Tetangga Masa Gitu — i
POV : Hunan
“Mas, kenapa beli rumah sih? Padahal uangnya bisa ditabung untuk hal lain. Mas tau gak sih, menurut wikipedia...”
Bibir Ayu mulai komat-kamit merapalkan mantra wikipedia tentang pentingnya hidup hemat.
Telapak kaki pucat Ayu mencak-mencak bertemu lantai marmer, ujung sidik jari Ayu meraih keranjang buah berbahan serat kayu diatas meja makan, tubuhnya merunduk seraya ia mengendus buah jeruk dari keranjang diikuti barisan helaian rambut menjuntai dari selip telinganya.
Indah bagaimana rambut sebahunya dibiarkan jatuh dengan ujung-ujung yang berserakan menubruk gaun tipis berwarna oranye favorit si dia.
“Mas, mau jeruk?”
Aku tersentak dari dudukku, hampir-hampir jatuh dari senderan jendela. Si pembuat onar justru cekikikan. Mata bulat itu melengkung cepat membentuk bulan sabit diikuti ulasan senyum di wajahnya. Dia duduk di sebelahku.
“Mas, mau jeruk gak?”
“Lah, kamu udah kelar ngomelnya?”
Menit sebelumnya ia sibuk membuat demo dadakan sebagai aksi protes karena tindakanku yang dinilai impulsif. Padahal kalau dikira-kira lagi, aku membeli rumah ini demi mewujudkan impian kami.
“Ayu, rumah ini ada taman belakangnya, loh. Coba kamu lihat sana, udah ada tanah humus untuk berkebun. Impian kamu kan?”
Ayu menaruh konsentrasi penuh pada serat tipis buah jeruk. “Mas, AAAAAAAAA.....” aneh, dia malah sibuk menyuapiku. Aku isengi dengan segera berdiri membuatnya kesulitan mengoper buah jeruk oranye itu ke mulutku. Lihat, Ayu melompat kecil menggapai bibirku untuk dijejali jeruk.
Ayu... Ayu...
Rasanya seperti masuk ke dalam dunia anime dengan genre romantis bagaimana kami mengisi kekosongan rumah yang masih bau cat tembok ini dengan tawa renyah kami berdua. Seketika semua terasa hangat.
“Ayu, tapi kamu yakin mau berkebun?”
“Aduh rumah ini... nyicil berapa tahun ya kira-kira, Mas?”
“Kamu... aku tanya malah balik nanya.” Iseng ku tarik tali tipis penahan gaun oranye itu hingga jatuh di lengan dan memperjelas tulang selangka miliknya. “Ih, genit!” dicubit telingaku.
Kemudian, “Ayu sayang banget sama Mas Hunan” aneh.
Ayu tak pernah larut dalam satu emosi. Pribadinya begitu cepat berubah-ubah. Begitu saja aksi demonya usai. Mungkin rayuanku tentang taman belakang untuk menyalurkan hobi berkebunnya itu berhasil?
Gayatri Kusuma.
9 hari sudah nama perempuan itu dihiasi nama belakangku, kapanpun ku sebut nama itu ada rasa haru mengikuti. Sama haru-nya dengan memiliki rumah impian ini meski tak seindah angan-angan.
Hari demi hari menempati rumah baru sudah kami isi dengan berbagai aktivitas. Aku menata barang dan menumpuk kardus berisi barang dari kosan. Ayu dan taman belakang, semangatnya membara kala memilah tanah dan rumput liar untuk kemudian dijadikan kebun jeruk.
Bahkan dengan intensitas bekerja kami berdua di kantor yang cukup padat tidak menghalangi kami menyisihkan waktu khusus tuk sekedar ngobrol sebelum tidur tiap malam.
Tetapi tidak dengan malam ini, begitu pula dengan dua malam sebelumnya dimana kami melongo menatap langit-langit kamar sementara telinga berdengung mendengar berbagai keributan dari rumah tetangga.
Suara ribut yang sunnguh tidak wajar. Satu hari suara teriakan lelaki, esoknya suara mesin, dan terakhir kali suara ketukan pintu yang cukup kencang.
“Ayu ngantuk, Mas” dia meringkuk masuk kepelukan sambil menarik selimut.
“Berisik ya, Yu. Apa kita lapor ke satpam aja?”
“Gak usah, Mas. Gak enak juga baru dua hari menetap disini udah minta protes aja”
Poin penting saat membeli rumah, poin yang aku lewatkan dan membawa malapetaka ialah memastikan lingkungan yang nyaman.
Aku dan istriku terus mengeluh mengantuk. Belakangan Ayu jadi murung dan mengerutkan dahinya. Parah kualitas tidur kami sangat buruk, sampai-sampai merusak fokus di tempat kerja.
Ayu si tukang demo ini tumbenan belum mengeluarkan aksi protesnya.
Setidaknya itulah yang ku pikirkan semalam. Sampai pagi ini aku tertohok dengan remehanku itu, aku terlalu meremehkan Ayu.
Hari ini hari minggu dimana aku bebas tidur sampai kapanpun, berharap tidak ada keributan di pagi hari. Hari seharusnya aku dan istriku bergelayutan di kasur hingga siang bolong.
Namun kenyataan berkata lain, bangun tidur merengkuh bantal guling dan kehilangan seseorang dari pelukan sudah cukup membuatku ingin berteriak. Aku segera bangkit dan mengenakan kaos asal. Mengacak rambut frustasi.
Istriku pergi demo kah?
Persetan dengan rumah lapang ini, aku lelah berlari dibuatnya. Mencari-cari di ruang tamu, taman belakang, hingga menemukan dapur berantakan penuh peralatan makan kotor. Roti gosong, bumbu dapur berceceran, tak lupa kotoran jus masih menempel di blender.
