screenshot (so it'll last longer)
Hal yang paling gue suka dalam seharian penuh lelah ialah pulang. Habis jadi pemeran utama seharian, habis dipandang bergerombolan mata penonton, sekarang waktunya istirahat. Rasanya benar-benar kosong setelah energi bahkan nyawa gue disedot habis-habisan hari ini.
Untungnya gue punya Ghiyas yang hadirnya mampu mengembalikan sisa-sisa nyawa gue yang sempat melayang di udara kembali masuk ke sanubari.
Seperti biasa, Ghiyas selalu mengantar-jemput gue kemanapun gue pergi. Melihat sosok familiar itu berdiri menyambut lelah gue yang lantas memudar jadi penyemangat gue setiap hari.
Tuh, belum apa-apa dia sudah nyengir terus cekikikan sendiri sampai-sampai bahunya bergetar menertawakan dengusan berat yang gue lenguhkan. Nyebelin sih, tapi gue jadi ikutan cekikikan juga.
Di atas motor juga gak banyak obrolan, cuma update kegiatan masing-masing hari ini, yang banyak omongannya si dia yang kesana kemari bawelnya. Lalu tangan Ghiyas yang sesekali mengeratkan ikatan lengan gue pada pinggangnya.
Sampai di apartemen, tukar giliran masuk kamar mandi, saling mengeringkan tetes air di rambut satu sama lain, barulah akhirnya kami berdua jatuh di atas kasur dalam posisi berpelukan.
Semuanya sudah jadi rutinitas dan gue merasa terlampau nyaman untuk menarik lengan kekar Ghiyas dan menempelkan kepala disana.
“Kak? Aku maunya dipeluk…” lirihnya manja.
“Yaudah, iya..”
Lantas dengan semangat penuh dia masuk dalam pelukan gue, menaruh kepalanya di antara dada dan ceruk leher gue kemudian di depan mata sudah ada tangan yang menjulurkan handphone dengan siaran ulang talk show yang gue bawa tadi.
“Heh—ngapain, sih? Siniin gak. Matiin, Ghiyas. Ide darimana nontonin beginian tanpa izin aku?”
Tapi protes gue tidak diindahkannya. Justru Ghiyas dengan lengan jenjangnya terus berhasil lolos dari gue yang juga terus gagal meraih.
“Aku kan juga mau lihat cantiknya aku. Eh—awas awas tangannya. Audiens Kakak hari ini rame banget? Tuh, tuh, disuruh lihat layar kenapa bola matanya pada masih melototin Kakak semua? Tolol ya lu pada, tutup gak mata lu. Jir, Pak, Bapak udah tua jaga pandangan. Mentang-mentang orang penting duduk paling depan matanya jelalatan. Sumpah ini mah pada kegenitan.”
Asal bunyi semua komentarnya, bikin gue meringis geli.
“Apasih, bawel banget kamu tuh.”
“Kak! Ada kamu! Bentar, bentar, capture dulu. Wuidih dari kanan juga cantik banget! Bentar, screenshot lagi. Apalagi kalau dari depan cantiknya gak masuk akal. Inilah dia tujuh keajaiban dunia.”
Aduh, jadi malu sendiri dengar bunyi screenshot yang sahut-menyahut.
Sampai seisi kamar cuma ada riuh heboh Ghiyas beserta suara tangkapan layar yang bergema.
Berisik.
“Apasih, berlebihan.”
Menyerah, gue hanya bisa diam menyaksikan kegembiraan yang terpancar di wajahnya yang sibuk mengamati layar. Seolah tidak ada lagi yang boleh jadi fokus selain si cantik yang terus dia screenshot tiap kali muncul.
Gue cuma diam-diam tersipu malu membenamkan wajah di puncak kepala Ghiyas.
Jadi, gue mengambil kesempatan untuk menyisir rambut di jidat dia dengan tangan kosong lalu tangan gue terus turun menyusuri lekuk wajahnya dan kemudian bermuara pada sudut bibirnya yang tertarik ke atas tak berhenti senyam-senyum sendiri.
Hingga gue sadar suara berisik dari telepon genggam Ghiyas mendadak hilang.
“Kalau di pegang-pegang aku bisa bingung sendiri loh ini.”
Gue hanya bisa menertawakan reaksi menggemaskan Ghiyas.
Ya, sekalian aja gue godain, “Lagian ngapain sih capture-capture mulu kayak gak bisa capture aku langsung aja!”
Ghiyas bingung dengan ekspresi super bloon andalannya, dia membuka matanya lebar-lebar mulai meragukan pendengarannya.
"Emangnya bisa ya capture langsung?"
“Bisa."
“Hah…?”
Ghiyas masih bengong. Kelihatan dari cara matanya berkedip perlahan dan mulutnya menganga, ini orang betul-betul kosong.
Tak kuasa menahan geli gue acak puncak kepalanya sambil cekikikan.
