Terlambat, aku sudah tertampar kencang kalah telak.
Akulah pecundang yang dipaksa berdamai dengan kehampaan. Kesimpulannya, sebelum dan sesudah Iki, aku ini tetap bukan siapa-siapa.
Wholeheartedly,