Kepalaku betul-betul pening. Ingatan terakhirku berhenti ketika semalam Ayu dengan semangatnya mengatakan ingin memasak makanan enak untuk tetangga.
Ya! Kenapa tak terpikirkan?
Tak memakan waktu banyak untuk sekedar berlari dan langkah melewati beton semata kaki pembatas rumah kami dengan si tetangga.
Mereka inikah yang menjadi sumber keributan yang super mengganggu itu?
Di lantai teras sana Ayu terduduk dan mengibas kakinya yang kotor penuh bercak kemerahan, begitu pula seorang pria berkemeja putih teduduk di sebelah Ayu, seorang dengan kaos oblong dengan topi security di tangannya berteriak histeris mengguncang lengan seorang wanita bersetelan jas lengkap dengan celana kain serba hitam yang anehnya menggenggam sebuah linggis?
“Maaf, Pak. Ayu gak sengaja” disana dia. Perempuan dengan gaun tipis motif buah ceri itu sibuk membersihkan kemeja si pria kemeja putih. Sebenarnya sudah tidak bisa dibilang berwarna putih lagi, sih. Bercak kotor dimana-mana.
Melihat nampan dan pecahan gelas kaca dapat membuatku menarik kesimpulan, mereka ini saling tubruk.
“Hyunjae berdarah Bu Mimi. Berdarah! Hubungi pemadam kebakaran!” celetuk security bertubuh kecil itu.
“Tolonglah... bolot itu jangan di pelihara, Qi” wanita berbusana formal berkacak pinggang.
“DARAH QI?! MANA DARAH HAH??” pria kotor.
“Maaf bapak-bapak, tapi itu cuma jus buah naga...” Ayu memelas.
MALES.
Boleh gak ya aku balik ke rumah lagi aja... mending nonton anime...
Dari segala skenario mengerikan yang ada dipikiranku sepanjang panik mencari Ayu tadi, gak kepikiran malah jadi begini. Syukur, gak terjadi hal buruk.
Tapi, apa ini gak termasuk hal buruk?
Aneh bagaimana dua orang pria dewasa ini bergidik ngeri melihat si wanita formal. Aku pun ikutan ngeri melihat ia dengan santainya membawa senjata tajam ke arah istriku.
Wanita berbusana formal itu melepas genggaman linggis di tangan kirinya seraya merunduk menanyakan keadaan istriku “Mbak, gak apa?”
Aku hanya bisa geleng kepala melihat jus buah naga terbuang sia-sia. Kemudian tersenyum lemah melihat Ayu si cantik dengan mata berkaca-kaca.
Ayu... Ayu...
“Ya ampun Ayu berdiri, Yu” aku meraih kedua lengan Ayu membantu ia berdiri. Yang di tolongin langsung merengek “Mas... Huhuhuhu...”
Aku tidak habis pikir melihat pemandangan di depanku. Trio apa ini ya? Kombinasi yang cukup aneh. Aku pun membuka suara “Permisi, ada apa ini?”
“Acara sunat massal, Pak” pria kotor.
“Pembagian sembako beserta kaos partai, Pak” security kecil.
“KALIAN BISA TUTUP MULUT GAK?!” wanita formal.
Melihat keadaan yang semakin kacau Ayu meraih lenganku dan maju satu langkah kedepan.
“Mmmm, ibu kenalin aku Ayu” suara Ayu kesayanganku sungguh kecil.
“Miyeon” wah, suara beliau sungguh bersahaja.
Usai Ayu dan wanita formal bernama Miyeon itu berjabat tangan, aku pun ikut meraih jabatannya.
“Hunan”
“Miyeon”
Dalam sekejap suasana kini tenang karena dua pria aneh tadi berjalan keluar gerbang rumah. Aku udah males untuk mencari tahu apa yang akan mereka lakukan.
“Eeehh jadi... kami baru pindah kemari sekitar kurang lebih tiga hari. Kebetulan baru sempat menyapa hari ini dan rencana jus buah naga yang tumpah barusan harusnya jadi salam kenal aja untuk ibu dan suami.”
Kekacauan di dapur tadi benar ulah Ayu, ternyata resep memasak sandwich di wikipedia bisa gagal juga ya... Buktinya tadi roti gosong bertebaran hingga ia hanya menyajikan jus buah naga meski blender di rumah tadi terlihat hampir pecah.
Ayu... Ayu...
“Dan... maaf bu saya jalan cukup terburu-buru jadi nabrak bapaknya, sekali lagi maaf bu”
“Oke... bisa dimengerti kok Ayu. Ini emang suami saya aja yang kelainan malah jadi nyusahin kamu. Saya juga minta maaf ya”
Syukurlah meski air mukanya terlihat kurang senang dengan kehadiran kami tetapi responnya cukup baik. Bahkan ia memberi senyum hangat kepada Ayu.
“Bu Mimi! Ini ambulans sudah sampai, si Hyunjae minta ditemenin” lagi-lagi dua pria dewasa itu berulah.
“Mimi tolongin aku dong....”
Tak disangka-sangka ternyata ambulans sudah terparkir di depan gerbang. Iqi si security bersusah payah mengangkat tubuh Hyunjae ke dalam mobil. Ya, namanya Hyunjae.
Ya tuhan.. cobaan macam apa lagi ini...
“Maaf, Miyeon suaminya cedera kah? Soalnya istri saya ini cuma ketumpahan dan ya kotor dimana-mana tapi gak ada luka sama sekali.” Aku memberanikan diri untuk buka suara.
“Oh, itu mukanya lecet dikit. Tadi sebelum nabrak Ayu dia sempet kepentok garpu taman.”
“HAH GARPU TAMAN??!!”