"Coba, capture aku." lontar Ghiyas lagi.
Pernyataan barusan cukup membuat tawa gue hilang seketika.
Lantas gue memandang lurus pada wajahnya, mencari titik bola mata imut menggemaskan itu, kemudian menyelam di sana. Dia betul-betul oon.
“Ih, gemes!”
Dua telapak tangan gue satukan pada bongkah kiri dan kanan pipi Ghiyas dengan satu kali tepuk pelan hingga yang di screenshot tercengang.
Kan, lucu.
Belum puas sampai disana, gue usap telapak tangan dingin gue pada permukaan wajah yang merona itu. Hangatnya mengalir deras, tak cuma pada lapisan kulit telapak, melainkan tertransfer hingga dada gue yang ikut mendidih.
Sekali lagi, HAP.
“Screenshot.”
“Hehehe…,” diikuti tawa geli Ghiyas.
Lagi, HAP.
“Screenshot.”
Ghiyas menangkup tangan gue, mengarahkan usapan tangan dengan pola melingkar. Lalu dia tutup mata menikmati, bibirnya tersenyum, seluruhnya puas mengecap hangat.
“Hehehe…”
Malah cengengesan.
“Mau lagi. Mau lagi.”
“Hahahaha… Nih, aku screenshot. Satu. Dua. Tiga.”
Habis itu mukanya gue tangkup lagi kiri dan kanan, sementara si dia ketawa-ketiwi.
“Hahaha… Oke. Oke. Sekarang giliran Kakak.”
Mendengar permintaan menggelikan itu gue cuma bales dengan acak-acak puncak kepalanya. Tanpa jawaban dari mulut gue, Ghiyas sudah keburu meng-capture muka gue dengan kedua telapak tangan yang ukurannya dua kali lipat lebih besar dari telapak gue juga bahkan dari muka gue.
“Hmnyhahahahaha… lucunyaaaaa…”
“Hmpphh… curang.”
Kaget, LAH.
“Stop. stop. stop. Tangan kamu segede wajan.”
“Screenshot.”
“Ghiyas!”
“Hahaha… ya maaf. Terus gimana. Masa aku gak boleh screenshot juga? Terus aku bolehnya apa?”
Bibirnya yang mengerucut, dahinya berkerut, dan tangannya yang aktif mengguncangkan pipi gue gak sabaran, semuanya itu oon.
“Yaudah, bebas. Kamu maunya ngapain? Selain tabok pipi aku loh, ya.”
Masih dalam posisi berbaring mesra di atas kasur, dengan sela jarak yang amat sempit membuat gue bisa merasakan kehangatan tubuhnya hingga detak jantung yang bersahut-sahutan.
Gue pun mudah menangkap kemana sepasang mata bundar itu berkelana menyusuri gue seutuh-utuhnya yang kini jadi titik pandang hingga berakhir jatuh tepat pada bibir gue.
Kenapa ya mukanya gampang ditebak banget? Muka pengennya bikin pengen ketawa.
“Kak.” Ghiyas diam-diam menarik pinggang gue di balik selimut. “Mau Kakak.”
Dalam sekejap rasanya gue ingin jungkir balik akibat menyaksikan perpaduan rautnya yang harap-harap cemas penuh damba bersamaan dengan telapak tangannya yang menetap di lekuk pinggang gue.
“Iya… mau apa? Mau diapain akunya?”
Melihat dia gigit bibir penuh konsiderasi mengingatkan gue dengan yang sudah-sudah, bagaimana pandangannya akan cepat kabur dan banyolan yang keluar dari mulutnya hanya akan berakhir jadi hiburan gue semata. Ghiyas gak berani meminta dan ujungnya keinginan itu hanya akan menguap begitu saja.
Ghiyas gak bisa apa-apa.
Seenggaknya begitu pikiran gue sepersekian detik lalu, sampai tanpa aba-aba tangan Ghiyas naik menyentuh dagu menyusuri garis rahang, lalu meraup pipi gue kemudian membubuhi kecupan manis disana. “Ini yang aku mau.”
Gue tatap wajah Ghiyas lekat-lekat, dia memerah malu.
“Ghiyas?! Kamu ya…,” Gue mendekatkan wajah kami berdua lalu iseng menggesekkan hidung gue ke hidung bangirnya. “Nakal.”
Bukan cicitan malu-malu maupun tindakan melenggang kabur tiba-tiba, karena biasanya Ghiyas cupu, tapi kali ini dia hanya diam dan masih menahan kontak mata.
Ghiyas mendekat pelan, matanya nyari tanda-tanda dari gue, gue menyungging senyum tipis, memberi ruang buat Ghiyas mulai sendiri.
“Aku cium, ya.”
Tidak menemu penolakan, bibir Ghiyas mulai menyentuh permukaan bibir gue dengan lembut di kecup satu kali. Setelah kecupan-kecupan kecil berulang, barulah dia membuka mulutnya dan dia putuskan untuk meraup bibir gue dalam satu lumatan, di saat yang sama gue melenguh kagum dengan usahanya.
Lalu mendikte sudut-sudut bibir gue dengan lumatan perlahan, penuh hati-hati.
Lagi, lagi, dan lagi.
Kemudian Ghiyas mulai terbawa suasana, napasnya makin pendek, gerakannya tergesa, bibirnya geser-geser mencari titik pas tapi nggak ketemu. Sekali dua kali, kepalanya miring tapi malah mentok hidung. Tangannya meraba sembarangan naik turun dari pinggang hingga punggung gue, matanya sempat lirik-lirik bibir terus balik lagi ke mata gue.
Ghiyas gugup dan kebingungan mencari arah.
Gue tak kuasa menahan senyum, tiap matanya melirik geli. Saat Ghiyas tanpa sadar sedikit menggigit bibir bawah gue, gue langsung nyengir, beneran nyengir. Gue mundur, nyenggol jidat Ghiyas pakai dahi sambil ketawa kecil.
“Eh, kamu ngapain sih.” protes gue sambil berusaha menahan tawa.
Ghiyas cuma bisa bengong, kaget sendiri sama semangatnya barusan. Mukanya merah, alisnya ngumpul di tengah, bibirnya setengah kebuka, dia linglung total.
“Ya aku… aku kira... pelan gitu. Maaf. Tapi terus, Kakak diem aja, terus aku coba—eh, atau aku kurang gerak?” suaranya serak. Tangannya nggak tahu harus taruh di mana, akhirnya malah garuk belakang leher sendiri.
Akhirnya panik pecah jadi tawa.
Gue gak masalah dengan Ghiyas yang mencoba memberi yang dia mampu walau caranya acak. Gue suka bagaimana tangan Ghiyas menyentuh, bibir Ghiyas menerka, lidah Ghiyas menjelajah, semua titik tidak teratur yang ingin dia bubuhkan cinta, gue suka. Gue suka sentuhan-sentuhan manis itu.
Beberapa detik hening. Baik gue dan juga Ghiyas sama-sama sibuk mengatur hembusan napas yang menggelitik pori wajah satu sama lain.
“Ghiyas…,”
Senyuman Ghiyas yang menyahut.
Bahkan mau dia diam dan senyum tipis gitu aja cukup buat gue frustasi dan akhirnya gak mau lagi menahan diri.
Gue tarik kerah bajunya mengambil alih kendali dan menyatukan kembali bibir yang masih dalam keadaan basah dan bengkak.
Ghiyas sempat narik napas kaget waktu bibir gue nekan memperdalam lumatan, sebelum dia sempat tarik kepalanya. Mengharuskan gue berhenti sebentar memberikan reasuransi, bibir gue cuma nempel tipis di bawah bibir Ghiyas, dan gue berbisik pelan, "Ikutin aku, ya." sebelum lanjut cium dia lagi.
Tanpa jeda giliran gue memberi ritme, arah, dan Ghiyas cuma bisa nurut, matanya merem dan bahunya lemas ngelepasin dirinya sepenuhnya.
Napas saling berburu, bibir yang sesekali pisah cuma buat tarik udara, lalu nyatu lagi.
Mulut gue kebuka sedikit dan lidah gue nyentuh pelan bibir bawah Ghiyas.
Tangan Ghiyas akhirnya berani bergerak pelan, yang tadinya bertengger di pinggang kini menjamah kulit di balik baju tipis yang sedikit ketarik akibat tubuh yang persisten bersenggolan.
Reflek tangan gue naik ke belakang leher Ghiyas, menyelipkan jari di rambutnya, menahan dirinya tetap dekat.
Bibir Ghiyas sudah pandai merespon, nggak lagi asal nyari, tapi ngeladenin. Detik berikutnya, semuanya jadi jauh lebih dari sekadar saling tempel bibir, mulai saling baca, lidah satu sama lain saling beradu mendesak masuk dan menjilat kemana-mana, berlomba pula dengan degup jantung yang mulai tak karuan.
“Kak.”
Satu panggilan dari Ghiyas cukup menghentikan gue yang berkecamuk sebelum hilang kendali.
Tautan kami pun berpisah seiring tarikan napas, dahi ketemu dahi, gue tatap Ghiyas sebentar, senyumnya masih ada.
Ghiyas maju untuk mencium pelipis gue berusaha menenangkan sisa degup yang belum sepenuhnya reda.
“Aku sayang sama Kakak.”
Ujaran yang tidak bisa gue balas.
Maka, sebelum diburu waktu untuk segera tidur, gue sisipkan dialog usil di telinganya. “Ciuman kamu remedial. Banyak yang harus diperbaiki.”
Ghiyas ketawa kecil, matanya mulai berat. “Aku siap remedial tiap hari, Kak.”